Chapter 15 Presentasi Moira

“Moi, heii.. Moi..” 

Mrs. Rose berseru di belakangku.

Aku menghentikan langkah dan tersenyum padanya.

“Mau kemana? 

Ini sudah jam makan siang.  

Ayo makan siang sama-sama,” ajak Mrs. Rose yang seperti biasa tampil modis dan rapi. 

Parfumnya yang beraroma segar tercium olehku.

“Tadi aku sudah ke Ron, terus lanjut ke Angel. 

Ayo makan siang Mrs. Rose, setelah ini Moi harus mengedit dan menyelesaikan laporan 

untuk dipresentasikan 

nanti sore.

Masih 4 jam lagi, 

semoga presentasiku bisa berkenan pada Tuan Jonah.” Aku menghela napas panjang, terbayang wajah dingin Tuan Jonah di pikiranku.

Aku melewati makan siang dengan banyak bertanya pada Mrs. Rose,

“Mengapa Tuan Jonah mengubah dari hanya laporan ke presentasi Mrs. Rose ?

Sebelum bertemu Vicko, 

dia hanya minta laporan, 

lalu sesudah bertemu Vicko, Tuan Jonah meminta Moi untuk presentasi.”

Mrs. Rose yang sedang membersihkan mulutnya dengan tusuk gigi, menghentikan kegiatannya, dia menoleh padaku dan menjawabku sambil tersenyum, 

“Mungkin ada permintaan dari Jendral Manton supaya kau presentasi Moi, 

lagipula bila ada hal yang kurang nanti bisa segera 

kau perbaiki, 

sebelum materi laporanmu 

di bawa oleh

Tuan Jonah ke ibukota.”

Tenanglah Moi, 

aku mendukungmu, 

dengan presentasi nantinya, bisa kuberi masukan mana yang kurang.” 

Lanjutnya sambil menatap wajahku.

“Mrs. Rose mendampingi Moi kan saat presentasi?

Lalu siapa saja nanti yang mengikuti presentasi Moi, selain Tuan Jonah dan Mrs. Rose ?” tanyaku cemas.

“Mungkin Dragono, Jeffry, dokter Stephan juga.

Tenanglah Moi, kau gadis yang pandai, kau pasti bisa.

Anggaplah ini presentasi skripsimu.” 

kata Mrs. Rose sambil menepuk-nepuk pundakku.

Aku menghela napas,

Jeff ?

Jeff The Hacker?

dokter Stephan?

Kepalaku terasa berat…

Dari berbagai disiplin ilmu mendengarkan presentasiku?

Apa maksud Tuan Jonah menghadirkan Jeff, 

dokter Stephan dan Dragono serta Mrs. Rose hadir di presentasiku.

Apakah ingin mempermalukannya atau mengetes mentalku ?

Skripsiku saja saat diuji, menghadirkan mentor dan dosen dengan disiplin ilmu yang sama denganku, psikologi.

Bisa jadi Tuan Jonah melalui Jeff, dokter Stephan dan Mrs. Rose ingin membantai presentasiku.

Mungkin Tuan Jonah dendam saat kubanting mikrophone didepan Vicko.

Pembalasannya bertujuan memalukanku secara mental.

“Moi balik ke kamar dulu ya Mrs. Rose, 

Moi harus segera menuntaskan pekerjaan Moi, supaya presentasinya bagus.

Mohon dukungannya untuk presentasi nanti sore, Mrs. Rose.”

Aku bangkit lalu merapikan nampan makanku 

dan beranjak ke kamarku untuk melanjutkan pekerjaan, 

walau kebingungan dan kejengkelan melanda pikiranku.

***

Sore itu aku menyiapkan diri untuk presentasi.

Aku dan Mrs. Rose beranjak dari depan kamarku.

Kurasakan langkahku seakan tidak sampai-sampai 

ke ruang pengamatan, apalagi aku membawa tas berisi laptop, 

terasa berat di setiap langkahku.

Aku mengikuti Mrs. Rose 

ke ruang pengamatan.

Dragono sudah ada disana.

Punggungnya besar sekali dan atletis, 

sampai seragam prajurit Chimera terlihat sesak di badannya.

Pria botak tinggi besar itu sedang memasang layar LCD  untuk presentasiku.

Aku membuka laptopku 

dan menyiapkan presentasiku, 

mengetes apakah proyektor bisa berjalan dengan baik.

Semoga lancar semua.

Sesaat muncul Tuan Jonah disertai dokter Stephan, 

dan terakhir si wajah culun Jeffry The Hacker.

Wah, aku agak grogi mereka pandai-pandai, 

sementara aku bocah fresh graduate saja, 

bahkan belum di wisuda.

Ada 5 kursi disiapkan oleh Dragono, 

Tuan Jonah duduk di tengah, diapit Mrs. Rose dan dokter Stephan.

Di sebelah Mrs. Rose ialah Dragono dan disebelah dokter Stephan ialah 

Jeffry, the Hacker.

Mrs. Rose memberikan isyarat untuk dimulainya presentasiku, 

“Langsung saja Moi, 

dimulai presentasinya.” katanya sambil duduk, sementara satu kakinya disilangkan ke kakinya yang lain.

“Selamat sore, 

terimakasih atas kedatangan khususnya Tuan Jonah, 

Emm…

dan juga dokter Stephan, 

pak Dragono, bro Jeffry 

dan tentu saja Mrs. Rose, ” ujarku agak gemetar dalam membuka presentasiku.

“Saya mulai presentasi saya, apabila ada pertanyaan dari bapak-bapak yang terhormat, mohon bersabar dulu menunggu presentasi dari saya selesai dulu.

judul presentasi saya sore hari ini ‘Kekuatan pikiran’ .” kataku sambil memunculkan slide pertama presentasi ku.

“Telepati, clairvoyant, precognition, 

indigo, electrokinesis, 

dan lain-lain itu semua berasal dari pikiran. 

Dasar pengembangan kekuatan pikiran dimulai dari evolusi. 

Manusia jaman sekarang telah berevolusi dari jutaan tahun yang lalu.  

Kekuatan pikiran manusia meningkat seiring dengan volume otak manusia yang membesar.  

Dari avitralopithecimes,

yang hanya mempunyai volume otak 400 cc, 

itu bahkan kurang dari dua gelas air mineral yang kita minum.

Lalu otak manusia berevolusi menjadi Homo habilis, 

volume otak sudah meningkat menjadi 700 cc. Berevolusi homo erectus volume otak 800 cc. Akhirnya saat ini berevolusi menjadi homo sapiens, dengan lebih dari 1.000 cc volume otaknya sampai sekitar 1400cc, 

tertinggi pada masanya. 

Seiring dengan meningkatnya volume otak kepandaian manusia meningkat, 

namun fisiknya juga melemah.

Itulah sebabnya mengapa insan yang disini terlihat ada gangguan penyerta, seperti mudah stress, demam, hiperaktif, impulsif.”

Aku mengalihkan slideku 

ke slide berikut, 

tampilan suatu ledakan di jagad raya nampak di layar.

“Teori big bang.”

lanjutku sambil menunjuk dengan pointer ke layar.

“Alam semesta tercipta dari satu ledakan.  

Ledakan bervibrasi dan dari sanalah tercipta eter, 

udara, api, air, dan tanah.

Dari tanah,  

tercipta segala mahluk hidup termasuk manusia.  

Jadi kita tercipta dari asal yang sama dan saling berhubungan.   

Kemarin malam Angel juga bercerita bahwa dia terlempar sampai jauh ke masa lalu, 

dimana dunia tercipta, 

dia melihat suatu ledakan lalu tercipta banyak hal, 

dari manusia, tumbuhan, hewan dan seterusnya.

Itulah sebabnya mengapa kita bisa saling terhubung pada bintang, hewan, manusia lain, semuanya. 

Ini disebabkan karena hal ini. 

Semakin pandai manusia, volume otak berkembang maka proses penyatuan ini akan semakin kuat.

Manusia bisa bertelepati, 

bisa kembali ke masa lalu, precognition, indigo, semuanya dikarenakan unsur-unsur alam semesta ada di hadapan kita dan terekam turun temurun dalam DNA kita dengan alami, jauh saat alam semesta terjadi.

Dan sekarang dengan volume otak yang meningkat membuat fenomena metafisika semakin banyak di miliki oleh Insan-insan yang berbakat maupun insan yang mau menggali potensi dirinya.”

“Tunggu dulu bocah, 

aku memang paling bodoh diantara kalian dari tingkat pendidikannya, 

ada baiknya sedikit wawasan dari…

mungkin dokter Stephan atau Mrs. Rose atau Jeffry yang logika matematikanya bagus untuk menanggapi presentasimu sebelum lebih memusingkan, 

mari dokter Stephan, 

Mrs. Rose, Jeffry silahkan menilai.” 

suara Dragono berbicara menyela presentasiku.

“Aku rasa, 

Moira ini terlalu mudah menyimpulkan, 

dengan berkata insan disini mudah stress, demam, hiperaktif, dan impulsif 

ada baiknya keilmuan itu tidak boleh subyektif.

Moira sebagai sarjana psikologi tidak boleh subyektif dalam menilai sesuatu.

Apalagi memasukkan opini dari Curly sebagai data penunjang.

Harus berdasar fakta dan data, Moira.” 

dokter Stephan menanggapi.

“Ehm, ee..begini Moi,” 

sela Jeff sambil berdehem meminta perhatian kami.

“Aku harap presentasimu juga mengolah data, 

jangan hanya seperti ini, 

ini mentah, 

dan mengandung banyak opini, 

kau dulu ada mata kuliah statistik kan?

Dari data kualitatif ubahlah ke kuantitatif, 

jadi tidak terlalu bias, 

paham kan ?” 

ujar Jeff dengan gaya sok tahunya, 

wajahnya mendongak tetapi tubuhnya kulihat justru agak melorot dari kursi.

Aku terkesiap, 

rencanaku memang memperpanjang presentasiku selama mungkin, 

supaya mereka kelelahan, pusing dan tidak sempat bertanya.

Namun tiba-tiba Dragono, 

si kingkong gundul mencoba membuyarkan rencanaku.

Dragono memprovokasi presentasiku.

Kulihat tuan Jonah tidak bereaksi, 

wajahnya tetap datar tetapi kepalanya agak menunduk, 

seolah tidak peduli dengan presentasiku.

Aku gamang,

tanganku yang memegang pointer terasa mengambang, pikiranku seolah hilang, 

aku belum siap merespon pembantaian dari mereka.

“Bapak-bapak yang terhormat, 

sudah dijelaskan dari awal semua pertanyaan harap diajukan di akhir presentasi, 

biarlah Moira melanjutkan presentasinya.”

Mrs. Rose membuka suara, sambil wajahnya menoleh ke satu persatu hadirin.

“Ini bukan pertanyaan 

Mrs. Rose ini pernyataan, 

harap dibedakan tentang hal seperti itu.” 

tukas Jeff tidak mau kalah.

“Maaf bapak-bapak yang terhormat, 

saya sangat menghargai kritik dan sarannya, terimakasih dokter Stephan, maaf ini juga masih subyektif.

Dan lain kali permintaan yang bagus dari Jeff saya coba sertakan, 

tetapi karena keterbatasan waktu dan juga sample responden juga tidak memungkinkan, 

ijinkan saya melanjutkan presentasi bolehkan? 

Ini masih banyak materinya.” aku seolah mendapat kesempatan untuk bisa mengolah kata-kata dan berkelit, 

saat Mrs. Rose menengahi.

“Bocah, 

kau sudah dengarkan mereka bicara tentang presentasimu, 

kau terlalu subyektif, 

tidak pakai data dan fakta bahkan opini orang labil seperti Angel kau gunakan untuk presentasimu.” 

sela Dragono seperti mengejar tanggung jawabku.

“Pak Dragono, 

tugas Moi untuk mengkoleksi data para insan disini, 

ini memang baru berupa sesi tanya jawab dengan mereka, mengamati perilaku mereka.

Ini metode assesmen mengumpulkan data sebanyak mungkin selain mengetes mereka dengan tes yang sudah diberikan dari tim di atas Moi.

Jika soal subyektif tentang Angel, 

bukankah pak Iskandar yang dari kepolisian

dan kolega tuan Jonah yang lain, mereka dari militer, mereka juga percayakan atas petunjuk dari Angel?” 

aku mengajukan argumenku.

Dragono terdiam, 

argumenku membungkamnya.

“Tuh kan masak orang berbakat dengan kemampuan metafisikanya mau dikumpulkan banyak supaya terkumpul responden lalu diolah jadi data.

Tidak cukup waktu dan responden bagi Moi, Jeff.” jelas Mrs. Rose, 

ribut sendiri dengan Jeff.

“Tapi tidak bisa subyektif Moi, kau ini belum di wisuda, nanti kuminta Tuan Jonah mencolek relasinya 

supaya kau dibatalkan skripsimu, 

atau ku hack dan kuobrak-abrik data akademikmu.” 

tukas Jeff tidak mau kalah.

Aku terkesiap, 

Jeff ini kurang ajar sekali ingin mencelakaiku, 

“Jeff, seharusnya kamu berpikir jangan terlampau logis, 

ada kemampuan yang tidak logis yang harus kau pelajari dengan hati.

Kalau kamu bisa mengembangkan kemampuan itu, 

kamu bisa mendapatkan hal diluar perhitungan matematis.”

“Apalagi yang kau ragu Moi, 

semua yang ada di dunia dapat dihitung dengan matematika.

Kau bisa beli rumah kapan dengan gajimu sekarang.

Jarak planet, 

jumlah molekul di cincinmu, belum lagi…”

“Diam kau Jeff, 

biarlah bocah ini melanjutkan presentasinya.

Waktuku juga terbatas untuk melaporkan pertanggungjawabanku bulan ini.” 

tiba-tiba Tuan Jonah bersuara cukup keras.

“Oke… 

Okelah lanjut… 

tapi kalau tidak bermutu, 

aku mau merampungkan pekerjaanku juga, 

banyak yang kutinggal, 

demi presentasi bocah magang ini.” 

kata Jeff sambil  duduk lebih tegak.

Bocah magang?

Ah, abaikan omongan Jeff saja, aku harus focus ke presentasi pikirku.

“Saya lanjutkan presentasinya, 

pada kesimpulannya otak manusia yang sudah berkembang menurut hukum evolusi, membuat manusia semakin pandai.

Apapun tercipta dari pikiran.

Vision atau pandangan jauh ke depan, membuat manusia merancang kebutuhan di masa depan.

Imajinasi membuat terobosan dari keterbatasan manusia.

Kreatifitas mengembangkan kemampuan manusia.

Sakit penyakit non patologis, seperti terganggu kejiwaan tercipta dari pikiran… 

nah ini juga masuk ranah dari Mrs. Rose yang psikiater, benar ya Mrs. Rose?” Aku meminta dukungan dari Mrs. Rose.

“Emm, ya Moi.

Stressor dan gangguan hormonal bisa membuat seseorang terganggu jiwanya.” jelas Mrs. Rose mendukungku.

“Dan juga karena pikiran bisa tercetus penyakit, benar tidak dokter Stephan?” 

aku memberikan umpan balik ke dokter Stephan.

“Ya Moi, sakit jantung selain diakibatkan oleh pola hidup yang salah, bisa juga bakteri dari gigi yang tidak terkontrol.Juga bisa karena pola hidup yang salah.

Ada juga karena stress, ketakutan sehingga terjadi peningkatan tekanan darah , ketidakseimbangan hormonal, meningkatkan adrenalin dan kortisol, sehingga menyebabkan jantung iskemik.” dokter Stephan ikut menimpali.

“Terimakasih Mrs. Rose dan dokter Stephan.

intinya dari kekuatan pikiran tubuh bisa sehat, bisa sakit, bisa melampaui kekuatan fisik, 

bisa pandai,

tergantung bagaimana kita menggunakannya, memanipulasinya sehingga pikiran bisa berkembang.” tuturku mulai menguasai suasana presentasi.

Tujuanku melempar umpan balik, 

supaya mengurangi grogiku, mendapat jeda untuk berpikir dan membuatku mendapat dukungan dari dokter Stephan dan Mrs. Rose.

Ternyata berhasil!

“Untuk berikutnya tentang para insan yang ada disini,

hasil presentasi ini sudah disepakati bersama, beberapa insan di sini telah

tanda tangan dengan sadar sebelumnya, 

ada tes psikologi yang dikerjakan untuk kepentingan intern dan kepentingan negara tentu saja.

Hasil presentasi ini nantinya saya laporkan ke atasan saya disini yaitu 

Tuan Jonah.” 

kataku sambil melihat ke arah Tuan Jonah.

Mata Tuan Jonah tetap dingin menatapku.

Lalu aku melanjutkan presentasiku mulai dari Jeff fenomena telepati Henry, indigonya Ron,  

kemampuan menjelajah waktu Risty dan Angel, 

elektrokinesisnya Rado, 

psikokinetiknya Mrs. Rose,

fakir Leman dan kompleksitas Vicko.

“Untuk Jeff dari sudut pandang saya, 

dia insan yang baik, 

IQ diatas rata-rata normal, bright normal, 

dia tekun dan fokus pada tujuan.

Dia menyukai tantangan, berani mengambil resiko.”

Jeff tampak terhenyak 

lalu tersenyum tipis saat kupresentasikan tentang dirinya.

“Pendapat saya pribadi, seharusnya Jeff segera dibebaskan dari tempat ini, negara bisa memanfaatkan keahliannya untuk melindungi keamanan negara dari hacker jahat.”

“Ah, 

bagiku sama saja Moi, 

aku ada dimana, 

asal ada uang dan komputer aku bersedia ditempatkan dimana saja.” 

ujar Jeff sambil tetap tersenyum, 

matanya berbinar senang.

“Henry, 

dengan keahlian telepati, 

dia memanfaatkan kekuatan pikirannya, 

keyakinan dalam dirinya di fokuskan untuk di transfer ke insan yang dituju.

Dia memakai jalur gelombang otak yang diselaraskan dengan tujuannya, 

mirip dengan radio ada transistor ada receiver.

Kemampuan telepatinya dimulai dengan berkomunikasi antar anggota keluarga, 

lalu meningkat terus, 

sampai terakhir dia mengontak saya waktu pertama kali mengunjungi selnya.”

“Kau masih dikontak Henry bocah, atau kalian saling kontak lewat telepati ?” 

tiba-tiba Tuan Jonah bertanya kepadaku.

“Oh, tidak Tuan Jonah, 

saat pertama kali Henry mengontak Moi dengan telepati.

Sehabis itu Moi agak pusing,

mungkin berkomunikasi dengan telepati membuat mudah capek ya, 

coba besok hari Moi mau belajar dengan Henry tentang telepati ini.” sanggahku menutupi kemampuanku tentang telepati dengan Henry.

“Okay, kita lanjut ya, sekarang tentang…

Indigonya Ron, 

indigo itu suatu bakat, 

jadi Ronald telah terlahir sebagai indigo.

Menurut teori cakra, 

ada tujuh cakra di tubuh manusia.

Dimulai dari bawah ada cakra berwarna

merah, orange, kuning, hijau, biru , nila dan terakhir ungu.

Cakra merah letaknya di pangkal tulang ekor, 

naik sekitar satu telapak tangan berwarna oranye naik lagi setelapak tangan dan seterusnya,

berakhir di ubun-ubun berwarna ungu.

Warna adalah spektrum cahaya yang bias dan punya energi.

Dunia ini juga mempunyai warna.

Saat ini warnanya hijau, 

dan akan beralih ke warna selanjutnya yaitu biru.

Itulah sebabnya generasi indigo mulai bermunculan atau lahir, 

merekalah generasi masa depan untuk menjawab tantangan masa depan.”

“Bukan main, 

hebat bocah… 

ini sejenis literatur psikologi atau jurnal psikologi?” 

tanya Dragono menyela presentasiku lagi.

“Ini Moi dapat dari internet pak Dragono, 

teori yang paling bisa menjawab saat ini.

Dimana indigo di psikologi sebagai Gifted atau karunia.

Para ahli juga belum bisa menyimpulkan mengapa di era sekarang insan indigo mulai bermunculan lahir di seluruh dunia.”

“Yeay, lihat subyektif lagi…

ambil data dari internet, 

duh bocah 

kalau caranya seperti ini, mengapa harus dengarkan presentasimu, 

buang waktu saja.

Ayo semua browsing Google, habis perkara.” 

Dragono nampak tidak suka dengan presentasiku.

“Metode penelitian butuh dana dan waktu juga responden yang cukup 

pak Dragono, 

lagipula Moi bukan peneliti masih jauh untuk jadi peneliti yang valid.” 

aku harus bersabar menghadapi sanggahan Dragono, 

daripada memancing yang lain ikut berkomentar.

“Okay Moi lanjutkan lagi ke Risty dan Angel, 

karena keterbatasan waktu juga kurangnya interaksi terutama dengan Risty, 

yang tengah sakit keras…

Maka saya fokus ke Angel dulu, 

kemampuan menyeberangi waktu Angel ke masa lalu karena bakat, 

dia bisa balik ke masa lalu  melalui indera baik peraba, penciuman, penglihatan 

bisa menghantarnya ke masa lalu.

Menurut Angel kemampuan tersebut timbul karena timing yang tepat di tambah penunjang yang ada dan dirasakannya.

Seperti yang sudah Moi presentasikan di depan, bahwa aliran darah kita entah DNA kita itu membawa warisan dari entah leluhur atau siapapun itu yang sudah lebih dulu hidup dan merasakan kejadian di masa lalu.

Itulah sebabnya Angel bisa kembali ke masa lalu.”

“Lalu ke Rado, 

fenomena elektrokinesis Rado biasanya terjadi karena stressor. 

Banyak kasus di berbagai belahan dunia, 

seseorang terpicu mengeluarkan listrik karena mengalami stress baik akut maupun kronis.

Beberapa terpicu karena beda suhu yang extrem, misal dari negara tropis ke negara yang bersalju, 

tubuh beradaptasi dengan mengubah metabolismenya, salah satunya manifestasi listrik dapat timbul.”

“Lanjut ke Mrs. Rose, seorang telekinesis, 

dia sanggup melontarkan benda dengan kekuatan pikirannya, 

pikiran bawah sadarnya kuat membuat benda dapat terlontar.

Kemarin Moi diajari Mrs. Rose dan berhasil menggerakkan benda yang ringan.”

“Hebat juga kau Moi, 

bisa menggerakkan benda.” Jeff berkomentar memujiku.

“Nah, inilah yang tidak bisa dijelaskan dengan perhitungan matematis Jeff, kekuatan pikiran.

Kalau kau terlalu logis, 

maka pikiranmu akan terbelenggu di situ.” 

jawabku sambil membalas argumennya tadi.

Jeff terdiam, 

dia terlihat merenungkan pernyataanku.

“Untuk kasus Leman, 

Moi belum bisa menggali lebih dalam karena keterbatasan waktu, 

namun dari kondisi trance membuat Leman melampaui keteraturan yang di buat pola pikir kita, 

semacam habit atau kebiasaan yang umum.

Misal manusia membuat pengaturan makan 3x sehari maka pada jam-jam tertentu akan muncul rasa lapar.

Leman yang kehilangan orientasi waktu 

membuat dirinya tidak mengetahui kapan dia harus makan, 

karena tubuhnya tidak menyiapkan asam lambung yang menandai rasa laparnya.” paparku tentang kondisi Leman si fakir.

“Untuk Vicko, 

karena dia seorang yang psikopat maka seharusnya dia di rehabilitasi bukan 

di tahan dan diadu disini.

Kombinasi penanganan antara psikolog dan psikiater dibutuhkan untuk menanganinya, 

bukannya malah di pacu sifat agresifnya 

yang membuat dia menyerang orang 

dan menambah parah psikopatnya.”

paparku tentang Vicko, 

kututupi kenormalan Vicko supaya apa rencana Vicko dalam mengubah hasil tesnya tidak terdeteksi oleh Tuan Jonah.

“Mimpi bocah!

Mimpi!

Vicko mendapatkan kehormatan besar disini!

Seharusnya sejak dulu dia mati karena dihukum mati!

Ingat dia adalah orang yang statusnya sudah tewas, 

dan tidak punya identitas lagi!

Apalagi dua pertarungan lagi dia bisa bebas bila menang, dia sudah disiapkan punya identitas baru dan bisa pergi dari sini sebagai orang yang beridentitas baru.” 

tukas Dragono garang, matanya melotot marah kepadaku.

“Itu pernyataan obyektif dariku pak Dragono, 

sesuai keilmuanku.

Orang yang punya gangguan, hambatan, dinyatakan penyimpangan dalam jiwanya sudah sepatutnya di rehabilitasi, di rawat.

Bukan malah dibuat lebih parah kondisinya, 

demikian juga dengan Angel, Ronald, Risty mereka tidak layak disini.

Bukankah demikian dokter Stephan dan Mrs. Rose ?” pungkasku menyuarakan pendapat yang sesuai nuraniku, sambil meminta dukungan kepada dokter Stephan dan Mrs. Rose yang psikiater.

Suasana hening, baik dokter Stephan maupun Mrs. Rose dalam pose gamang, seolah tidak mendengar umpan balik dariku.

Dokter Stephan nampak menunduk sambil menulis di sehelai kertas, 

sementara pandangan mata Mrs. Rose datar 

sambil tangannya menopang dagu.

“Okay, sudah selesai presentasi saya, 

saya ucapkan banyak terimakasih kepada semua yang hadir disini.” 

kataku sambil menutup presentasi.

Ah, semoga tidak ada pertanyaan atau pernyataan yang aneh-aneh lagi dari yang hadir.

“Bagaimana tanggapan anda tuan Jonah ?” 

Kata Dragono sambil tangannya seolah mempersilakan Tuan Jonah berbicara.

Aku berdebar-debar menunggu jawaban Tuan Jonah di terima tidak presentasiku ?

Ataukah Tuan Jonah bertindak diluar dugaanku?

“Ya sudah.” jawab Tuan Jonah singkat.

“Ya ..sudah?” kata Mrs. Rose dan Dragono bersamaan, mereka terkejut sambil wajah mereka berpaling ke arah Tuan Jonah.

Semua yang hadir juga membelalakan mata ke arah Tuan Jonah.

“Iya, aku sudah cukup dengan presentasi bocah ini, sudahlah berikan file kita kepadanya.” 

kata Tuan Jonah dengan dingin sambil memberikan isyarat ke Dragono.

Reaksi Tuan Jonah sangat berbeda dengan yang kutakutkan, 

tetapi semua yang hadir tidak ada yang berani membantahnya.

Dragono beringsut pelan mengambil flash disk dari kantong sabuknya.

Aku masih keheranan sekaligus juga lega, 

bahwa presentasiku diterima oleh Tuan Jonah, 

telah kubayangkan yang buruk, bahwa presentasiku ditolak dan aku mungkin ditembak atau dibuang ke laut oleh Tuan Jonah.

“Untuk dokter Stephan 

dan Jeff kalian boleh melanjutkan pekerjaan kalian.” kata tuan Jonah sambil tetap duduk.

Dokter Stephan dan Jeffry melangkah keluar dari ruangan tanpa banyak bicara

lagi.

“Sekarang kau ganti presentasikan Rose.” kata Tuan Jonah mengagetkanku.

“Oke , Tuan Jonah, 

saya siapkan dulu, 

ini saya nebeng laptopnya ya Moi.”

kata Mrs. Rose sambil menancapkan flashdisk dan menoleh ke layar mencari sinyal data koneksinya.

“Aku mulai ya, Moi. 

Jadi, sejarah mengapa Chimera Project ada adalah di dasari keinginan petinggi kita untuk membentuk militer negara yang kuat. 

Selama ini militer yang kita miliki sudah cukup baik, terampil serta terlatih.  Namun alangkah baiknya andai kita bisa memiliki militer yang lebih dari manusia biasa. 

Lebih cekatan bertarung.Lebih kuat.

Lebih pintar. 

Lebih sehat. 

Lebih memiliki daya tahan di medan perang. 

Lebih bisa membaca medan perang dan musuh. 

Serta kelebihan-kelebihan lain yang tujuannya bukan saja meminimalkan korban manusia selama perang dalam tubuh militer kita, namun kita juga akan disegani oleh negara-negara sekutu dan lawan-lawan kita.”

 Klik!

Gambar LCD menampilkan sebaris prajurit, nampaknya gambar prajurit tersebut dari foto yang kuno, 

mereka pendek, gempal membawa beban yang banyak di ranselnya, 

belum lagi di tangannya ada ,.

“Negara kuat karena militernya yang kuat. Pengalaman di berbagai peperangan menunjukkan kualitas prajurit  menentukan kemenangan dalam peperangan. 

Prajurit Gurkha pada perang dunia kedua misalnya, 

mereka bisa menjadi prajurit handal walaupun postur tubuh mereka memang kecil, mereka sangat hebat dalam berperang.

Semangat mereka bertempur dan daya tahan fisiknya luar biasa, Moi.”

“Selain pertempuran, 

yang tak kalah penting ialah aspek kemandirian seorang prajurit dalam menghadapi trauma serta stress.  

Contohnya prajurit yang bertempur sendirian, 

atau prajurit yang terluka, mencoba untuk tetap survive bertahan hidup.  

Belum lagi kemampuan prajurit dalam menahan lapar. 

Sanggup bertahan dalam cuaca panas dingin, membawa beban berat senjata. 

Dan setelah semua kami pelajari, intinya adalah kekuatan pikiran. 

Dari pikiran, 

bisa terjadi hal-hal di luar jangkauan manusia karena pemrograman pikiran.

Fenomena orang ketakutan di kejar anjing contohnya, mendadak ia bisa melompat tinggi, 

padahal saat keadaan normal tak mampu melompat setinggi itu.”

Suara Mrs. Rose terasa mengambang di awang-awang. 

Mungkin presentasiku membuat pikiranku capek, sehingga kurang konsentrasi.

Aku lega sekali Tuan Jonah menerima presentasiku tanpa syarat, 

dan Mrs. Rose mendukungku meredam omongan Jeff.

Pikiranku melayang kepada sang presenter, 

Mrs. Rose. 

Andai wanita presentasi tidak di tempat yang menyeramkan seperti disini, 

andaikan misalnya ia adalah seorang dosen. 

Aku bisa membayangkan kelas yang hangat dan akrab. Dengan kecantikannya dan juga kepandaiannya, 

Mrs. Rose akan menjadi sosok yang menarik dan sekaligus berwibawa. 

Mrs. Rose akan dilirik dengan penuh minat oleh rekan-rekan dosennya yang single, 

dan mahasiswa akan berebutan bertanya atau konsultasi dengannya sekedar ingin mendapat perhatian dari Mrs. Rose.  Hal apakah gerangan yang membuat wanita berkualitas seperti Mrs. Rose terperangkap disini? 

Di tempat yang bisa jadi tidak memiliki masa depan apapun ini?

“Moi, helloo…

Moi..jelas ya.” 

tegur Mrs. Rose.

Aku mengerjap 

dan tergagap,

“Eh, ya, ya, 

jelas Mrs. Rose. 

Maaf, silakan dilanjutkan.”

Klik!

Gambar berubah lagi.

Tampilan gambar otak manusia beserta fungsi-fungsinya.

Aku melirik Dragono. 

Pria itu tak sedikitpun mendengarkan presentasi panjang lebar Mrs. Rose. Pria itu sibuk mencoret-coret di buku yang tampilannya seperti agenda.

“Sekarang saatnya kekuatan pikiran kita gali lebih dalam untuk mengoptimalkan kehebatan manusia, Moi.”

Aku tersentak kala namaku disebut.

“Oke cukup, 

ini pengantar presentasi tentang isi flash disk tentang perkembangan dan penelitian yang sudah dicapai selama ini disini dari tim Chimera.

Ini rahasia negara, 

kita serahkan kepadamu, 

pelajari untuk kau kembangkan dan berguna untuk mempermudah pekerjaanmu.

Dengan diserahkannya data ini diharapkan kau bisa menggali lebih dalam dan juga mempercepat kerjamu, ada pertanyaan Moi?”

“Eee…aku jadi kepingin bisa terbang a la Leman. 

Bisa telepati seperti Henry. 

Ingin juga bisa mengeluarkan listrik seperti Rado, 

bisa menjadi indigo seperti Ronald.

Menjelajah waktu seperti Risty dan Angel.

Semua hal yang fenomenal hanya menjadi bahasan sekilas di fakultasku.  

Dan saat ini Moi beruntung bisa melihat wujud nyata kemampuan mereka di pulau ini, Mrs. Rose.”

“Rose pastikan flash disk jangan hilang di tangannya, kalau sampai hilang, nyawanya juga hilang.” 

kata Tuan Jonah sambil berdiri dan menunjuk ke wajahku.

Aku terkesiap, 

sesudah presentasiku diterimanya, 

Tuan Jonah tetap garang kepadaku.

“Iya Tuan Jonah, 

Moi akan pertanggungjawabkan

data ini.” 

jawabku perlahan.

“Kalungkan saja di lehermu bocah, jadi kemanapun kau pergi terbawa kau.” 

kata Dragono sambil mengalungkan tali panjang yang terhubung dengan flashdisk ke leherku.

Aku terdiam saat lengan Dragono yang sebesar kepalaku mengalungkan flashdisk ke leherku, 

seolah anjing yang dipasang kalung leher oleh pria raksasa ini.

Sesaat kemudian 

Tuan Jonah diikuti Dragono meninggalkan ruang pemeriksaan, 

tinggal aku dan Mrs. Rose yang ada di ruang pemeriksaan.

“Mrs. Rose dalam rangka apa Tuan Jonah balik ibukota?”

“Dia cuti 3 bulanan.  

Jadi agak lama, 

selama 3 hari.

Dia juga kesana untuk melaporkan secara lisan dan semua report kepada Jenderal Manton.”

“Jenderal Manton, ayah Ariesty ya.”

“Dia penanggung jawab paling tinggi di pulau ini.Semua laporan apapun, termasuk laporan keuangan, semua disampaikan kepadanya. 

Beliau juga yang mengatur pendanaan atas kelangsungan proyek Chimera ini.  

Dia Jendral Angkatan Darat. 

Istrinya  berpangkat Mayor Jendral Angkatan Udara bernama Emba Kilara.

Suatu saat kau pasti bertemu dengan mereka, biasanya dalam dua minggu mereka menjenguk pulau ini.

Menjenguk Risty.” 

tambah Mrs. Rose.

Aku menghembuskan napasku, 

“Oh, pantas. 

Risty layak sangat istimewa di sini. 

Ada suster Rheina dan dokter Stephan. 

Ranjangnya bagus, 

peralatan medisnya juga lengkap.”

“Kondisi Ristylah yang mengusik Jendral Manton untuk membuat Chimera Project ini,” ujar Mrs. Rose.

“Oh, berarti selain untuk kepentingan negara.Ternyata sebagai wujud cinta ayah kepada anak ya,” ujarku bergumam.

“Orang tua Risty pasti kaya sekali, ya,” ucapku tanpa berpikir.

“Hmm… 

Sebagai seorang Jendral, Jenderal Manton memiliki kewenangan yang cukup untuk menggunakan anggaran dana dari pemerintah. 

Apapun masih bisa diatur, tarik ulurlah dinegeri ini.”

“Jendral Manton sendiri akan pensiun dini tahun depan.  Akibatnya selain pergantian kepemimpinan di tubuh militer kita tahun ini, 

maka semua kucuran dana atas proyek rahasia di tempat ini akan di hentikan.”

“Bila pihak kita, 

pihak Chimera bisa meyakinkan Jendral pengganti Jendral Manton akan pentingnya kelangsungan aktivitas disini, untuk kepentingan bangsa dan negara.

Moi yakin, aliran dana pemerintah atas tempat ini tidak akan dihentikan, 

asal bukan untuk kepentingan pribadi.” 

Uups…

Omonganku kebablasan menyindir Tuan Jonah.

Mrs. Rose menarik napasnya dalam-dalam, 

lalu tersenyum 

“Moi, 

sebegitu lugunya kamu ini, 

di negeri kita saat ini, 

terlalu mudah untuk menyalahgunakan jabatan demi kepentingan pribadi, 

di samping itu saling incar jabatan, 

menjadi tujuan seseorang untuk menghalalkan segala cara.

Jendral Manton sebentar lagi sudah pensiun, 

tetap harus menjaga 

nama baiknya dan dapat pensiun secara terhormat, 

tanpa skandal apapun.

Ah, aku terlalu banyak cerita.

Intinya ayo kita kerja saja, jangan ikut-ikutan urusan petinggi.

Itu di luar wewenangku. 

Kita semua disini hanya mengikuti intruksi dari 

Tuan Jonah.”

“Ayo kita keluar Moi,” Mrs. Rose.

Aku mengambil laptopku dan berjalan keluar dari ruang pemeriksaan, mengikuti langkah Mrs. Rose.

Aku meraba flash disk di kalungku. 

Haruskah benda ini menggantung di leherku selamanya? 

Aku kurang suka. 

Tali flash disk berbahan nilon tipis bisa bikin gatal bila menggantung terus. 

Aduuh, 

mungkin perlu di ganti tali bila sudah kotor dan bikin gatal di leherku.

Setelah makan malam aku kembali ke kamarku.

Kumanfaatkan kesendirianku untuk membuka data dari flashdisk tersebut.

Saat membuka dan masuk ke isi dari flashdisk tersebut, ternyata banyak sekali wawasan dan perkembangan ilmu yang kudapat, aku merasa sedikit sekali ilmuku.

Sekitar satu jam kemudian, aku menutup laptopku, 

walau badanku capek

tetapi pikiranku bergelora antusias, 

isi flashdisk itu telah membangkitkan rasa ingin tahuku, 

tetapi perlu waktu untuk mencernanya, karena isinya sangat terstruktur dan rumit.

Aku kembali teringat kejadian siang tadi, 

di saat presentasiku 

di guncang argumen oleh dokter Stephan, Jeff dan Dragono.

Dokter Stephan…

Aku berpikir, 

besok aku harus mendekati dokter Stephan, 

mengapa seorang yang idealis seperti dia bisa ada di pulau Chimera dan kelihatannya kerasan?

Mengapa dia tidak nampak saat ada duel di The Arena ?

Mengapa ada korban jiwa dia tidak berusaha menyelamatkan atau merawatnya ?

Pikiranku menjadi terombang-ambing, banyaknya insan di sini dan kekacauan yang timbul laksana puzzle berserakan dan harus ditata untuk mendapatkan kejelasannya.

Ah, ada baiknya kukontak Henry sekarang.

Aku mencoba memanggil, “Henry, 

Henry..

Hallo Henry. 

Bisa mendengarku kah?  Yuhuu, Henry, 

Halloo..”

Suara Henry masuk ke kepalaku dengan nada terkejut, 

“Lho, Moi, ini sudah tengah malam, 

masih belum tidur?”

“Hehehe…iya ini aku.  

Masa sih kamu tidak mengenali suaraku yang merdu bak buluh perindu begini?”

Suara Henry terdengar bersemangat , 

“Iya maaf, 

kukira orang gila yang sedang merencanakan kehancuran tempat ini.”

“Kan aku anak ajaib. 

Tanpa bimbinganmu lagi sekarang aku bisa kontak telepati denganmu.” pancingku mengejeknya.

“Puh, sombongnya.” tukas Henry seolah-olah gemas kepadaku.

“Iya..ya… aku senang kamu bisa telepati begini. 

Biasanya kan aku terus yang duluan menghubungi kamu. 

Dengan begini kita bisa saling tukar informasi kapanpun.

Aku juga ingin suatu saat kau bisa mendengarkan telepati yang sedang membangun konspirasi jahat disini.” lanjut Henry mulai membuatku tegang.

“Besok aku mau ketemu kamu, dan daripada tidak  bisa tidur malam ini, 

aku ingin bertanya apa yang kamu ketahui tentang Jenderal Manton,  

ayah Risty, Henry?” tanyaku.

Beberapa detik berlalu tanpa suara. 

Setelah itu terdengar Henry menjawab, 

“Jenderal Manton ini dekat dengan para pengusaha. 

Dan karena aku terlibat dalam transfer uang dari 

Mr. Mc Pherson kenalan Jendral Manton, 

aku diamankan di sini tanpa kejelasan.

Jendral Manton bisa mengexploitasi kemampuanku, 

Mr. Mc Pherson kehilangan jejakku.

Ini juga keuntungan buatku, bila aku masih diluar,

aku bisa terbunuh oleh kaki tangan Mr. Mc Pherson.”

“Lalu apa yang kamu ketahui tentang Risty ini, Hen?”

tanyaku menyelidik.

“Aku tidak pernah bertemu langsung dengan anak aneh dari Jendral Manton itu. Kudengar dia sangat hebat dalam melintasi waktu ke masa depan.

Namanya aku tahu dari penjaga-penjaga disini.  Kamu tahu kan,  

selku ini terisolir di belakang.  Aku ditempatkan di area yang  sama dengan Vicko, Rado dan Leman. 

Seolah perangaiku sama dengan mereka. 

Padahal aku ini kan manis dan selalu bersikap baik, sangat jauh berbeda dengan dua orang tetangga sel ku itu.”

Aku tersenyum, 

walau kurasakan getir di hatiku.

Ini adalah kedua kalinya Henry memprotes dirinya di tempatkan di sel yang satu area dengan Vicko.

“Iya Hen, aku pernah lihat menyaksikannya. 

Risty bisa mengetahui masa depan, 

hanya saja ia selalu menguraikannya dengan simbol dan gambar-gambar yang harus dicari artinya lagi. Ia tak pernah langsung mengatakan seperti apa masa depan yang dilihatnya, takutnya mendahului takdir, dan bisa memperpendek umurnya.”

“Memperpendek umur?Apa hubungannya dengan takdir?

Tahayul itu Moi, tidak ada relevansinya.” 

sanggah Henry.

“Wah, mana kutahu Hen.

Mungkin aturan atau etika menyeberangi waktu seperti itu.Siapa tahu?

Kulihat, Risty kurus juga lemah, 

seluruh tubuhnya penuh dengan kabel dan alat medis, kasihan sekali dia, Hen. Setiap diminta lari ke masa depan untuk melihat pemecahan kasus-kasus pembunuhan oleh tentara juga Tuan Jonah, 

ia menjadi lemas dan tak bertenaga. 

Energinya habis, Hen.”

“Aku bisa mengerti.Kemampuan seperti itu tentu menguras banyak energi.Telepati juga menguras energi kita. 

Aku kan pernah bilang begitu ke kamu kan?” tanya Henry.

“Benar deh. 

Perasaan aku sekarang  jadi lapar lagi, Hen.  

Energiku terkuras nih, sepuluh menit kita sudahi ya.” jawabku.

“Sementara menunggu waktu makan pagi, 

kamu bisa gigit-gigit bantal dulu, Moi.” suara Henry memancing ketawaku.

“Tidak mau ah. 

Lebih sip kalo gigit ranjangnya aja. 

Lebih besar, lebih mantap.Pasti kenyang.” 

Aku membalas gurauannya.

“Besok  kita ketemuan ya, Moi.  

Tetapi ingat, jangan ada satupun orang lain yang tahu kemampuanmu tentang telepati ini,  

nanti bisa-bisa kamu dimasukin sel juga, 

oleh Dragono.”

“Kalau satu selnya sama kamu, aku tidak keberatan.” ejekku.

“Aku yang keberatan.” 

sahut Henry.

“Loh, kenapa?” tanyaku heran.

“Jatah makananku bisa direbut sama kamu, Moi.Nanti aku yang kelaparan.

Ladies first, man suffer.” balas Henry.

Aku kembali tersenyum, walau Henry ada di penjara dia masih bisa berkelakar.

“Ok Moi, tidurlah, 

aku mau berjaga setengah jam lagi, 

aku rasa malam ini ada lintas telepati yang bisa kudengar.

Aku ingin tahu bakal ada kejadian apa, mau apa, 

dan siapa saja yang terlibat di sini.

Selamat malam ya.”Henry mengakhiri percakapan telepati malam ini.

“Selamat malam, Hen.

Besok kau kukunjungi.”

balasku berpamitan.

Ah benar, terasa badanku capek sekarang sehabis bertelepati.

Aku harus segera tidur, supaya besok tidak kesiangan.

Sesaat kemudian aku merasa diriku teringat kampusku, 

bayangan akan meja, kursi kuliah, papan tulisnya seolah berkelebat di antara kantukku, 

aku menikmati proses tidurku yang nyaman menuju terlelap.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan walaupun terdengar jauh di belakang,

namun kudengar langkah-langkah seolah berjalan menuju pusat suara.

Aku terbangun, 

itu suara Henry!

Aku melompat dari ranjangku, 

memakai piyama tidurku 

aku membuka pintu, 

terlihat sekilas Mrs. Rose dan dokter Stephan bergegas ke arah ruang belakang dimana Henry masih berteriak-teriak

“Keluarkan aku!

Keluarkan aku dari sini !”

Aku mengikuti langkah mereka dari belakang setengah berlari, 

jantungku terasa berdebar kencang, 

apa yang terjadi dengan Henry?

GLOSSARY

Jantung Iskemik =  adalah kondisi penyempitan pembuluh darah arteri jantung yang disebut pembuluh darah koroner. 

Chapter 14 The Dangerous Puzzle

Aku mengatur nafasku, mencoba untuk tidak tampil stress, 
karena Angel sudah cukup berat tekanan hidupnya.
“Angel, coba ceritakan bagaimana Angel bisa masuk ke masa lalu.” 
pintaku sambil mengalihkan pembicaraan tentang duel yang bakal terjadi.

Angel tidak langsung menjawab, 
bulu matanya yang lentik berkali-kali mengerjap, 
seolah Angel mencoba berpikir keras
sebelum menemukan jawabannya.
“Emmm…
kuncinya ada pada situasi, aroma, sensasi yang tepat Moi.”

Aku mencoba untuk tidak tersenyum, 
asosiasiku melayang pada minum kopi, 
ada aroma, sensasi yang tepat.
Namun, 
dari raut muka Angel, 
dia nampak serius 
dengan ucapannya, 
jawaban Angel sulit dimengerti namun dia menjawab dengan sungguh-sungguh.

“Maksudnya bagaimana Angel? 
Moi benar-benar tidak mengerti?” 
tanyaku sambil merangkul pundaknya.
Angel menghela napasnya, matanya yang besar melihat ke atas, 
kepalanya miring kekiri sebelum menjawab, 
nampak dia mencoba mengingat sesuatu.
“Moi, Angel sudah berkelana di masa lalu, 
ada suatu waktu dimana Angel melihat pendahulu Angel…
Lalu Angel terlempar jauh di mana masa dunia tercipta…
Kita ini satu kesatuan Moi…”

Aku merinding mendengar jawaban Angel, 
gadis ini ternyata telah berkelana jauh di masa lalu, bahkan mungkin masa yang tak pernah terbayangkan manusia.
Suatu perjalanan yang mistis, ajaib dan hanya Angel yang tahu.

“Saat itu Angel melihat kehampaan, gelap, sunyi, kosong… 
tiba-tiba ada suatu ledakan, dari ledakan Angel melihat suatu bola-bola kecil yang makin lama membesar 
lalu membelah…
Membelah menjadi suatu bentuk lain ada yang jadi dunia, air, pohon, manusia, hewan bermacam-macam mahluk hidup.”

Aku terhenyak, 
seumur hidupku 
belum pernah mendengar cerita yang ganjil seperti ini, 
namun dari tatapan mata dan wajahnya yang serius Angel nampaknya tidak sedang berbohong.
Apalagi dengan kejadian yang kulihat tempo hari, 
pak Iskandar seorang komisaris polisi mempercayai cerita Angel.

Aku mengelus-elus pundaknya sambil bertanya,
“Apa hubungannya hal ini dengan sensasi dan aroma tadi Angel ?”

“Justru itulah Moi, 
mengapa kita semua terhubung, 
ada materi di suatu benda itulah yang menghantarkan kita ke masa lalu, 
karena kita adalah bagian dari masa lalu, 
masa dimana kita menjadi satu.”
Belum selesai aku mencerna kalimatnya, 
Angel bertanya,
“Moi pernah tidak merasakan bahwa… 
Moi pernah mengunjungi suatu tempat…
Moi merasa sudah mengunjunginya?
Tetapi Moi belum pernah kesitu?”

“Oh itu istilahnya Dejavu, Angel.
Ya, Moi pernah merasakannya, 
bahkan saat tiba di sini Moi merasa familiar dengan tempat ini.” 
aku mencoba menerangkan apa yang diuraikan Angel dengan istilah.

“Nah, seperti itulah Moi, kemungkinan leluhur 
atau pendahulu kita pernah disini, jadi aroma, sensasi yang tepat memicu hal tersebut…
karena darah yang mengalir sampai ke otak kita, 
ke hidung kita,
saraf peraba kita, 
ke mata kita… 
sudah diwarisi hal tersebut.
Bedanya Angel semakin peka karena lebih sering pergi ke masa lalu.” 
terang Angel sambil wajahnya menunduk melihat lantai.

Aku terdiam, 
penjelasan Angel membuatku terbersit 
ingatan akan papa, 
apakah papa pernah menginjakkan kakinya ke tempat ini ?
Sehingga aku merasa Dejavu dengan tempat ini?
Karena susunan DNA kami sama, sehingga terkoneksi ?

Mulutku sebenarnya sudah ingin bertanya kepada Angel tentang papaku, 
namun kutahan, 
mengingat keadaan Angel yang selalu dalam kondisi tertekan, 
lagipula siapkah diriku bila mengetahui papa sudah… tiada?

Aku mengurungkan niatku untuk bertanya lebih lanjut, dan mengingat pekerjaanku yang masih banyak, 
n resiko bahwa hal yang terburuk mungkin telah menimpa papa, 
serta Angel bisa mengalami trance yang berat.

“Oke, Angel, 
terimakasih sudah bincang-bincang dengan Moi. 
Ini sudah larut malam dan juga Moi harus segera membuat laporan, 
sampai jumpa ya Angel.”
Aku merebahkan Angel 
ke tempat tidurnya 
lalu menyelimutinya, kuberikan lambaian tangan sebelum aku menutup pintu.
Angel hanya mengangguk sambil memeluk boneka gonzonya.

Aku melanjutkan pekerjaanku malam itu, interaksi dengan para insan berbakat di tempat ini membuatku benar-benar terbeban karena mereka komplek dengan segala kelebihan maupun permasalahannya.
Dan khusus Vicko aku harus bersikap tidak menjabarkan tentang manipulasi Vicko pada test psikologinya dimasa lalu, 
sehingga dia dinyatakan psikopat.

Esok paginya Mrs. Rose mengetuk pintu kamarku, aku terkejut, 
rupanya aku kesiangan.
Kubuka pintu kamarku, kututup mulutku dengan tanganku, 
maklum belum sempat mandi dan menyikat gigi.
“Maaf Mrs. Rose tunggu 
di ruang makan ya, 
aku mau bersih-bersih diri dulu sebentar.”

10 menit kemudian aku berlari ke ruang makan.
Mrs. Rose duduk di salah satu bangku.

Saat aku melewati bangkunya Mrs. Rose menyentuh pundak ku.
“Bagaimana tidurmu, Moi?” Sapa Mrs. Rose dengan ramah.
“Oh, aku hanya bisa tidur beberapa jam saja, 
sibuk mengejar laporan awal ke Tuan Jonah.
Tunggu ya Mrs. Rose, 
aku mau ambil makan dulu.”

Aku mengambil nampan 
dan mengantri sarapan pagi.
Mrs. Rose berdiri disampingku, ikut mengantri.
“Kamu hari ini bebas deh mau mengobservasi siapa.
Yang penting nanti sore kau presentasikan apa yang kau dapat selama disini.
Tuan Jonah minta jam 5 sore kau presentasikan di ruang interogasi.”

“Ya, Mrs. Rose.
Tolong dukung ya,
supaya presentasiku bisa diterima oleh Tuan Jonah.
Hari ini aku mau ketemu dan mengobservasi Ronald.”

“Kali ini biar Dragono yang mendampingi, Moi,” ucap Mrs. Rose.

Deg! 
Hanya mengobservasi bocah kecil, 
mengapa harus didampingi tangan kanan Tuan Jonah yang tinggi besar seperti kingkong, 
si Dragono itu? 
Aku bukannya mau mengobservasi Leman atau Vicko lho, 
pikirku dalam hati.

Tidakkah Mrs. Rose ingin mendampingiku seperti biasa? 
Apakah…
wanita itu kini menjaga jarak denganku?

Kesunyian melingkupi kami berdua. 
Kami masing-masing sibuk dengan sarapan kami.Rasanya canggung sekali.Posisi duduk kami saling berhadapan, 
namun seolah jarak diantara kami beribu kilometer jauhnya.

Tuan Jonah berhenti di meja kami sambil membawa nampan sarapan paginya. “Rose. 
Aku mau ke ibukota.
Tiga hari lagi aku baru pulang. 
Ada titipan tidak?”
Dadaku berdesir. 
Tuan Jonah akan ke ibukota, dan sepulangnya dari sana, ia akan mengadakan duel lagi, 
seperti ucapan Angel semalam.

“Oh, tidak, Tuan Jonah.Mungkin Moi, 
ada yang mau dibeli dari kota?”
“Tuan Jonah, 
Moi ada permintaan barang yang sudah kutitipkan ke mama. 
Semua barang titipan siap 5 hari dari sekarang. 
Sekarang Moi mau observasi Ronald dulu ya. 
Lalu Angel. 
Mari Tuan Jonah,” 
ujarku pamit untuk segera pergi menjauh dari kedua orang ini, dan balik ke kamarku.

Saat aku sedang berada di kamarku,
tiba-tiba suatu gambaran masuk ke pikiranku, 
gambaran yang nyata mirip dengan melihat film, 
atau mengalami mimpi. Anehnya ini di pagi hari dan aku serasa mengalami mimpi yang nyata.

Aku melihat dengan jelas 
di ruangan kantor 
Tuan Jonah, 
ada Tuan Jonah 
dan Mrs. Rose sedang duduk berhadap-hadapan.
Tiba-tiba mereka berbicara
“Anak ini mulai apatis denganku Tuan Jonah”, 
kata Mrs. Rose.

“Dia tetap tanggung jawabmu, Rose, 
awasi dia terus,”
kata Tuan Jonah sambil berkacak pinggang.
“Maka dari itu dia pagi ini bersama dengan Dragono.”Kata Mrs. Rose.
Gambaran dan pendengaran tiba-tiba menghilang…

Aku terhenyak 
Ini terjadi lagi…
melihat dan mendengar percakapan mereka.
Jadi di belakangku, 
Tuan Jonah dan Mrs. Rose terus membicarakan diriku.

“Moi, sst Moi…” 
suara Henry bergema 
di pikiranku.

Aku memusatkan pikiranku untuk berkomunikasi lewat telepati dengannya, 
“Hi, Henry bagaimana kabarmu?” sapaku.

“Aku hampir gila Moi, semalam darah keluar dari hidungku, 
ada pembuluh darah yang pecah di dalam hidungku.
Gara-gara aku adu kuat telepati dengan seseorang disana, 
dia mencoba blok lalu lintas telepati yang terjadi, 
saat aku berusaha masuk.”

“Hah, 
sekarang bagaimana kondisimu Henry ?” 
tanyaku cemas.

“Sudah tidak berdarah lagi, kepalaku seperti ada yang mencengkram saat itu, kekuatan pikirannya semakin meningkat dari hari ke hari.” ujar Henry.

“Siapa dia Henry? 
Mengapa dia tidak mengizinkan kau berkomunikasi dengannya?” aku tercekat ketakutan dan kebingungan atas peristiwa ini.

“Aku tidak tahu Moi, 
mereka banyak orang, 
ada yang bernama Alfa, 
Beta, Charlie dan seterusnya, 
tidak tahu berapa orang… tetapi mereka banyak.
Mereka menyamarkan identitasnya dengan nama panggilan.”
jelas Henry lewat telepati kepadaku.

“Kau harus hati-hati Henry, apa yang sempat kau dengar dari mereka?” tanyaku penasaran..

“Mereka bersekongkol mau segera melaksanakan rencana, 
mereka bilang plan A harus segera jalan.
Entah apa yang dimaksud dengan plan A itu, 
mereka mengetahui gelombang pikiranku mendengar telepati mereka, langsung aku diserang.
Moi, hidupku bergantung padamu.”

“Trims, sobatku Henry 
yang baik. 
Kau harus kuat 
supaya aku tidak lemah.
Sorry, kemarin aku membentakmu.” 
kataku mencoba menghiburnya.

“Tidak apa-apa kok. 
Lupakan sajalah yang sudah berlalu. 
Aku orangnya tidak mudah tersinggung kok, 
asal kau hari ini datang ke selku.”

“Hari ini aku repot Henry, sore nanti presentasi dengan kemampuanku yang minim.
Aku diharuskan presentasi oleh Tuan Jonah.
Omong-omong, 
kamu sudah sarapan?” tanyaku.

“Aku ngg…belum nafsu makan.” 
kata Henry seolah ogah-ogahan.
“Oh Henry. 
Apa yang akan kita lakukan selanjutnya? 
Kamu harus makan. 
Kalau kamu terus-terusan tidak makan minum, 
kamu bisa bertahan berapa hari? 
Angel bilang, 
enam hari lagi akan ada duel lagi. 
Ada dua petarung datang.
Leman juga ikut di adu.Mungkin saat itulah moment kita untuk kabur. 
Aku yang bawa jerigen bensin dan kunci untuk membuka rantai speed boat.
Kau yang atasi penjaga.
Kondisimu harus fit, Henry. Siapa tahu kita harus berlari cepat, 
atau sedikit dorong-dorongan 
dengan penjaga.” 
aku mencoba membuatnya bersemangat.

“Kok dorong-dorongan Moi, mereka itu prajurit terlatih.
Aduh Moi, 
dari aku duduk di taman kanak-kanak, 
aku tidak pernah berkelahi dengan orang lain. 
Paling cuma adu mulut saja.Bertarung fisik sama sekali bukan keahlianku.” 
protes Henry.

“Bukan keahlianku juga. Waktu aku sekolah, 
aku cuma dua kali tarik-tarikan rambut sama temen SMP. 
Kalaupun kita bisa melarikan diri kita berdua saja.
Ah alangkah senangnya andai aku memiliki kemampuan super untuk bisa membuat tubuhku tak kasat mata,” sahutku.

“Lhah…
Kamu terlalu banyak nonton film kartun, Moi.” 
tukas Henry seolah gemas, terdengar di pikiranku.

Senyumku merekah, memang kuakui 
masa kecilku kulewati dengan banyak menonton film kartun karena hiburan favoritku.

“Aku jadi merinding. Kabur dari sini bukan sesuatu yang mudah dilakukan, Moi. 
Kalaupun kita berhasil kabur dengan speedboat, 
bisa-bisa kita ditembaki.
Kalau aku bisa memanipulasi pikiran seorang pilot helikopter tamu yang datang, 
mungkin lebih praktis. 
Kita tinggal menyelinap masuk, 
lalu…
bbrrr….
sukses deh pelarian kita.”

“Ssst..Hen, 
Dragono mendekatiku.”
Dragono, sang pria raksasa itu mendatangiku dengan langkahnya yang lebar dan cepat. 
Suara sepatu botnya terdengar berdebum-debum menggetarkan lantai.
Sosok besarnya sungguh mengintimidasiku.

“Mengapa kamu memilih Ron untuk kunjunganmu, Bocah?” ujar Dragono membuka percakapan.

Aku sungguh tidak suka akan panggilan ‘bocah’ ini.
“Namaku Moira, 
pak Dragono
bukan bocah,” 
sahutku sambil menghembuskan nafas.

Dragono menatapku lekat. 
“Hmm…
Kau memang bocah, 
lihat saja perawakanmu kecil dan kurus seperti itu.
Ayahmu yang tentara harusnya malu punya anak seperti kau.
Dan harap kau tidak mengatur diriku
karena kau bukan atasanku.”

Aku menarik napas. 
“Maksud Moi, 
Pak Dragono mungkin memiliki pekerjaan lain yang lebih penting. 
Moi rasa menemani Moi mengobservasi Ronald, 
lalu Angel akan sangat membosankan bagi bapak.”

Dragono melipat kedua tangannya di depan dada. “Tidak. 
Aku ditugaskan untuk mendampingimu, bocah.
Kau tahukan di militer, otoritas dan kepatuhan adalah nomor satu. 
Walau tidak suka dengan perintah pun harus dijalani, bahkan bila resikonya tewas.
Permintaanku satu,
kau harus fokuskan mencari tahu bagaimana Ronald bisa indigo, 
kemampuan anak itu harus kamu kuak misterinya, bagaimana itu bisa terjadi.”

Aku tersenyum, 
“Indigo adalah bakat alami seseorang sejak kecil, Pak Dragono. 
Bukan hasil rekayasa atau ciptaan manusia.”

Ekspresi Dragono nampak seperti hendak menelanku.“Kuak tabir itu, 
supaya militer bisa mempunyai kemampuan tersebut.” tukasnya seolah tidak sabar.

“Perlu waktu Pak Dragono.Moi harus mengobservasi mendalam tentang fenomena Indigo ini. 
Lalu mengapa kemampuan indigo bisa menarik untuk dipelajari oleh militer, Pak Dragono?”

“Bakat seperti Ron ini sangat berguna. 
Antara lain bila militer bertempur akan sangat mudah untuk membedakan mana musuh, 
mana teman, 
terlihat dari aura orang yang yang berbuat jahat akan langsung kelihatan.
Bersembunyi di balik tembok, pohon pun 
akan ketahuan dari aura yang dipancarkannya. 
Belum lagi kemampuan mendeteksi penyakit yang didapat dari efek indigo, 
lalu membedakan mana makanan yang bermanfaat bagi tubuh, 
mana yang tidak.”

“Karena Ron punya gangguan perkembangan, dia hiperaktif, 
maka hari ini Moi akan coba masuk ke alam bawah sadar Ronald, Pak Dragono.
Dengan hipnoterapi memudahkan Moi untuk lebih banyak waktu
Melalui hipnoterapi. 
Hanya saja Moi harus mendapat kepercayaannya secara penuh. 
Disinilah perlunya hati 
yang tulus dari Moi, 
supaya tidak kena 
mental blocking dari Ron. 
Pak Dragono mohon bantuan untuk tenang dan support ya, saat nanti Moi terapi Ronald.”

Aku tersenyum pada dua tentara yang bertugas di pos jaga, 
“Selamat pagi.
Moi mau ke tempat Ronald.”

Salah seorang tentara berdiri dan mengantarku ke kamar Ronald. 
“Silahkan, Miss.”
“Terima kasih ya, 
pak Rupert.” 
Balasku setelah membaca nama di dada tentara itu.
Rupert membalas dengan hormat.

“Hallo Ron, selamat pagi,” sapaku.
Ronald sedang berada di ranjang 
Ia sedang membaca sebuah buku.
Dragono mengikutiku masuk kamar Ronald. 
Ia menyilangkan tangannya di depan dada dan berdiri dalam diam. 
Baguslah.

“Baca apa, Ron?” tanyaku.
Ronald posisi duduk di ranjangnya, 
ada bantal yang menyangga punggungnya.
Aku beringsut mendekati Ron lalu duduk di sampingnya. 
Kupandang kamar Ron cukup bersih, 
syukurlah, 
kebersihan di Chimera ini rupanya cukup mendapatkan prioritas.

“Ini kisah tentang nelayan tua, Kak Moi.”
“Oh, Kak Moi pernah baca juga buku itu. 
Mari kita baca bersama-sama.
Laut itu memang luar biasa sumber dayanya ya?” kataku antusias.
“Dan gelombang samuderanya sungguh tidak terbatas kekuatannya,” 
balas Ron.

“Ron, andaikan bisa, 
kira-kira Ron mau tidak mendapat kekuatan samudera? 
Nanti Kak Moi beri permainannya, Ron.”
ujarku memancing perhatiannya
“Permainan laut, Kak Moi? Assiik.Aku mau, Kak.”
“Oke. 
Ron coba duduk tenang, ya.Kak Moi pinjam bukunya sebentar dulu, ya.” 
Aku mengambil buku di tangan Ron. 
“Sekarang Ron pejamkan mata. 
Anggukan kepala Ron saat Ron suka dengan kalimat kak Moi.
Bayangkan Ron sedang melihat pantai yang indah di pagi hari. 
Pasirnya putih bersih. 
Aneka kerang tersebar di seluruh penjuru pantai.Pohon-pohon nyiur yang tinggi bergoyang-goyang 
di terpa angin. 
Ron berlari mendekati tepi pantai itu. 
Pantainya teduh dan sejuk.Matahari sedang bersembunyi di balik awan.”
Ron memejamkan matanya, nampak mengikuti instruksiku membayangkan segala perkataanku, 
terbukti berkali-kali dia mengangguk. 
Bibirnya juga mengembangkan seulas senyum.
“Air lautnya berwarna biru muda, sepasang kaki Ron menginjak pasir yang lembut dan basah. 
Nikmati jalan-jalanmu, Ron.Indah ya Ron?”
“Indah, Kak Moi,” sahut Ron.
Aku melirik Dragono. 
Pria besar itu melipat kedua tangan di depan dada. Sepasang matanya dingin dan mengawasiku.

“Ron merasa tenang di pantai itu. 
Coba Ron ambil napas dalam melalui hidung. 
Yaa, rasakan kesegarannya.Disana penuh kedamaian. Ron hembuskan napas pelan-pelan ya…”
“Ron menyukai alam, 
masuk, 
semakin relax.
Semakin Ron berada di pantai itu semakin relax.”

Aku memandu Ron dengan perlahan, 
kulihat mata Ron terpejam, 
di bibirnya terlihat segaris senyum tipis.
Ron terlihat menikmati kondisi tersebut.

“Sekarang Ron mendengar tepuk tangan dari Kak Moi, 
Ron harus patuh apa yang dikatakan Kak Moi. 
Ron paham? 
Anggukkan kepala Ron bila Ron paham. 
Setiap Ron mendengar tepuk tangan dari Kak Moi, 
seperti ini. 
Maka Ron harus patuhi Kak Moi.”
Aku berkata-kata sambil bertepuk tangan, 
nampak bahwa Ron respon dengan proses ini, 
diamengangguk saat kusuruh mengangguk.

Waktu berjalan, 
dan Ron dalam kondisi yang tenang, walau matanya terpejam dia selalu mengikuti sugesti yang kutanamkan.

“Okay Ron sudah mulai segar sekarang, 
ya…makin segar. 
Dan mulai hari ini Ron semakin tenang, 
semakin tenang tingkahnya, semakin baik.
Ya, semakin baik.
Dan pada hitungan ke 3, 
Ron buka mata kembali. 
1..
2…
3! 
Bagaimana Ron? 
Enakkan badannya?”

“Ya, Kak Moi, 
Ron merasa lebih fresh badannya.”
“Kak Moi pamit dulu ya, Ron.Pagi ini cukup dulu. 
Sampai besok ya. 
Daah…”
“Daahh, Kak Moi,” balas Ron sambil melambaikan tangannya.

Aku dan Dragono meninggalkan ruangan Ron, dan kami bercakap-cakap, berdiri di ruang tengah.

“Kau apakan anak itu tadi?” tanya Dragono segera.
“Moi pasang anchor, 
Pak Dragono. 
Supaya sewaktu-waktu Moi mau tanya jawab, 
tidak memakan waktu lama karena Ron
sudah patuh dengan Moi. 
Moi tanam anchor supaya Ronald tidak hiperaktif, 
mudah dikendalikan 
dengan tepukan tangan dari Moi. 
Kalau tidak ada anchor, 
Moi harus berulang kali melakukan pendekatan yang memakan waktu lama untuk menterapi Ron. 
Anchor juga berguna biar Ron bisa duduk tenang, bicara dengan Moi. 
Disitu Moi bisa masuk ke potensi yang Ron punya. Bertanya masa lalu Ron, selanjutnya biar dia bercerita sendiri tentang apa yang dialaminya.

Mata Dragono terlihat datar, nampaknya dia sedang mencerna informasi dariku, “Kami dukung kau semaksimal mungkin, 
ada beberapa bahan penelitian yang sudah kami lakukan juga kepada mereka. 
Kau bisa buat untuk referensi supaya dataku juga makin lengkap.”

“Data?
Data apa, Pak Dragono?” tanyaku ingin tahu.
“Nanti aku bisa bawakan dalam bentuk flashdisk.
Kita perlu banyak diskusi untuk hal ini, Bocah. 
Kalau kamu butuh akses internet, kamu bisa minta Jeff. 
Ingat, apa yang kamu akses terpantau oleh dia. 
Jadi jangan macam-macam.”
tukas Dragono, 
sorot matanya tampak mengerikan bagiku.

“Terima kasih Pak Dragono,
Moi semalam sudah minta dibuka akses internetnya dari Jeff, 
untuk mengambil referensi sebagai bahan kerja Moi.
Setelah ini kita ke kamar Angel,
mohon untuk Angel,
Moi butuh ketenangan.
Angel mudah tertekan.” kataku perlahan dan lirih.

Kamar Angel di sebelah kamar Ron, 
aku membuka pintunya dengan perlahan.
“Pagi Angel,” sapaku.
Angel tidak merespon matanya menatap lurus ke tembok.
Kulihat syalku orange tergeletak di ranjangnya dekat dengan bantal.
“Bagaimana tidurmu, Angel?Nyenyak tidak?” lanjutku meminta perhatiannya.

“Moi duduk disini ya, Angel.”Aku melirik Dragono. 
Pria itu berdiri tak jauh dariku, 
tangannya kembali terlipat di dadanya yang membusung berotot.

Aku menatap Angel. 
Wajah gadis itu nampak kuyu dan lelah.
Mungkin semalam setelah aku pamit, 
Angel kurang tidur.

Aku bisa memahami Angel menghadapi banyak tekanan di masa lalu.
Juga siksaan dari ayahnya, belum lagi bullying dari teman-temannya. 
Angel menjadi pemurung.

“Sudah sarapan, Angel? 
Enak tidak sarapannya hari ini?” sapaku dengan nada ceria.

Aku harus tahu dimana Angel bisa mendapatkan tempat yang nyaman. 
Dalam penanganan trauma masa lalu, 
aku sebelumnya pernah menghipnoterapi mencari safe place. 
Safe place bagi seseorang individu berbeda. 
Ada yang menyukai gunung.Ada yang laut, seperti Ronald. 
Tempat masa kecil, gendongan/pelukan ibu, dan sebagainya. 
Seperti barusan Ron, 
bocah indigo, 
safe placenya adalah laut yang mengantarkan ombak yang tenang. 
Saat sudah masuk ke 
safe place, 
aku akan memasukkan sugesti.
Ron kuberikan motivasi untuk tenang, supaya agresifitasnya teredam. 
Ada lagi yang motivasi juara, ingin berprestasi, ketenangan batin
terapis membimbing dan mensugesti semakin kuat semakin giat dalam berprestasi dan mencapai tujuannya.
Seperti yang pernah kupraktekkan dengan teman-temanku kuliah.

“Angel, Moi ingin menjadi sahabatmu.” 
pintaku padanya.
Mata Angel berkedip perlahan seolah meresapi perkataanku, 
bulu matanya lentik terlihat bergerak-gerak perlahan. 
“Bukannya kita sudah jadi sahabat?” 
Angel balik bertanya, 
matanya tertuju pada boneka gonzo yang dipeluknya.

“Hanya Moi yang mau memanggil Angel, 
sementara yang lain sering menjuluki Angel dan memanggil Angel sebagai Curly…
Moi menghargai Angel.” 
kata Angel sambil memeluk boneka tersebut lebih erat.

“Mungkin mereka memanggilmu Curly karena Angel cantik, 
sangat cantik karena Angel unik, 
dan setiap insan punya kelebihan 
Angel Taheytappi.” 
kataku menyebut nama lengkap Angel.

“Bahkan Moi hapal nama lengkap Angel… ” 
kata Angel seolah menggumam.

Aku tersenyum, data yang dipasrahkan kepadaku selalu kumanfaatkan untuk menarik empati, 
bahkan seminggu lagi Angel berulang tahun pun aku tahu dan sudah kubelikan kado yang kubeli online kemarin saat akses internet satelit dibuka oleh Jeff.

Aku menggenggam tangan Angel, 
Angel merespon menggenggam tanganku perlahan lalu berangsur menggengam tanganku semakin erat.

“Ada sesuatu, Angel?” tanyaku heran, 
saat genggaman semakin kuat, 
mata Angel terlihat melirik ke tanganku.s“Angel bisa merasakan kebahagiaan Moi. 
Betapa bahagianya, 
kamu dan keluargamu..
Ooh, 
Angel lihat dirimu ada di kursi sofa yang empuk. 
Kursi warna hijau, keteduhan, kehangatan keluarga, keamanan. 
Suasana yang nyaman. 
Moi tidur nyenyak disana, walau orang tuamu sibuk bekerja, menimang adikmu.”
Aku tertegun, 
lewat genggaman tangan yang erat yang terjadi, ternyata Angel berjalan ke masa laluku, 
masa kecilku.
Aku justru mendapatkan gambaran dimana safe place Angel bisa didapat.

“Angel mau kebahagiaan Moi, tidak? 
Angel pejamkan mata ya.
Santai saja.
Sekarang bayangkan di toko mebel ada sofa hijau yang empuk. 
Bayangkan Angel ada di sofa hijau itu. 
Yaa, Angel rasakan empuknya sofa hijau itu.Angel merasa aman disana.”

Angel dengan matanya yang terpejam nampak bahagia. Bibirnya membentuk seulas senyum tipis.
“Angel setiap kali menarik nafas, 
bertambah nyaman, ya. 
Rasakan kedamaian di tempat itu. 
Angel, ambil napas pelan-pelan, 
keluarkan pelan-pelan. 
Rasakan kedamaian saat Angel mengambil napas dan menghembuskannya.
Dan perasaan Angel semakin damai. 
Semakin dalam ya Angel. 
Ya, masuk lebih damai lagi.Rasakan kedamaian disana, Angel.”

“Saat Angel melihat sofa hijau atau benda berwarna hijau, 
Angel ingat ya…
bahwa Angel sudah punya kedamaian. 
Angel punya rasa aman juga kebahagiaan.”

Air mata Angel perlahan merebak dan mengalir jatuh di pipi Angel. 
Air matanya laksana kristal mengalir turun ke pipinya yang berwarna sawo matang dan chubby.
Air mata bahagia.

Kulihat Dragono memegang dagunya. 
Ekspresinya serius menatap kami berdua bergantian.
Aku memeluk Angel,
badannya terasa hangat, 
kurasakan air matanya yang hangat menetes ke pundakku, 
mungkin Angel sudah lama tidak merasakan kasih sayang, 
dia sangat haus akan kasih sayang.

Hampir 2 jam sudah aku berada di kamar Angel.
Aku senang dengan kemajuan yang di dapat.Angel nampak lebih tenang dan bersemangat sekarang.
Sorot matanya nampak berbinar, dan bibirnya nampak senyuman tipis.

“Sekarang Angel merasa nyamankan, 
mau lihat televisi atau dengar radio?
Moi harus pergi,
karena Moi ingin menyelesaikan tugas Moi.
Okey Angel, 
Moi balik dulu ya, 
sampai jumpa lagi.”
Angel mengerjapkan matanya dan menyeka pipinya, 
“Ya, Moi. 
Sampai jumpa lagi. 
Terima kasih ya sudah mau menjadi sahabat Angel.

Saat kami keluar dari kamar Angel, 
Dragono berkata, 
“Kamu hebat juga, Bocah.Belum pernah aku lihat Curly setenang dan tersenyum seperti itu.”
“Angel sudah terlalu lama menderita, Pak Dragono. Sepanjang hidupnya ia selalu dibayangi ketakutan dan menderita. 
Tadi Moi terapi agar 
jiwanya damai dan masa lalunya yang pahitnya bisa hilang.
Terimakasih mau mendampingi Moi, 
pak Dragono.
Selanjutnya, Moi olah data dulu ya, Pak Dragono.”
Aku mengangguk lalu berjalan menuju kamarku.

GLOSSARY

Skizofrenia ditandai dengan pemikiran atau pengalaman yang nampak tidak berhubungan dengan kenyataan, ucapan atau perilaku yang tidak teratur dan penurunan partisipai dalam aktivitas sehai-hari.kesulitan dalam berkosentrasi dan mengingat.

Chapter 13 Siapakah yang bisa kupercaya?

Vicko berteriak ke arahku, “Baliklah ke rumahmu! Sebelum semuanya terlambat, gadis cilik!
Kau dipilih bekerja disini, bukan kebetulan, 
seperti papamu, 
kau bakal jadi korban konspirasi!”

Ucapan Vicko seperti sambaran petir bagiku, namun perkataan selanjutnya tak terdengar, karena para prajurit sudah memberangus mulut serta menutup matanya dengan kain hitam.

Vicko digiring pergi sebelum sesi observasiku selesai.Lembaran formulir dan psikotestku belum diisi Vicko, berantakan di lantai.
Mrs. Rose sudah berdiri di sampingku.

“Dari kaca tadi aku lihat wajah Vicko seperti akan marah. 
Ekspresinya begitu serius juga seram. 
Aku khawatir kamu kenapa-apa. 
Jadi aku meminta 
Tuan Jonah menyudahi sesimu. 
Kamu tidak apa-apa kan, Moi?” 
Sepasang mata Mrs. Rose menatapku tajam, 
seolah memastikan aku tidak ketakutan.

Aku mengangguk, 
hari ini penuh dengan kejadian yang membuatku sulit untuk berpikir, 
perkataan Vicko sungguh mengguncangku.
Tidak boleh mempercayai siapapun disini.

“Aku baik-baik saja Mrs. Rose, 
aku rasa aku butuh istirahat segera
lalu mengejar seluruh tugasku 
sebelum kulaporkan pada Tuan Jonah besok sore.”

Mrs. Rose memegang lenganku, 
“Aku bertanya, 
karena aku peduli padamu, Moi. 
Jangan sampai Vicko mempermainkanmu. 
Jangan pula kamu terombang-ambing karena ucapan-ucapannya. 
Dia seorang master kejiwaan yang mempermainkan jiwamu, Moi.
Kamu bisa berbagi denganku. 
Aku temanmu. 
Kamu bisa percaya padaku.”

Kala ia terus mendesakku dengan pertanyaan-pertanyaannya, aku mengelak dengan mengatakan, 
“Sorry, Mrs. Rose. 
Moi harus kembali ke kamarku. 
Moi lelah sekali. 
Moi perlu merampungkan semua pekerjaan Moi
malam ini. 
Sampai ketemu besok pagi saja ya.”

“Hoi bocah, aku minta besok sore jam 5 sore, 
kau presentasikan laporanmu diruang pemeriksaan ini.” 
terdengar suara Tuan Jonah menggelegar lewat speaker di ruang pemeriksaan.

Aku terdiam sejenak, sebelum bertemu dengan Vicko Tuan Jonah meminta laporan saja, 
sekarang memintaku untuk presentasi ?
Aku mengganggukkan kepalaku ke arah ruang pengamatan, 
dimana Tuan Jonah berada.
Tidak ada gunanya beradu argumentasi dengan orang yang punya watak dominan dan berkuasa itu.

Aku membereskan berkasku dan meninggalkan 
ruang pemeriksaan. 
Saat ini pikiranku jenuh dan dilanda keraguan, 
belum bisa mempercayai siapapun di pulau ini.

Aku tahu Mrs. Rose
terus menatap punggungku sampai aku menutup pintunya. 
Aku menyadari bahwa dengan bertemu dengan banyak penghuni pulau ini laksana kepingan puzzle yang mulai.

Sesampainya di depan pintu kamarku, 
aku tertegun… 
Suatu pemandangan layaknya film bioskop terlihat di pikiranku.
Aku melihat Mrs. Rose, 
Tuan Jonah masih ada di ruang pengamatan, 
mereka nampak sedang berdiri berhadapan.

Kala itulah aku mendengar percakapan Mrs. Rose dengan Tuan Jonah 
“Vicko pasti mengguncangnya dengan mengatakan sesuatu, Rose,” ucap Tuan Jonah.

“Dia masih muda. 
Vicko yang dihadapinya, dimata Moira seperti dewa,” ucap Mrs. Rose.

“Seperti dewa? 
Apa maksudnya?” 
terdengar suara Tuan Jonah heran.

“Yah, itu…
segala kemampuan yang dimiliki Vicko, 
di mata Moira begitu luar biasa. 
Kemampuan bertarungnya, keahlian biologi dalam membuat racun biologis, belum lagi keilmuannya yang sama dengannya di psikologi.” urai Mrs. Rose.

“Pastikan dia tidak diperalat Vicko, Rose! 
Vicko bisa membunuh kita lewat bocah itu. 
Bocah itu bisa dimanfaatkannya untuk melawan kita, 
entah dia dititipi racun biologis untuk membunuh kita atau di suruh oleh Vicko untuk menyelundupkan sesuatu.” 
Tuan Jonah berkata dengan tegas, raut mukanya nampak masam.

‘’’Saya rasa kita tidak perlu terlalu paranoid, 
Tuan Jonah. 
Tuan bisa melihat sendiri, mereka bercakap-cakap cukup lama tadi. 
Nanti, aku akan coba korek apa yang dikatakan Vicko kepada Moira.”

Penglihatan dan pendengaran itu tiba-tiba terhenti.
Aku terhenyak, 
suara dan penglihatan tadi terlihat dan terdengar jelas di benakku.
Aku membuka pintu kamarku dan segera masuk.

Aku sangat terheran-heran mengapa aku bisa mempunyai kemampuan baru tanpa kupelajari?
Long distance eyeless sight seeing atau melihat dari jarak jauh tanpa kehadiranku secara fisik, 
bahkan pembicaraan merekapun 
kudengar jelas.

Aku mengabaikan dulu bagaimana bisa kemampuanku muncul, 
saat ini aku harus fokus bagaimana menyelamatkan hidupku.

Aku jadi teringat, 
mengapa tadi Mrs. Rose ingin tahu semua yang kubicarakan dengan Vicko.
Mrs. Rose yakin sekali bahwa Vicko telah mengatakan sesuatu padaku. 
Ia ngotot agar aku berbagi informasi dengannya, 
yang kemudian pasti akan disampaikannya kepada sang bos Chimera, 
Tuan Jonah. 
Bah!
Dan aku harus kuat saat ini, Mrs. Rose bukan sahabat yang bisa dipercayai.

Setelah dua observasi dengan Leman serta Vicko hari ini yang begitu melelahkan, 
aku masih mengejar laporan untuk di sajikan besok pada Tuan Jonah.
Aku butuh menenangkan diri di kamar.

Di kamar, 
aku membaringkan tubuhku, beban pikiranku 
aku urai perlahan-lahan.
Aku focuskan diriku untuk merefleksikan siapa insan yang bisa kupercaya saat ini dari kejadian yang berkaitan dengan Vicko.

Pikiranku melayang ke Mrs. Rose. 
Ia begitu antusias bertanya apa yang diucapkan Vicko kepadaku selama sesi tadi sore. 
Ia juga penasaran mengapa aku berani berdua dengan Vicko.
Aku harus berani mengambil keputusan setelah hasil tes Vicko yang pertama menunjukkan kepribadiannya normal, tidak psikopat.
Aku berpikir Vicko memanipulasi hasil tes selanjutnya tentu mempunyai suatu tujuan.
Daripada aku mempercayai dan mengikuti saran 
Tuan Jonah, 
lebih baik aku mengambil resiko untuk mempercayai Vicko.
Membanting microphone di depan Vicko juga merupakan strategi supaya Vicko mempercayaiku.

Resiko kematian yang menghadangku, 
baik dari Tuan Jonah maupun Vicko sama saja bagiku, maka aku ambil resiko berpihak pada Vicko dengan menghancurkan microphone di hadapannya.

Dan kesadaran ku muncul, aku harus segera banyak bertemu dengan insan di pulau ini, 
menyaring info dari mereka, supaya benang merah ini segera terkuak, 
mengapa aku disini.

Sementara itu respekku kepada Mrs. Rose sudah jatuh. 
Ya, kepercayaanku kepada wanita cantik itu jatuh.
Bagiku, 
Mrs. Rose merupakan perpanjangan tangan 
Tuan Jonah penguasa pulau Chimera yang keji.

Aku harus berjuang untuk diriku sendiri, 
aku berjalan menuju ruang dimana Jeff bekerja, 
aku membutuhkan banyak referensi tentang seluruh kemampuan metafisika dari penghuni pulau ini, 
supaya presentasiku logis dan sesuai keilmuanku.

***

Jeff sedang duduk di ruang monitor di depan, nampaknya dia menyadari kedatanganku, 
terbukti dia tidak terkejut saat aku membuka pintu.
Mungkin layar yang menampilkan CCTV memperlihatkan sosokku menuju ke ruangannya.

“Hmm ada perlu apa?” 
kata Jeff datar, 
sementara wajahnya masih asik dengan tablet yang ada di tangannya.
“Aku butuh koneksi internet Jeff, untuk menyelesaikan tugas dari Tuan Jonah.
Banyak referensi yang harus ku unggah, aku minta password-wifinya.””Kau butuh berapa lama?password-nya berubah secara sistem, 
besok pukul 6 pagi.
Ini standard keamanan disini, kalau lebih dari esok 
jam 6 pagi kau minta lagi kepadaku.
Paham?” jelas Jeff sambil menyodorkan secuil kertas berisi password WiFi.

“Okay Jeff, paling nanti malam saya kebut supaya selesai, selamat petang.” jawabku kubuat sehalus mungkin, 
mengingat aku membutuhkannya dalam akses internet.
Jeff tidak menjawabku, wajah nya kembali tenggelam dalam tabletnya.
Aku pergi meninggalkannya.

Aku membuka laptopku, menunggunya menyala.
Kembali, pikiranku berputar-putar. 
Vicko mengenal papaku. Segala ucapan Vicko sungguh mencengangkan dan melelahkan, 
ibarat bermain catur Vicko sudah memikirkan 5 langkah ke depan, 
sementara aku hanya selangkah dua langkah ke depan.

Tok..tok…tok…
seseorang mengetuk pintu kamarku.

“Moi, boleh aku masuk?” 
itu suara Mrs. Rose.

“Aku mau istirahat dulu, 
Mrs. Rose,” sahutku tanpa membukakan kunci pintu kamar.

“Lelah banget ya, hari ini?”

“Ya, Mrs. Rose. 
Nanti malam ketemu di ruang makan ya.”

“Oke deh.Sampai nanti ya, Moi.” terdengar suara Mrs. Rose lirih.

Aku sangat lega, 
karena Mrs. Rose tak memaksa untuk masuk kamarku.

Bayangan-bayangan kembali berkelebat cepat dalam pikiranku, bak film yang diputar.

Ucapan Rado, 
“Tapi ketahuilah bocah, kamu ada di tempat serta waktu yang salah.”

Ucapan Leman, 
“Khamu salah jhalan. Pulanglah selagi masih bhisa!”

Ucapan Vicko, 
“Sadarilah gadis cilik, 
kamu ada dalam konspirasi besar. 
Pikirkan mengapa
kamu sampai berada disini.”

Mengapa aku berada disini?Tentu saja karena aku cumlaude dan Chimera dengan perantaraan Mrs. Rose merekrutku. 
Bahkan dosen pembimbing skripsiku Prof. Julian merekomendasikan Chimera untukku.

“Dengan menandatangani kontrak ini, 
kamu bukan hanya calon abdi bangsa. 
Kamu adalah
calon patriot, Moira.” 
Begitu ucapan Mrs. Rose waktu itu.\

Lalu ucapan Prof. Julian saat menelpon, 
“Ya, dia sudah ada disini.”
Dia yang dimaksud tentu saja aku.

Astaga, apa-apaan ini.Semuanya seolah mengenalku.
Semua tertuju padaku, pikiranku menjadi kacau.

Baik Leman maupun Vicko mengetahui sesuatu. 
Mereka berdua memintaku meninggalkan tempat
ini. 
Ah…
Vicko…
orang itu belum menjawab pertanyaanku. 
Benarkah papaku ada di sini juga, mungkinkah beliau… Pernah mengunjungi, menjaga atau… 
bahkan menempati salah satu sel di chimera?
Aku menepis pikiran negatifku, pikiranku kembali menerawang.

Lalu ucapan Henry, 
“Akan ada banjir darah disini.”Henry mendengar sesuatu dengan kemampuan telepatinya.
Kengerian demi kengerian seolah tersusun semakin memuncak saat aku tiba di pulau ini.

“Aduh, 
mengapa aku yang harus berada disini?Jangan-jangan…
benarkah aku sudah dipilih
dari awal 
untuk masuk ke Chimera ini, baik aku cumlaude maupun bukan? 
Kalau iya, mengapa?”Kepalaku berdenyut. 
Aku memaksa otakku terus berpikir.

Bayangan segitiga dengan tiga gambar binatang yang berbeda di tiap sudutnya melintas.
Logo Chimera yang misterius.

“Apa hubungannya semua ini dengan mimpiku yang begitu nyata? 
Apakah aku…
Sebenarnya memiliki kemampuan untuk meramal lewat mimpi?” 
Aku menggeleng, 
menepis pemikiran ajaibku sendiri. 
“Ah…itu tidak mungkin kan
Atau ada seseorang yang bisa memanipulasi otakku?”

Aku tercekat, aku jadi teringat Henry, 
dia…
dia…
mampu berteleportasi dengan diriku, 
tetapi tidak mungkin dia yang mengirim mimpi itu, karena vibrasi kami 
belum sama dan tidak saling kenal saat itu.

Ucapan Vicko, 
“Saranku tinggalkan pulau ini, sebelum kamu terbunuh, Gadis Cilik!”
terngiang lagi dengan seluruh intonasi ucapan Vicko.

Ini terlalu gila. 
Aku sudah dipilih sejak awal.
Pikiranku mendakwa diriku sendiri.

“Kapten Gepardi? Hhmmm..aku mengenal dia, Gadis Cilik.” ucapan Vicko kembali bergaung.

“Ada benang merah dalam konspirasi ini, 
tapi apa?” 
Aku memaklord of sa kepalaku terus berpikir.

Segalanya berputar membingungkan.

“Moi..Moira…uhuui…” 
Henry memanggilku dengan suara telepatinya di kepalaku.

“Jangan ganggu aku sekarang, Hen. 
Kumohon, 
aku harus menyelesaikan tugas dari tuan Jonah malam ini,” ratapku.

“Jangan memaksamu berpikir terlalu keras, istirahatlah,” pinta Henry.

“Bisakah kamu diam dulu.Jangan menggangguku dulu, Henry!” bentakku.

“Oh, maaf…maaf ya…,” 
suara Henry menghilang 
dari kepalaku.

Barusan aku membentak Henry dengan kasar. 
Padahal pria itu justru menasihati aku untuk istirahat dengan baik padaku.

Ah,
lain waktu aku akan meminta maaf padanya. 
Saat ini aku benar-benar ingin sendirian. 
Tugas dari Tuan Jonah benar-benar berat, sekarang dia memintaku untuk presentasi besok sore.
Huuft…

Ucapan Mrs. Rose berputar dalam benakku, 
“Kamu sudah dipilih. 
Tidak ada kata mundur
Kita bisa melewati ini bersama.”

Ucapan Tuan Jonah yang mengintimidasi keluargaku kembali terngiang dan menyakitkan hatiku, 
“Kau, Ibumu yang guru bimbel, serta adikmu yang kurus, little Bill akan 
aku adu dengan Vicko.”

Baik Mrs. Rose maupun 
Tuan Jonah telah mengenal dengan baik seluruh keluargaku.
Mereka mempelajari aku, ayahku dan keluargaku 
dari awal, 
bahkan ancaman mengerikan juga ditujukan pada keluargaku.

Oh…
Aku terguncang. 
“Mengapa aku tidak menyadarinya kalau dari awal, dan kini…
aku ada di tengah konspirasi maut ini? 
Artinya keluargaku juga menjadi taruhan. 
Mamaku beresiko tidak punya pensiunan apabila papa dinyatakan desersi.
Nama baik Papa akan rusak, serta adikku akan berhenti kuliah karena beasiswanya dihentikan.

Bahkan mungkin bisa jadi lebih buruk dari itu. 
Aku harus jalan terus. 
Tidak ada kata mundur 
dan saat ini tidak ada satupun orang yang bisa 
aku percayai. 
Akan kutunjukkan bahwa aku, Moira Gepardi 
adalah sosok yang kuat 
dan mandiri.”

Setelah memotivasi diriku, aku memaksa tubuhku untuk bekerja malam itu.
Akses internet di pulau Chimera sangat baik.
Aku baru menyadari data-data sebesar apapun sangat cepat kubuka dan 
ku download, 
ternyata akses internet militer sangat hebat.

Tapi ada hal yang mengherankan, 
setiap aku tidak menggerakkan mouse 
atau keyboardku, 
dalam jeda waktu beberapa menit, 
tampilan laptopku kembali ke awal, 
dimana aku harus membuka dengan password lagi.

Aku cemas bahwa apa yang aku akses di mata-matai oleh Jeff.
Ah, kalau ini berkaitan dengan pekerjaanku mengapa aku harus takut?

Aku juga berbelanja barang kebutuhanku di situs online dan ku alamatkan ke rumah mama, 
supaya nanti bisa dibawa oleh Tuan Jonah 
6 hari lagi.
Lalu aku meminta sapu tangan papaku untuk di bawakan kepadaku.
Saputangan papa…
Ya, 
harapanku Angel Curly 
atau Risty siapa tahu bisa mengetahui keberadaannya,
masih hidupkah papa ?
Ataukah sudah…

Aku beralasan kepada mama
bahwa saputangan papa untuk menguatkanku disini, selain untuk mengobati rinduku kepada papa juga membesarkan mentalku
karena aku anak prajurit.

Aku email mama tentang keadaanku dalam kondisi baik dan sehat serta bahagia supaya beliau tidak sedih, bila tahu anak perempuannya diperlakukan keras setiap hari.

Oh mama,
betapa aku ingin pulang, kalau saja aku bisa lepas dari pulau yang sangat mengerikan ini.
Tak terasa air mataku mulai bercucuran.
Aku rindu mama, 
rindu William adikku, 
rindu rumah…
Aku menghapus air mataku, aku mulai fokus untuk mengevaluasi apa yang kudapat dari hasil pengamatan tentang insan-insan yang istimewa di Chimera.
Aku mulai melanjutkan lagi pekerjaanku.

Beberapa jam kemudian pintu kamarku diketuk, 
Tok..
Tok..
Aku membukakan pintu kamarku kulihat Mrs. Rose berdiri dengan nampan berisi makan malam.
“Hi, Moi.
Ini sudah larut malam, aku bawakan jatah makan malammu sebelum dapur kosong, 
dan tidak ada makanan di dapur.” Sapa Mrs. Rose manis.

“Oh, merepotkan ya 
Mrs. Rose, 
maaf Moi baru input data serta mengolah presentasi Moi tentang para berbakat yang ada di sini.”
kataku sambil menerima nampan makanan.

Aku berjalan dan menaruh nampan itu di atas lemari bajuku.
Mrs Rose masuk ke kamarku dan duduk di tepi ranjang ku.
“Masih banyak ya Moi, pekerjaanmu ?” tanya Mrs. Rose pandangan matanya tertuju ke laptopku yang masih menyala.

“Iya, Mrs. Rose 
masih banyak, 
dan sangat berat bagiku.
Sekali praktek yang dihadapi komplek.
Aku lanjut ya.” 
Jawabku lalu aku duduk melanjutkan pekerjaanku di laptop.

Kami berada di kamar berdua, Mrs. Rose tidak berbicara lagi sesudah itu.
Aku serius dengan laptopku, Mrs. Rose duduk sambil kakinya sesekali bergoyang-goyang kecil.

Sekitar setengah jam kemudian Mrs. Rose berdiri
“Okay, 
aku tinggal dulu ya Moi, selamat bekerja 
dan jangan lupa makan supaya tidak sakit dan pusing.
Selamat malam.”
Dia berkata sambil menutup pintu kamarku dengan perlahan.
“Selamat malam Mrs. Rose, terimakasih sudah ditemani.” kataku sambil menoleh ke arah pintu.

Setelah lewat tengah malam aku baru memakan makan malamku, setelah itu aku keluar dengan nampanku untuk kembalikan ke dapur.

Setelah mengembalikan nampan, aku berjalan menuju ke ruangan tengah, ke kamar Angel.
Saat kubuka kamar kulihat Angel duduk di bawah, posisinya sedang meringkuk dengan mendekap
boneka gonzo, 
pandangannya kosong melihat lantai.

“Angel, kok duduk 
di bawah lagi…dingin, 
ayo bangun… 
Moi temani di kasur yuk.” sapaku, 
sambil mengangkat tubuhnya Angel.
Angel beringsut, 
dengan perlahan 
aku membimbingnya untuk duduk di ranjang, 
kami duduk bersisian di tepi ranjangnya.

Kala aku duduk bersisian dengan Angel, 
gadis itu bertanya.
“Diantara Mrs. Rose 
dan Moi, 
sedang ada masalahkah?”

“Apa? 
Diantara kami? 
Ngg…ya…
sedikit beda pendapat saja, Angel.” Ujarku berhati-
hati memilih perkataanku.

“Hubungan kalian 
tak sehangat biasanya.” 
kata Angel perlahan, pandangan matanya tertuju ke tembok.

Aku berpikir, 
memang berinteraksi dengan insan berbakat lebih baik terbuka dan jujur apa adanya, 
karena Angel bisa melihat ke masa lalu, 
aku merasa dia sudah bisa melihat kejadiannya.

“Saat Moi memegang Angel, kejadian tadi… 
terlintas di pikiran Angel.” lanjut Angel seolah mengetahui keherananku.

Aku memejamkan mataku.Perasaan Angel sangat peka. “Kalau Angel mau,
boleh menggunakan kemampuan Angel lalu menyentuh tanganku atau tubuhku bagian mana saja deh. 
Moi lelah menjelaskan semua padamu, Angel.”

“Angel juga capek Moi, 
capek menyeberangi jembatan masa lalu 
yang kadang tiba-tiba hadir begitu saja dan menguasai mental Angel.” 
katanya lirih.

Aku balas menatapnya, tersenyum. 
“Maafkan Moi, Angel, 
telah ikut membebanimu.
Angel tahukan Moi selalu tulus padamu. 
Saat ini Moi sedang banyak pekerjaan.
Moi sungguh capek menghadapinya. 
Angel, bebanmu sudah berat. 
Jangan ditambah lagi dengan memikirkan Moi dan Mrs. Rose.
Paling besok kami sudah bergurau, 
bukankah masalah membuat kami saling menghargai dan lebih berhati-hati dalam bersikap.
Angel istirahat ya sekarang.” ujarku lembut.

“Ya….
Angel mengerti, 
setiap orang perlu privacy. Dan semua manusia juga berhak memilih dengan siapa ia akan berteman dan percaya. 
Angel memutuskan percaya pada Moi. 
Angel mau berbagi sebuah info denganmu.”

Aku melingkarkan tanganku ke pundak Angel, 
“Info?
Info apa Angel, 
Moi layak dipercaya kok.”

Angel menunduk, 
boneka gonzo didekapnya lebih erat, 
kakinya disilangkan rapat-rapat, 
terlihat ada suatu beban dalam dirinya.
“Setelah Tuan Jonah 
pulang dari ibukota, 
yaitu seminggu lagi, 
maka pagi harinya akan ada duel lagi.”

Aku tercekat, 
begitu mudahnya Tuan Jonah mendapatkan petarung untuk di adu sampai mati, 
seminggu lagi…

“Angel mengetahui ini saat opsir Rupert yang mengantarkan makananku hari ini, 
tanpa sengaja Angel tersentuh tangannya. 
Angel bisa melihat Rupert turut hadir dalam rapat Tuan Jonah. 
Rapat itu membicarakan duel, ada dua petarung yang telah disiapkan, 
seminggu lagi.
Mereka melawan Vicko dan Leman.”

Aku merasa badanku meremang.
Dua petarung…
Seminggu lagi… 
Itu artinya lebih banyak banjir darah manusia terulang lagi.
Mendadak aku merasa tubuhku lemas tak bertulang.

Chapter 12 Vicko, Psikopat yang Genius

Mrs. Rose tetap berjalan melenggang tanpa menoleh, lalu menjawab, 
“Tenang saja Moi, kerjakan saja tugasmu dengan baik, nanti kita berikan hal yang luar biasa bagimu. Tugasmu berhasil, kau dapatkan penghargaan, supaya kau semangat kerja.
Dan jangan tanya hadiahnya apa, masak hadiah harus diberitahu apa isinya.”

Aku terdiam, tak tahu harus berkata apalagi, tiba-tiba…
“Moi, hei Moi, 
gimana kabarmu?” 
suara Henry terdengar menyelinap di pikiranku.

Wah, disaat perasaanku sedang kacau, 
aku harus memusatkan konsentrasiku untuk menjawab Henry, 


“Maaf Hen, aku sebentar lagi bertemu Vicko, 
harus kupusatkan perhatianku pada manusia hebat satu ini.”
“Okay, hati-hatilah Moi, 
dia sangat tidak terduga, barusan juga kudengar ribut-ribut di selnya Leman saat kau disana. 
Sekali lagi, 
jaga diri baik-baik ya.” 
pinta Henry menggaung di pikiranku.
“Ya Hen, kau sahabat yang terbaikku, aku di kawal ketat nanti di ruang pemeriksaan, jangan kuatir.”

Syukurlah Henry tidak berlama-lama berbicara denganku, 
energiku sangat terkuras siang ini, 
belum lagi bertemu Vicko sang jenius sesudah ini.

Jam 14.00 aku dan 
Mrs. Rose telah siap di ruang pengamat.
Aku memindai sidik jariku untuk membuka pintunya.
Ruang dimana Rado pernah kami amati, 
dari ruangan ini aku dapat melihat lewat kaca satu sisi, bahwa ruang pemeriksaan masih kosong.

Pintu terbuka, 
Dragono beserta Tuan Jonah memasuki ruangan pengamat, 
dimana aku dan Mrs. Rose berada.

“Aku akan selalu memantau kalian. 
Kalau Vicko berulah,
kami akan siap menanganinya.
Nantinya kalian berdua 
di ruang pemeriksaan, 
aku dan Tuan Jonah memantau kalian disini,” 
ujar Dragono.

“Aku siapkan pistol elektronik untuk meledakkan kepala binatang tersebut kalau tiba-tiba ia marah. Hanya aku saja yang bisa menggunakan pistol ini, karena dipindai dengan sidik jariku,” ucap Tuan Jonah.

Cekrekkk, 
terdengar suara pistol dikokang Tuan Jonah.

Emosiku muncul saat melihat dia mengokang pistol, 

“Tuan Jonah, andalah yang merangsang dia jadi binatang dan camkan
orang yang mengandalkan pistol akan mati karena pistol.”

Tuan Jonah berpaling, wajahnya datar menatapku, aku melihat sorot matanya penuh kebencian padaku, “Aku menyiapkan pistolku untuk menjagamu. 
Mengapa kamu justru tak suka padaku?”

Aku mendongak menyesuaikan tinggi tubuhku dengan Tuan Jonah.Mataku bertemu dengan
Tuan Jonah, 
“Apakah Anda lupa? 
16 pertandingan Vicko itu, bukankah Anda yang mendesak Vicko untuk bertarung. 
Vicko membunuh lawannya karena pengaruh tekanan dari Anda, 
sebab hanya itu satu-satunya jalan yang Anda berikan padanya agar ia tetap hidup, Tuan Jonah.”

“Oh, tidak begitu, bocah, Vicko menikmati pertarungannya. 
Ia senang dan menikmati dalam memilih bagian-bagian mana tulang musuhnya yang akan dipatahkan. Ia memang seorang ahli seni bertarung. Ia juga bahagia dengan aneka menu makanan lezat yang menantinya seusai bertarung untukmerayakan kemenangannya. Menjadi pemenang itu nikmat, bocah. Menjadi pecundang itu sampah. Orang bego saja tahu itu, tidak perlu kuliah sarjana sepertimu.Jadi, kamu masih tetap mau menyalahkanku?”

Aku menarik napasku, mengumpulkan kesabaranku untuk tetap berbicara
sopan, 
sekaligus menahan buncahnya emosiku kepada pimpinan Chimera yang sakit ini.

“Tuan Jonah, anda membuatnya kelaparan, sehingga Vicko terpacu untuk mendapatkan kebutuhan makan.  anda berjanji untuk melepaskannya dua pertarungan lagi.
Itu sebabnya dia selalu membunuh untuk mempertahankan hidupnya, demi kebebasannya juga.”

Aku mengatur ritme bicaraku, 
supaya lontaran kalimatku tidak semakinqqq tinggi dan terdengar emosi.
“Dan kau mendapatkan uang banyak dari pertarungannya, itu tujuanmu, Tuan Jonah.
Kau memanfaatkan kematian manusia!”

Aku terhenyak, 
ternyata aku tidak sanggup menahan emosiku, kubentak Tuan Jonah di akhir kalimatku, 
rasanya memang sangat sulit untuk tidak emosi saat berhadapan dengan diktaktor gila uang, penguasa pulau Chimera ini.

“Tuan Jonah, 
pernahkah tuan berpikir andai pertandingan selesai bila salah satu lawan tidak bisa bangkit berdiri dalam hitungan ke 10 
seperti pertandingan olah raga pada umumnya, 
tanpa harus membunuh pihak yang kalah?
Bukankah dengan cara olahraga seperti itu, 
tidak ada yang terbunuh? Dan apakah Vicko akan mematahkan tulang-tulang lawannya? 
Andalah yang membuat Vicko menjadi pembunuh, Tuan Jonah.”

“Ck…ck…
bocah..bocah.. 
Kau pikir ini olahraga MMA apa ? 
Kalau olahraga, 
kena pukul dan pingsan dihentikan oleh juri, 
tapi disini harus sampai mati. 
Camkan!
Harus sampai mati!
Itu seninya, 
dan perbedaan ini, 
membuat MMA jadi olahraga yang usang dan menjemukan. 
Lagipula Vicko bertarung dan membunuh atas wewenang dariku. 
Sudahlah jangan banyak bicara! 
Sekarangsaatnya pasang microphone di tubuhmu.”

Tuan Jonah memberikan tanda dengan tangannya.
Dragono yang ada di sampingku memasang sesuatu di rambutku, sementara Mrs. Rose membuka setelan jas putihku dan memasang pemancar di sabuk pinggangku.

“Mengapa harus di pasang seperti ini, Mrs. Rose ?”Bisikku kepada Mrs. Rose.
“Ini penting Moi, 
supaya Tuan Jonah bisa mendengar apa yang dipercakapkan Vicko, 
dan bisa mengambil tindakan cepat sebelum Vicko menyerang kita.” 
Kata Mrs. Rose sambil memasang pemancar itu di punggungku.

Tuan Jonah berdiri mematung, 
dari raut wajahnya, 
nampak pria separuh baya ini tak sedikitpun merasa berdosa atas segala hal yang telah dilakukannya

Sepasang matanya menatapku dengan tajam, menantang, 
serta dalam ke bola mataku.
Aku bisa menangkap kilat kebencian di mata Tuan Jonah.

Tiba-tiba Tuan Jonah berujar “Bocah, bagaimana kalau aku merancang, pertandingan Vicko yang ke-17 adalah Vicko melawanmu? 
Atau ibumu yang guru bimbingan belajar itu? 
Atau…bisa juga, 
William, Little Bill, 
adik laki-lakimu yang kurus kering itu.” 
Tuan Jonah menyeringai lalu menunjuk ke arah wajahku, “Ahahaha aku yakin Vicko sama sekali tidak akan keberatan andai melawan kalian bertiga sekaligus. Aahh, pasti pertandingannya akan asik sekali nanti. Pikirkan itu, Bocah!” 
Ujung bibirnya tertarik ke bawah sementara tangan Tuan Jonah berkacak pinggang.

Aku terhenyak, 
serasa wajahku di tampar, tidak kusangka bahwa ternyata Tuan Jonah mengerti detil tentang keluargaku.
Nama panggilan akrab adikku William, Little Bill hanya beberapa orang saja yang mengetahui.
Kengerian melandaku, aku tidak berani mempertaruhkan keluarga demi adu argumenku dengan Tuan Jonah.

“Aku bisa menjadi teman yang baik untukmu dan tentu bisa jadi sebaliknya. 
Dan siapapun yang tinggal di balik bangunan Chimera ini, harusnya mengetahui 
satu hal yang paling penting disini, 
yakni, sangat tidak bijak bila sampai menjadi musuhku. Aku pastikan hidupnya akan sengsara. 
Sangat, Amat sangat sengsara.” 
Tuan Jonah mengepalkan tangan kanannya, meremasnya dengan kuat, hingga berbunyi ‘kreekk!’

“Aku kira otakmu cukup cerdas, bocah. 
Cumlaudemu ternyata bohong, ya? 
Kau ini bodoh sekali. 
Otakmu kosong! 
Vicko bukanlah siapa-siapamu. 
Pikirkan saja pekerjaanmu. 
Pikirkan ibu dan adikmu yang menunggu kepulanganmu, 
lalu transferan gaji yang akan masuk ke rekeningmu. 
TITIK. 
Hanya itu. 
Bekerjalah untukku, 
sesuai dengan kontrak kerjamu. 
Di lain waktu kamu bertingkah seperti ini lagi, mari kita lihat,
apa yang akan aku lakukan padamu.” 
Intonasi Tuan Jonah
penuh penekanan dalam 
tiap kata-katanya.

Aku terdiam. 
Dadaku berdebar kencang. 
Aku tahu, Tuan Jonah sungguh-sungguh dalam
perkataannya. 
Rasa marah, frustasi, kecewa, sekaligus takut bercampur dalam diriku.

Tuan Jonah tidak saja mengancamku, 
ia juga mengancam mama serta adikku. 
Mataku berair, 
aku menahannya sekuat tenaga supaya tidak jatuh.Lututku terasa lemas dan telapak kakiku terasa dingin.

Tuan Jonah terlihat puas menatapku berdiri diam tanpa daya. 
Puk! 
Puk! 
Ia menepuk pipiku, 
pelan tetapi mengagetkanku.

“Bersikap manislah, bocah kecil. 
Maka aku tak akan mengganggumu.”

Pria itu membalikkan tubuh dan menyuruh Dragono untuk menjemput Vicko.
Tuan Jonah lalu berdiri di depan pintu, mengawasiku dengan muka yang dingin dan keji.

Mrs. Rose meraihku dalam pelukannya, 
mencoba menghiburku dalam bisikannya,
“Sorry, Moi. 
Dari tadi aku cuma diam melihat
semua yang terjadi padamu, bukan aku tidak mau membelamu, 
tapi aku sungguh tidak mengira akan terjadi hal begini. 
Semua terjadi begitu cepat.Kamu terlalu berani, Moi. 
Aku sampai sulit bernapas tadi. 
Lain waktu sungguh Moi, tolonglah…
lebih hati-hatilah dalam berbicara dengan Tuan Jonah. 
Ia sanggup melenyapkan kita semudah mengebas debu di bajunya. 
Ya, Moi? 
Please?”

Aku menyeka air mata yang mengalir di pipiku.Pertahanan mentalku jebol, aku menangis dan tubuhku bergetar.

Tuan Jonah berjalan lalu duduk di sampingku, 
layar monitor LCD dinyalakan, 
setelah menekan beberapa panel di meja serta keyboard, nampak tampilan CCTV yang menampilkan keadaan ruang di depan sel.
“Lihat bocah, 
kami di sini serius menjagamu, 
supaya kau tidak di terkam Vicko, 
dan bisa membunuhmu! Kalau dia sampai berulah dan aku terpaksa membunuhnya, 
aku juga rugi, salah satu sumber penghasilanku hilang.”

Jari telunjuk Tuan Jonah menunjuk layar monitor, 
aku menyeka air mataku mendorong perlahan Mrs. Rose, 
melepaskan diri dari pelukannya.

Aku melihat ke arah monitor, nampak Dragono sedang memukul pintu besi sel, dibukanya jendela kecil yang ada di tengah pintu besi itu, nampak dua tangan terulur posisi membelakangi, sejenak tangan tersebut di borgol oleh dua prajurit yaitu Codi dan Albert.
Tak lama kemudian, pintu besi sel dibuka dan nampak sesosok tubuh dengan cepat di ringkus, tubuhnya nampak kecil tapi berotot di tengah kerumunan Dragono, Codi dan Albert, dialah…Vicko !

Dragono memberangus mulut Vicko dari belakang dengan masker mirip masker anti huru-haranya polisi.
Codi dan Albert memasang ganjal palang besi di antara ketiak Vicko, 
nampak sekali perlakuan extra, 
supaya Vicko terbatas geraknya.

“Kau lihat bocah, 
kami tidak mau main-main dengan Vicko, 
seluruh badannya bisa menjadi senjata, 
bahkan kepalanya bisa menanduk dan mematahkan tulang hidung.
Jangan kau anggap seperti kemampuan olahraga beladiri biasa, 
dia cepat geraknya untuk mencederai musuhnya.”

Aku mengangguk, 
saat ini memang hanya bisa menurut apa pendapat Tuan Jonah, 
karena aku harus fokus pada Vicko.
Kesalahan diplomasi dengan Vicko bisa berakibat fatal bagiku.

Aku mengatur nafasku, 
aku harus tampil rileks di depan Vicko nanti, 
aku menarik bibirku beberapa kali untuk tersenyum.

Pintu ruangan pemeriksaan terbuka. 
Vicko dengan mata tertutup dan mulut terberangus, diiringi Codi dan Albert.

“Vicko datang, kita siap masuk yuk, Moi. Siapkan mentalmu lho, kau jangan takut.” 
bisik Mrs. Rose.

“Ya, Mrs. Rose,”sahutku agak gemetar.

Vicko telah didudukkan, maka aku dan Mrs. Rose mendatanginya.
Kami duduk berhadapan di pisahkan meja hadapanku.Aku dan Mrs. Rose duduk di depannya.

Tutup kepala Vicko dilepaskan, 
mata Vicko mengerjap melihat aku dan Mrs. Rose.
Pandangan matanya datar, sementara Codi dan Albert berdiri siaga di belakangnya, sambil tetap memegangi ganjal besi dan pundak Vicko.

“Selamat sore Vicko, 
aku perkenalkan ini Moira,” Mrs. Rose membuka percakapan.
Aku mengangguk sambil berkata, 
“Sore pak Vicko, 
saya Moira, 
senang bertemu denganmu.”

“Pak Codi dan Pak Albert, tolong lepaskan masker mulutnya, 
juga semua ikatan Pak Vicko.” pintaku.

Wajah dua prajurit itu menjadi tegang
“Miss, kamu gila? 
Dia berbahaya!” tukas Codi.

“Miss Moi, 
kemarin anda hadirkan saat pertandingan Vicko, 
dia manusia paling berbahaya di pulau ini.
Bahkan pada pertarungan sebelumnya Vicko menggigit mata musuhnya yang sudah sekarat.” 
tegas Albert, 
matanya memicing tajam kepadaku, 
tanda ketidaksetujuannya atas perintahku.

Mrs.Rose yang duduk di sampingku, 
menoleh kearah ku, tangannya juga mencolek pahaku, 
sebagai isyarat ketidaksetujuannya pada tindakanku.
“Moi…” dia berkata sambil menatapku, 
mulutnya ternganga seolah tidak percaya akan kenekatanku, 
ingin berdua dengan Vicko dalam satu ruangan.

“Aku disini untuk bekerja Mrs. Rose, 
kau tahukan bahwa aku butuh kepercayaan pak Vicko.
Seperti profesimu sebagai psikiater, 
bukankah atas dasar kepercayaan?
Dan bagaimana pak Vicko menjadi percaya kepadaku, bila mulutnya tertutup begini dan badannya terikat tidak nyaman?” 
jelasku pada Mrs. Rose.

Aku berdiri, 
menyadari aku harus mengambil sikap, 
dan berkata lantang sambil wajahku tertuju pada kaca ruang pengamat.
“Tuan Jonah, 
aku ingin bicara pribadi dengan Pak Vicko.”

“Maksudmu?” tanya Tuan Jonah via interphone.

“Hubungan antara klien dan psikolog adalah pribadi.Kami minta kepercayaan hanya antara aku dan 
pak Vicko di ruangan ini.”

Dragono bergegas masuk ruangan pemeriksaan dan tangannya menunjuk ke mukaku, 
“Tidak bisa, bocah!
Kau belum psikolog, 
kau ini baru sarjana psikolog! Persetan dengan kode etikmu!
Adalah tugasku menjaga keamanan seluruh penghuni di sini. 
Termasuk kau!”

“Sudahlah Dragono, biarkanlah bocah ingusan itu bekerja. 
Keluarlah dari sana. 
Kalian juga Codi, Albert,” 
ujar Tuan Jonah lewat interphone.

Aku yakin pemimpin Chimera itu tak sedikitpun kuatir andai Vicko melakukan sesuatu padaku. 
Justru pria itu akan bersorak sorai sukacita, 
karena bebas dari pengkritik macam aku.

Sebuah suara tegas terdengar kembali, 
“Turuti saja permintaan bocah itu, 
Codi! Albert! 
keluarlah dari sana.” 
Suara Tuan Jonah meninggi melalui interphone dari balik kaca pengamat.

“Baik, Tuan Jonah!” 
Sahut Codi dan Albert bersamaan. 
Berangus mulut
Vickopun dilepaskan 
dengan hati-hati, 
lalu ganjal ketiak dilepas, 
dua prajurit itu berjalan mundur sambil bersiap dengan pistol yang ujungnya ada loncatan listriknya.
Pistol yang dipegang dua prajurit ini berbeda dengan yang dipegang Tuan Jonah, pistol ini untuk menghasilkan kejutan listrik bertujuan untuk melumpuhkan, sementara pistol yang dibawa Tuan Jonah adalah pistol berisi peluru yang mematikan.

Mata Vicko melihatku, seperti menjajaki, 
nampak dari gerak bola matanya walau samar.
Ada senyum tipis di wajah Vicko, 
tangannya diletakkan di atas meja.

“Kau juga Rose !” 
Suara Tuan Jonah terdengar lagi.
Mrs. Rose menepuk bahu kananku sekali. 
Wanita itu perlahan bangkit berdiri, 
mengangguk pada Vicko seolah memasrahkan nyawaku pada Vicko dan
melangkah keluar ruangan serta menutup pintunya.

Terdengar Dragono bertanya, mungkin karena posisi berdirinya dekat dengan mike, 
sehingga suaranya terdengar ke seluruh ruang pengamat. “Kalau Moira, 
sampai dibunuh Vicko
bagaimana?”

“Ya sudah, 
cari orang lain lagi. 
Mayatnya bisa kita lempar 
ke laut, urusan selesai.” sahut Tuan Jonah.

Aku menyadari, 
Tuan Jonah mendendam padaku, 
sementara aku merasakan gejolak kemarahan di dadaku.

“Tuan Jonah, 
ini microphonemu. 
Potongkan saja gajiku, 
bulan depan ya.” 
Aku berdiri sambil melepas
microphone yang di lekatkan di gelungan rambutku 
dan pemancarnya yang tertempel di punggungku.

“Hah, microphonenya di lepas…” terdengar suara Dragono terkejut.

“Anak ini punya gaya tersendiri,” 
gumam Tuan Jonah.

“Tuan Jonah, 
jangan lupa mematikan mike mu, 
suara kalian terdengar 
dari sini.” 
kataku sambil mengangkat microphone 
dan pemancarnya.

Braakk!!
Braakk!!
Braakk!!

Aku membanting berkali-kali alat itu ke meja. 
Microphone 
dan pemancarnya hancur 
di meja besi yang berat, 
di hadapan Vicko.

Sekelebat pikiran akan ketamakan Tuan Jonah, kematian Degardo, 
terutama ancamannya terhadap dua orang yang terdekat dalam hidupku, perasaan diperalat, 
membuat amarahku memuncak.
Entah apa yang akan terjadi bila Tuan Jonah marah nanti, kemarahanku yang brutal kali ini melebihi pikiran sehatku.

Aku melihat Vicko terperangah. 
Kepalanya agak mundur ke belakang, 
walau raut mukanya tidak berubah.
Matanya menatapku dingin dan kedua telapak tangannya membentuk segitiga di depan wajahnya.

Aku perlu mengambil sikap dalam menghadapi Vicko.Vicko seorang yang ahli, master psikologi dan pengalamannya dalam merekrut prajurit di masa dia aktif, 
tentunya dengan mudah membaca ekspresi 
dan bahasa tubuhku.
Belum lagi kejeniusannya, bukan insan yang sembarangan.

Suasana sejenak hening…

Sejenak kemudian Vicko bertepuk tangan kecil, 
“Hahaha, gadis kecil, bagaimana bisa, 
kamu percaya kepadaku.
Kau tahu reputasiku.
Rasanya kamu melihat duel terakhirku dengan Degardo di arena. 
Tangisanmu terdengar ke seluruh stadion kemarin. 
Dan hari ini kau barusan menangis lagi yaa.” 
ujar Vicko dengan wajah datar.

Aku mengabaikan kalimat terakhir Vicko, 
kemungkinan mataku yang sembab masih terlihat. 
Aku menarik napasku, menata perasaanku, kemudian mengembangkan seulas senyum pada Vicko, 
“Pak Vicko, apa kabar? 
Sekarang hanya anda 
dan Moi di sini, 
tanpa gangguan, 
tanpa ada yang menyadap pembicaraan kita. 
Moi ingin benar-benar
berteman denganmu,” 
ujarku memulai.

Vicko tak menjawab salam perkenalanku. 
Ia menatapku dengan lekat.

“Ngg….Pak Vicko?” 
Aku ingin mengucapkan sesuatu, 
tapi perhatianku tertuju pada mata Vicko yang menatapku.
Aku menyadari yang dilakukan Vicko saat ini adalah membaca pikiranku lewat gerakan mata, 
mimik wajah, 
serta bahasa tubuhku.
Vicko nampaknya sedang menjajaki kejujuranku lewat gerak bola mataku.

“Hubungan antara klien 
dan psikolog atas kepercayaan, 
Pak Vicko dan ada kode etisnya.
Karena itu Moi melepaskan microphone tadi.”

“Sepertinya kau dan Jonah tidak akur, ya?” 
ucap Vicko tepat sasaran. 
Sepasang matanya menyorot dingin. 
Tatapannya tajam.

Vicko masih membaca bahasa tubuhku, pikirku. 
Aku memiliki persamaan keilmuan dengan Vicko di bidang psikologi. 
Aku sangat menyadari, pengetahuan dan pengalamanku beda jauh dengannya, 
bahkan bisa dibilang Vicko layak menjadi dosenku.
Maka aku harus tampil jujur di hadapannya, 
bahasa tubuh atau ekspresi mikroku apabila menyiratkan ketidakjujuran bisa menghilangkan kepercayaan Vicko kepadaku, 
bahkan aku bisa dibunuhnya.

“Moi dan Tuan Jonah 
banyak berseberangan pendapat,” 
sahutku dengan hati-hati memilih kata-kataku.

“Hahahaha gadis cilik, 
ia jelas-jelas tidak menyukaimu. 
Kau dianggap musuhnya. Aku sungguh penasaran, 
apa yang sudah kau lakukan padanya? 
Jonah bisa menyakitimu.
Dan bisa sangat parah dampaknya.”

Deg! Aku tercekat dengan ucapan Vicko.
“Justru itulah, 
Moi lebih yakin kepadamu pak Vicko.
Anda bertindak selalu logis, ada alasan kuat dalam tindakan anda.
Moi lepaskan microphone supaya tidak mengkhianati anda. 
Walau saya bisa di habisi oleh Tuan Jonah, 
atas tindakan ini.”

“Tenang gadis, 
gerak bibirmu nampak tertahan saat kau bicara, jangan terlalu berhati-hati kepadaku dalam bersikap.
Berbicaralah lepas, 
aku menghargai kejujuran dan keberanianmu.” 
Vicko berkata sambil tetap menatap wajahku.
Aku tertegun, 
memang aku terlalu berhati-hati dalam berbicara kepadanya, 
mengingat reputasinya yang hebat.

“Terimakasih atas kepercayaan anda pada Moi, pak Vicko, 
banyak hal yang saya harus belajar kepada anda.” jawabku sambil tersenyum.

“Hmm sayang kau tidak suka beladiri gadis, 
tulang selangkamu saja sempit, 
pergelangan tanganmu kecil.Nampaknya kau suka mengulum makan saat masih kecil, 
rahangmu tidak berkembang.”
Aku kembali terpana akan kehebatan ulasannya pada tanda-tanda fisikku, 
yang mencerminkan kebiasaan ku saat kecil 
dan ketidaksukaanku pada olahraga beladiri.
“Bagaimana pak Vicko bisa tahu… 
hanya dengan melihat sekilas padaku Pak…” kata-kataku tercekat.

“Hoi gadis cilik, 
sebagai orang militer seperti aku, 
sebelum berperang perlu kau ketahui siapa lawanmu.
Bahkan di pertarungan yang aku jalani, 
aku selalu menganalisa musuh-musuhku, 
saat dia memasang kuda-kudanya dapat diketahui apa aliran dasar beladirinya.
Dari situlah aku sudah mengetahui kelemahannya.
Kulihat pergelangan tangannya, 
badannya, 
maka gambaran serangan yang akan kuberikan kepadanya supaya efektif dan efisien dalam menghajarnya.”

Aku merasa Vicko berbicara banyak untuk merendahkanku, 
menguji kejujuranku 
atau menjajaki kepandaianku?
Aku harus mengoptimalkan pembicaraan ini supaya aku mendapatkan informasi penting darinya.

“Pak Vicko memang luar biasa.” pujiku, 
aku kebingungan juga hendak bertanya apa untuk mendapatkan informasi lebih banyak dari dia.

Kemudian Vicko bertanya, “Lalu apa dalam keluargamu ada yang masuk militer, mengingat keberanianmu menghadapi Jonah?”

“Papaku seorang marinir. Namanya Gepardi. 
Pangkat terakhir beliau Kapten Marinir.
Sayangnya, 
Papa hilang dalam tugas 2 tahun lalu.”

Vicko menganggukkan kepalanya, 
kepalanya miring ke kiri seolah menerawang, 
“Kapten Gepardi?
Hmm…
aku mengenalnya, gadis cilik.”

Aku sungguh terkejut.
Seolah ada petir menyambar di atas kepalaku. 
Mataku berbinar, 
“Pak Vicko…mengenal papaku?”

“Saat ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan papamu, 
ada hal yang yang tidak bisa kuutarakan.
Bisa menyakitkan hatimu.Sangat dalam.”

Aku tertegun, 
interaksi dengan Vicko membuatku pusing, 
ternyata papaku yang hilang bukan orang yang jauh bagi Vicko.

“Lalu sekarang berhubung kamu harus bekerja. 
Kau mulai pekerjaanmu, 
apa kamu mau mengajukan pertanyaan-pertanyaan padaku?
Aku tidak biasa menerima perintah dari orang yang levelnya di bawahku, 
apalagi gadis ingusan macam kau.
Tetapi karena kau berani ambil resiko menentang Jonah, 
kuhargai perintahmu.”

Aku mengangguk. 
“Moi diminta untuk mendata semua orang di Chimera.
Data ini untuk penelitian lebih lanjut.
Moi ingin Pak Vicko mengisi formulir ini, 
dan tes ini.
Ini adalah formalitas di sini, seperti yang pak Vicko tahu, kita diawasi dari balik kaca.
Jadi
mohon kerjasamanya ya pak.
Kerjakan untuk Moi, 
supaya Moi tidak disalahkan oleh Tuan Jonah.” 
Pintaku sambil menyodorkan formulirku ke depannya.

Vicko tersenyum. 
Deretan giginya cukup rapi.Di sudut bibir kirinya ada luka pecah yang mengering. 
Luka bekas pertarungan kemarin. 
Vicko melirikku sambil melihat formulir dan tes psikologi yang kuberikan.

“Seperti yang kamu tahu, 
aku sudah 16 kali di tandingkan. 
Entah sampai kapan aku beruntung bisa menang.Kalah di arena
itu berarti kehilangan nyawa.Saat ini kita bisa duduk berhadapan mengobrol, entah besok atau lusa. 
Kamu sudah tahu kan pimpinan disini itu abnormal?
Tetapi dia sudah menunjukkan dokumen identitas baruku, 
aku harus menang dalam 2 pertarungan lagi, 
untuk menuju kebebasanku.
Itulah tujuanku untuk tetap hidup.”

“Ya pak Vicko, 
Moi menyadarinya.
Sekarang Moi ingin mengajukan pertanyaan yang penting, 
sebelum tes dikerjakan, Pak.”

“Hmm apa pertanyaanmu, gadis?”

“Pertanyaan Moi adalah mengapa Anda memanipulasi hasil test ?
Hingga dinyatakan sebagai psikopat?”

Bola mata Vicko bergeser cepat, kulihat pupil matanya membesar disana, 
Vicko terkejut, 
“Hmm..
ternyata kamu sudah menelusuri hasil psikologiku yang awal ya.
Kau gadis yang cerdas.”

“Moi juga perlu melanjutkan hidupku pak Vicko, 
ternyata bekerja di sini seperti menandatangani kontrak kematian, 
Moi telah menelusuri riwayat tes bapak.
Dan Moi temukan bahwa tes pertama kali di awal bapak jadi prajurit, 
tidak ada penyimpangan kejiwaan.
Dengan kejeniusanmu 
dan keahlian psikologi anda memanipulasi tes berikutnya.
Bapak pasti punya tujuan dari manipulasi tes ini,
lagipula dari laporan DNAmu, tidak ada penyimpangan kromosom yang berpotensi membuatmu jadi psikopat.” Tuturku perlahan dan hati-hati.

“Aku tanya kau, 
apa judul skripsimu?” 
Vicko balik bertanya, wajahnya tetap datar seperti pemain poker yang 
tidak ingin diketahui kartu yang dipegangnya, 
buruk atau baik.

“Eee.. 
Hypnotherapy Sebagai Terapi Penunjang Kesembuhan Penderita Abnormal Psychology.” 
aku menjawab sambil berpikir bahwa Vicko menjajaki kemampuan akademik ku.

“Hmm…dari judul skripsinya, aku mengetahui kau lulusan yang hebat, 
dan kau juga mencoba membaca bahasa tubuhku. 
Apa yang kamu bisa, 
gadis,
aku sudah melampauinya.”

Aku tersenyum, 
memang bila seorang yang bisa menghipnotis perlu mempelajari bahasa tubuh supaya mengetahui insan yang dihipnotis masuk ke dalam sugestinya.

“Ya, Pak Vicko. 
Moi tahu itu. 
Anda adalah senior Moi di psikologi. 
Pak Vicko layaknya dosen bagi Moi.”

Vicko berkata sambil tetap menatap bola mataku.
“Ini antara kita ya, Moi.
Aku mengambil kesimpulan bahwa penelitian ini berkaitan dengan kekuatan pikiran. 
Dan aku dianggap salah satu obyek penelitian di sini, 
tapi ketahuilah, 
bahwa penelitian ini berbahaya bagi umat manusia.
Biopsikologi tentang fungsi otak manusia yang dikembangkan, 
kau dan aku adalah orang kebanyakan yang bisa mempelajari dan mengembangkan kehebatan kekuatan pikiran.”

Aku berusaha menyimak dan mencermati setiap ucapan Vicko.
Vicko benar-benar menggunakan tekanan psikologis kepadaku, 
aku merasa dituntut untuk selalu berbicara apa adanya, sebab itu aku juga tidak mau berbohong, beliau dengan mudah membaca bahasa tubuhku.

“Kaitannya dengan militer, kemampuan bawah sadar manusia, 
kemampuan kekuatan pikiran, 
sangat dahsyat bila di gabungkan.
Bila militer berhasil membuat formula semua keahlian metafisika sebagai senjata, 
maka dominasi orang-orang yang unggul sajalah yang dapat hidup. 
Yang kuat yang menang. 
Homo homini lupus terjadi.
Generasi yang dominan dan superior akan menghabisi orang-orang biasa, 
dengan cara yang halus 
atau keras lewat militer. 
Kesenjangan meningkat. Orang yang sekarang dianggap normal akan terlihat bodoh.
Sedangkan orang-orang yang punya bakat akan berkembang dan bermunculan di era ini.
Kau mempercepat kehancuran dunia ini, gadis.
Kau benar-benar bermain api dengan peradaban, 
gadis cilik! 
Penelitianmu adalah kunci kehancuran peradaban.” kalimatnya mulai naik, menunjukkan ketidak sukaannya.

Ruangan kembali hening.

Sesaat sorot mata Vicko menjadi begitu tajam, 
“Dan satu hal lagi gadis cilik, kau simpan rahasia bahwa aku memanipulasi tes psikologi untuk jadi psikopat.
Gadis cilik, sadarilah. 
Kamu berada dalam konspirasi besar! 
Pikirkanlah mengapa kamu bisa sampai disini.
Penelitian ini berada di tangan yang salah.
Petinggi militer yang mengepalai proyek ini memanfaatkannya untuk kepentingan diri sendiri.
Jangan percaya kepada siapapun di tempat ini. 
Kamu sudah masuk terlalu dalam di permainan maut ini!”

“Mengenai anda memanipulasi tes, 
itu sudah menjadi rahasia Moi pak Vicko, 
jadi mohon bapak untuk mempercayai Moi. Dan…Konspirasi? 
Konspirasi apa Pak Vicko, serta permainan maut apa? Apakah ini juga berkaitan dengan Papa Moi, Pak Vicko?”

Vicko terdiam. 
Tampak tangannya terkepal seolah menahan marah.

“Moi mohon, Pak Vicko, bisakah Bapak menceritakan pada Moi apa yang terjadi pada Papa Moi? 
Kebenaran harus kau ungkap pak Vicko, 
walau pahit bagi Moi.”

Tiba-tiba Vicko melempar berkas tes yang kusiapkan ke tembok.

Saat itulah Dragono, 
Codi serta Albert masuk ke dalam ruangan.
Dalam todongan pistol listrik mereka memaksa Vicko bangkit berdiri dan membelakangi supaya bisa di borgol.

Chapter 11 Leman Sang Fakir

Aku dan Mrs. Rose mendatangi mereka, satu tangan Dragono berkacak pinggang, sementara satu tangannya lagi mengusap-usap dagunya yang licin, aku merasa badanku bertambah kecil di hadapannya.

Sel Leman terletak nomor dua dari pojok sebelum pintu masuk The Arena, sel tersebut tertutup rapat seperti pintu besi toko, ada akses jendela berplat besi di bagian atas dari pintunya.

Prajurit Codi yang ada di samping Dragono, membuka jendela kecil tersebut di pintu sel Leman.

Hmm, 

Leman sang fakir julukannya, seorang yang mempunyai kemampuan bertahan hidup yang tinggi, bahkan tahan tidak makan apapun selama berhari-hari, karena kehilangan orientasi diri.

Leman mempunyai kemampuan beladiri menyerupai binatang dalam menyerang maupun bertahan.

Aku teringat suatu tayangan video di YouTube bahwa seorang fakir mempunyai kekuatan yang aneh, tidur di atas paku, makan pecahan kaca, silet.

Seram, tetapi apakah Leman benar-benar mempunyai kehebatan seperti itu?

Aku menghela napasku, insan yang ada di pulau ini sangat komplek kemampuan dan juga permasalahannya, semoga Leman tidak merepotkan kami.

“Leman! Hoi Leman!!Ada tamu,” teriak prajurit Codi sambil membuka jendela kecil tersebut, 

sementara tangan yang satunya memukul-mukul pintu besi dengan tongkat tonfa, membuyarkan pikiranku.

“Astaga,  Leman?” tiba-tiba mulut Dragono berujar, matanya membelalak saat melihat ke jendela itu.

Aku heran akan raut muka Dragono, belum pernah wajahnya nampak seperti orang ketakutan.

Aku ikut melongok ke jendela itu, ke sel Leman.

Aku sungguh terkejut mendapati seorang pria bertelanjang dada,mengenakan celana jeans pendek belel. 

Tubuhnya melayang di atas lantai, seolah terbang, sepasang kaki dan tangannya nampak mengambang di udara sementara kepalanya terkulai di atas udara, seperti orang sedang melakukan gerakan kayang.

Kayang dengan mengambang terbang.

Codi memutar kunci untuk membuka pintu sel, Dragono, Mrs. Rose dan aku masuk ke sel Leman dengan hati-hati.

Sekujur bulu kudukku meremang, belum pernah aku melihat fenomena seperti itu, menurutku Leman mengalami kondisi di luar kesadarannya.

Terlihat Leman walau kondisinya mengambang tubuhnya terkulai, bola matanya nampak terbalik, hanya warna putih yang kulihat. 

Leman seperti sedang dalam kondisi tidak sadarkan diri.Rambutnya panjang agak gimbal menambah seram wajahnya.

“Mengapa bisa seperti ini?” kata Dragono mengagetkanku.

“Leman! Bangun! Hoi!” teriak Dragono tidak sabar dari tempatnya berdiri.

Tubuh Leman masih terbang melayang, tapi Leman merespon dengan memutar bola matanya, 

bola matanya nampak seperti ada sinar kemerahan di dalamnya.

“Lanchang sekhali khalian!Orhang baru tenang tidhur di ganggu.Apha mau khalian?Bherani sekhali khalian ini, ha?!” terdengar suara ganjil dari Leman, 

nadanya meledak-ledak sangat marah. Tubuhnya perlahan bergerak.Perlahan kedua kakinya yang mengambang mendarat turun ke lantai.

Kakinya kinimenjejak normal di atas lantai, perutnya ramping dengan iga bertonjolan tetapi dari asfisiknya tetap nampak liat otot-ototnya. 

Keningnya berkerut, rambutnya yang panjang keriting gimbal menutupi sebagian wajahnya yang tirus sawo matang.

Ia bergantian menatap kami berempat secara perlahan-lahan.

Dragono mengangkat kedua tangannya terkepal sejajar kepalanya dengan perlahan maju, dia menyongsong tantangan Leman.

“Jangan ada kekerasan. Biar aku dan Moira yang akan menangani, ya,” 

Mrs. Rose sambil memegang pundak  Dragono  yang sudah menyiapkan tinjunya. Kepalan tangannya besar sekali.

“Sst, Moi, tolong ambilkan sebotol air mineral. Minta di pos penjaga.” ujar Mrs. Rose sambil menoleh ke arahku.

“Baik, Mrs. Rose,” sahutku segera. 

Aku keluar lalu segera kembali dengan membawa sebotol air mineral yang diminta Mrs. Rose. 

“Ini airnya, Mrs. Rose.”

“Kamu punya harapan apa untuk Leman, Moi?” bisik Mrs. Rose kepadaku.

“Leman balik menjadi normal,” sahutku agak bingung.

“Ya, sudah. Masukkan sugesti-sugesti positif itu,” ujar Mrs. Rose.

“Maksudnya?”

“Ayo, ucapkan kata-kata yang baik ke media air ini seperti kamu mensugesti yang kamu hipnotis,” ujar Mrs. Rose. 

Ia menyerahkan botol air mineral itu balik ke tanganku.

“Ya, Mrs. Rose.” aku masih perlu waktu untuk mencerna ucapan Mrs. Rose.

“Jangan ragu-ragu, Moi. Ayo. Masukkan sugesti positif ke dalam air di botol itu, isilah dengan harapan bahwa Leman kembali normal.”

“Grrrrh..,” Leman menggeram-geram menakutkan, 

kedua belah tangannya melakukan gerakan seperti mengepakkan sayap, sementara satu kakinya di angkat tinggi.

Sejenak aku terdiam, lalu fokus melihat dan menggenggam erat botol air minum itu, kusalurkan harapan dan keinginan yang baik ke botol air itu.

“Dekati Leman, ajak bicara baik-baik sambil kamu seka wajahnya dengan air ini,” bisik Mrs. Rosememberi petunjuk.

“Bhwahaha…apha yang khamu mau, Bhocah?” Leman menatapku beringas.

Aku berjalan perlahan ke arah Leman, keberanianku mulai muncul.

“Pak Leman, aku Moira. Aku ingin jadi sahabat Pak Leman.”

“Lheman? Akhu bhukan Lheman. Akhu sang rajhawali.”

Aku berjalan mengitari Leman sambil menuangkan air dalam botol minuman sedikit demi sedikit,  “Kembalilah Pak Leman. 

Pak Leman yang mempunyai tubuh yang ada di tengah lingkaran air ini. 

Pak Leman yang berhak atas tubuh ini, 

ingatlah Pak Leman.

Tubuhmu punya Pak Leman. Kuasai tubuhmu, 

Pak Leman. 

Ayo, sadarlah. 

Baliklah Pak Leman.”

Mata Leman memandangku tajam, 

tiba-tiba Leman terjungkal jatuh. 

Tubuhnya menggelepar-gelepar di lantai. 

Kedua tangannya memegangi kepalanya. “Grrrh…aarggg….arrhh…,” beberapa saat Leman terus

menggelepar dan menggeram.qq

Aku berdebar, 

benarkah sugestiku berhasilkah memanggil Leman untuk kembali menguasai tubuhnya sendiri?

Saat ini Leman duduk.Sepasang matanya terbuka dengan perlahan.

Pupil matanya telah kembali ke posisi yang seharusnya.

Bola matanya yang kemerahan seperti ada bara api di dalamnya, 

nampak memudar.

Aku nyaris bersorak lega.Leman yang asli telah kembali. 

Aku berhasil!

Aku mendekatinya dan berlutut di depan Leman, “Pak Leman, aku Moira, silakan minum, Pak,” 

ujarku lembut seraya mengulurkan botol mineral yang masih terisi air seperempat botol.

“Ah, ya…ya,” 

sahut Leman  linglung. 

Ia menerima botol yang kuberikan dan meminum habis isinya.

“Aku Moira. 

Aku mohon ijin untuk bisa menjadi sahahat, 

Pak Leman,” ujarku.

Leman menatapku dengan pandangannya yang fokus. Sepasang matanya mengerjap, 

“Gadis cilik, 

kamu ada di tempat yang salah. 

Hati-hati Nak, 

disini bukan tempatmu.”

Aku terhenyak, keheranan menyelimuti diriku, 

suara Leman kembali terdengar normal, 

dan kalimat yang dilontarkannya mirip dengan peringatan-peringatan yang telah kuterima sebelumnya.

“Aku sekarang bekerja di sini, Pak Leman. 

Moira mendapat tugas resmi dari pemerintah.”

“Kamu masih begitu muda, Nak. 

Jangan sampai hanya karena uang, 

kamu jadi salah jalan. 

Pulanglah, 

selagi masih bisa,” 

ucap Leman sambil agak menunduk.

“Tidak apa-apa, Pak Leman.Kan Pak Leman bisa melindungi Moi. 

Disini banyak teman yang baik sama Moi.

Moira tugasnya hanya membuat catatan kegiatan disini. 

Bantu Moi, 

ya Pak Leman, 

sekarang kami pamit dulu.” sela Mrs. Rose sambil menggamit lenganku untuk berdiri, lalu aku bangkit berdiri.

Leman turut berdiri. 

Matanya menyipit menatapku, 

seolah ingin berbicara lebih banyak lagi.

“Sampai jumpa, Pak Leman,” ujarku.

“Ya..ya…,” 

Leman membalas lambaian tanganku.

Siang ini tujuanku untuk bertemu Leman selain untuk berkenalan juga mendatanya, namun kejadian aneh yang barusan terjadi membuat kami harus undur dulu.

Sementara Codi dan Dragono mengunci pintu sel Leman, 

aku berbincang-bincang dengan Mrs. Rose di luar.

“Sorry, Mrs. Rose, 

tadi airnya Moi siramkan ke sekeliling, 

bukan ke tubuh Pak Leman, terus terang aku juga takut.” kataku.

“Ya, tak apa-apalah.

Terbukti kan sugestimu tepat dan kuat, Moi.”

“Yang aku takutkan adalah bertemu Vicko, Mrs. Rose.Aku benar-benar grogi saat ini.”

“Tenang saja, Moi. 

Kamu tidak sendirian. 

Aku dampingi terus, kok.”

“Sebelum bertemu Vicko di ruang pengamat, 

kalian di minta bertemu dengan Tuan Jonah 

di ruangan monitor.

Nanti Vicko aku siapkan,” ujar Dragono memberitahu kami.

“Ya, terima kasih, 

Pak Dragono,” sahutku.

Bertemu dengan Tuan Jonah ?

Duuh… 

hal yang tidak mengenakkan bagiku, 

apa yang diinginkan diktaktor sadis itu dariku?

Dragono dan Codi berjalan di belakangku, 

seolah menyuruhku untuk segera bergegas menemui junjungannya.

Aku mempercepat langkahku, 

sekilas kulihat tangan Henry menggapai-gapai 

saat aku berjalan melewatinya.

“Hi cantik, mampir sini dong, aku kangeeen.” 

serunya manja.

Aku tersenyum kecil kepadanya, 

pikiranku mulai berat mengingat sebentar lagi bertemu dengan orang yang paling berkuasa juga paling menjengkelkan di pulau ini. 

Tuan Jonah.

“Maaf Mrs. Rose, 

ada apa ya Tuan Jonah ingin bertemu denganku?”, 

bisikku pada Mrs. Rose.

“Mungkin sedikit wawasan biasa saja Moi, 

aku juga tidak tahu hal apa yang ingin disampaikan beliau.” 

Jawab Mrs. Rose.

Kami berjalan ke arah ruang monitor dimana Jeff biasa bertugas disana, 

saat kami masuk ke ruangan tersebut nampak 

Tuan Jonah dan Jeff sedang mengamati layar monitor cctv.

“Selamat siang Tuan Jonah.” sapaku membuka percakapan.

Tuan Jonah tidak bergeming, seolah mengabaikan sapaanku,  

matanya tetap fokus memperhatikan layar monitor.

Dragono mendekat ke monitor, 

ternyata Tuan Jonah dan Jeff sedari tadi melihat kegiatan selnya Vicko.

“Hmm, si Vicko sedang rutin berolahraga ya.” kata Dragono.

“Dragono perhatikan gerakan-gerakannya, 

dengan memanfaatkan tubuhnya, tanpa alat,

si Vicko bisa menjaga kekuatan dan kehebatannya bertarung.”

Aku ikut melihat monitor, disana kulihat Vicko sedang melakukan push up 

dengan tumpuan satu tangan terkepal, 

sungguh kuat dia.

“Jeff, bagian yang ini kau simpan untuk file dokumentasiku, 

lalu kau emailkan ” 

perintah Tuan Jonah.

“Ya, Tuan Jonah,” 

sahut Jeff pendek, 

sambil menekan keyboard komputernya dengan cepat.

Terlihat Jeff sangat patuh pada petinggi Chimera yang otoriter itu.

Hatiku mulai terusik, 

apakah status tahanan di Chimera membuat seseorang tidak mempunyai privasi ?

Tuan Jonah benar-benar seorang yang tidak menghargai insan manusia.

“Maaf Tuan Jonah apakah tidak berlebihan, 

bila seorang  penghuni sel disini tidak mempunyai privasi ?” 

Aku memberanikan diri bertanya pada diktator tersebut.

Sesaat Tuan Jonah melirikku, 

dia mengambil nafas, disertai lirikan matanya, 

dia berucap,

“Bocah, 

apa yang bisa diharapkan dari seorang psikopat seperti dia?

Otaknya masih ada di kepalanya saja, 

harusnya dia bisa bersyukur, 

tidak kutembak kepalanya.”

Aku terkesiap, 

Tuan Jonah selalu mengandalkan kekuasaannya di pulau ini, bahkan sesungguhnya dialah yang psikopat, bukan Vicko.

“Dia seorang manusia Tuan, dia berhak atas privasinya.” 

“Bocah, ingatlah Vicko itu bukan siapa-siapa, 

dia orang yang tidak punya identitas, 

seharusnya dia sudah tewas dua tahun yang lalu, 

saat dia dinyatakan desersi.” 

nada suara Tuan Jonah terdengar meninggi, 

sementara Jeff yang duduk di sampingnya terlihat melirik ke arahku.

“Dan aku amati kau sangat tidak suka kepadaku bocah, itu memang hakmu.

Sebentar lagi kau bertemu dengan Vicko, 

aku berharap kau menuruti saran keamanan dari kami.

Kalaupun kau mati di tangannya, aku bahagia saja, toh berkurang satu pembenciku.”

Aku berusaha menahan emosiku, terasa air mataku mengambang di sudut mataku, 

aku menahannya supaya tidak tumpah 

dengan menggigit bibirku sendiri.

“Aku rasa Moi mau menuruti omongan anda Tuan Jonah, dia gadis yang baik.” terdengar suara Mrs. Rose mencoba menengahi.

“Hm, aku tak peduli dia menuruti aku atau tidak, Rose.

Aku minta dia paling lambat besok sore, 

untuk memberikan laporannya tentang semua penghuni pulau ini termasuk Vicko juga.

Apabila pekerjaannya bagus, maka kau bisa berikan file rahasia Chimera Project padanya, Rose.” 

kata Tuan Jonah dingin, 

sambil tetap menatap monitor CCTV.

Sejenak kemudian, 

kepala Tuan Jonah berputar ke arahku, 

pandangannya tertuju tajam ke arahku.

“Kau dengar aku bocah?

Pastikan besok sore laporanmu ada di mejaku, 

tersaji lengkap!” 

bentak Tuan Jonah, 

sorot matanya sangat menghujam saat melihatku, seluruh persendian ku seperti lolos dari tubuhku.

“Ya Tuan Jon…ah” 

jawabku lemah dan gemetar, sekilas kulihat wajah Jeff tersenyum seolah ikut mendukung perilaku 

Tuan Jonah kepadaku.

“Dragono kau siapkan Vicko. Jeff, kau berikan saja berkas untuk bocah itu, 

biar bocah itu segera kerja dan beranjak dari sini.” perintah Tuan Jonah tegas.

Jeff memberikan map kepadaku, 

sementara Dragono dengan sigap keluar ruangan.

Tangan Mrs. Rose menarik lenganku sesudah kami berpamitan dengan penguasa arogan itu.

Kami berjalan beriringan menuju arah ruang pemeriksaan, 

terasa berat langkahku.

Aku juga heran saat 

Tuan Jonah mengatakan ada file rahasia Chimera Project, 

file apakah itu?

“Semoga Vicko tidak berulah ya, Mrs. Rose. 

Aku benar-benar lelah rasanya.”

“Ayo, mana semangatmu? Sebentar lagi kamu akan bertemu dengan dewanya pulau ini,” 

ujar Mrs. Rose menggodaku. 

Aku menyikut rusuk Mrs. Rose pelan. 

Aku ingat, 

aku menyebut

Vicko sebagai dewa saat presentasi Mrs. Rose di kampus.

Mrs. Rose tertawa.

“Pribadi-pribadi sebelumnya sebenarnya juga identik dengan dewa, Mrs. Rose.

Kemampuan mereka sangat langka, namun benar-benar nyata.

Dan anda juga dewi, 

Mrs. Rose. 

Melontarkan benda berat hanya dengan kekuatan pikiran, 

sementara aku cuma gadis kecil biasa,” sahutku.

“Omong-omong Mrs. Rose, 

apa yang dimaksud file rahasia Chimera Project yang di katakan Tuan Jonah tadi?”

Chapter 10 Mrs. Rose yang Fenomenal

Pagi itu, aku beringsut turun dari tempat tidur Angel, kupandang wajah Angel yang nampak damai, sesungging senyum nampak di bibirnya.
Dengan perlahan aku membuka pintu, aku terkejut, sesosok pria bertubuh kecil ada di hadapanku.

“Pagi pak No, 
wah semangat sekali mengepelnya.” sapaku, sambil menutupi mulutku, maklum, aku belum menggosok gigiku.

“Ya, semangat mengepel, semangat, ya.”Jawab pak No seolah sekenanya, bahkan ekspresi wajahnya juga tidak berubah saat menjawabku, 
tetap datar dan wajahnya menunduk asyik dengan tongkat pelnya.

Aku bergegas kembali ke kamarku, harus bersiap segera, sebelum Mrs. Rose menjemputmu untuk makan pagi bersama.
Eemm… masih ada setengah jam lagi untuk mandi dan berdandan, cukuplah.

Sesaat bangun dari tidur di pagi ini, seluruh beban pikiran mulai mendatangiku satu-persatu, 
mulai dari pekerjaan ku yang menghadapi berbagai insan berbakat dengan masing-masing masalahnya, belum lagi keinginanku bertanya pada Angel tentang ayahku.

Wow, mending tidak kupikirkan daripada membuatku tertekan, kutepis pikiran-pikiran yang membebaniku.

Tepat setengah jam kemudian, pintu kamarku diketuk, wajah segar Mrs. Rose menyapaku.
Aku keluar kamar, sementara Mrs. Rose duduk di teras depan kamarku. Aku juga ikut duduk di sebelah Mrs. Rose.

“Moi, pagi ini kita akan lanjutkan pendataan lagi.Pagi ini kita ketemu pak Anton, lalu sarapan.
Sehabis itu kamu bisa mendata diriku. Setelah aku, Leman lalu Vicko. Tapi untuk kedua orang tersebut harus dikawal.”

“Pak Dragono akan mengawal kita?” tebakku.

Mrs. Rose mengangguk.“Semalam kamu dimana?Aku cari di kamarmu tidak ada, Moi.”

“Itu…aku tidur di kamar Angel. Dia senang sekali saat aku temanin kemarin.”

“Aku salut denganmu, Moi.Kamu melakukan lebih dari sekedar pekerjaanmu.”

Aku menggeleng. 
“Angel dan Risty, seharusnya mereka tak boleh menggunakan kemampuan mereka lagi, Mrs. Rose.Mereka terforsir energinya.Mereka kelelahan, apalagi keduanya punya kelemahan fisik, terlebih Risty yang sedang sakit.”

Mrs. Rose menatapku menanti kelanjutan ucapanku.

“Semakin sering mereka menggunakan kemampuan mereka, fisik mereka makin lemah.Mereka juga kesakitan dan ketakutan.”

“Kita tidak bisa berbuat apa-apa Moi.tuan Jonah membutuhkan kehebaqqtan mereka, 
dan yang dilakukan kemarin untuk membantu negara.” kata Mrs. Rose memberikan argumen.

“Kemarin Risty yang sudah sakit, sampai jatuh pingsan setelah diminta untuk menjelajah ke masa depan. Mau sampai kapan Risty bertahan? Mrs. Rose… tidakkah Tuan Jonah itu sangat keterlaluan?”

Lalu aku melanjutkan, 
“Dan Angel… setiap Tuan Jonah mau bertemu dengannya, gadis itu sudah ketakutan.Jiwanya begitu lemah, dia rapuh saat memasuki keadaan masa lalu, apalagi kemarin dia merasakan kejadian kematian.”

Mrs. Rose diam menunduk menatap sepatunya.

Tepat seperti perkiraanku, Mrs. Rose tak pernah mengeluh tentang tempat ini. Dia tak pernah mengeluh tentang perilaku Tuan Jonah.Wanita dihadapanku adalah wanita loyal Chimera.

“Yah, kita lakukan sajalah tugas kita, Moi, itu bagian kita.” ucap Mrs. Rose akhirnya.

Aku sungguh kecewa dengan sikap datar seqolah tidak ada apa-apa, yang ditempuh Mrs. Rose saat seperti ini.

“Kita sudah diatur Tuan Jonah untuk kunjungan ke Leman di selnya siang nanti. Sementara sore harinya Vicko disiapkan di ruang pemeriksaan.” 
ujarnya seolah mengalihkan topik pembicaraan.

“Ini berkas yang harus kau ujikan kepada mereka, 
hari ini, Moi.” Kata Mrs. Rose sambil mengangsurkan map berisi sebendel formulir.
“Ya, aku siap, Mrs. Rose.” jawabku.

“Ayo kita kunjungi pak Anton, ke tempat kerjanya.” kata Mrs. Rose sambil menggandeng tanganku.

Aku berdiri, 
lalu melangkah ke arah ruangan kerja pak Anton, sebenarnya letaknya hanya berseberangan dengan kamarku.QQQ
Aku melihat Pak Anton keluar dari ruangan kantornya, 
lalu berdiri diantara pohon bunga dan tanaman-tanaman.

“Pagi Pak Anton, 
aku Moira. 
Kita beberapa kali bertemu di ruang makan.”

Anton tersenyum, 
“Pagi Moira, tumben kalian mengunjungiku.”

“Bunga apa ini? 
Cantik sekali.”Ujarku seraya membungkukkan tubuhku mendekati rumpun bunga keunguan yang bergerombol.

Pak Anton tertawa, 
“Jangan tertawakan aku ya, aku juga tidak tahu bunga apa itu. 
Di enskilopedia tidak aku temuin. 
Pak Johno yang taruh disana semata-mata karena katanya bentuknya yang cantik, 
enak dipandang mata, 
dan katanya berkhasiat obat”

Mrs. Rose, pak Anton, 
dan aku tertawa. 
Pak Anton ini rupanya merupakan sosok yang menyenangkan, 
walau dari raut wajahnya nampak serius.

“Ngomong-ngomong angin apa yang membawa kalian kesini?”

“Jalan-jalan saja kok, 
mau sarapan.” ucap Mrs. Rose santai.

“Pak Anton baru ngerjain apa?” tanyaku dengan penuh minat.

“Ohh, ini sedang uji sampel air. 
Setiap hari kan kita test air baku yang kita minum. 
Ada bakterinya tidak. 
Layak buat diminum tidak, kalau tidak kita test, 
bisa diare semua nanti orang-orang yang ada di pulau ini.”

Aku tersenyum.

“Kadangkala aku membantu Dokter Stephan meracik obat, 
secara berkala mengambil sampel di sel Vicko, 
juga menilik ternak dan ikut menjaga kesehatan ternak disini. 
Ya rangkap-rangkaplah, 
maklum kan sendirian.”

“Sampel? 
Sampel apa yang ada di sel Vicko, pak Anton?” tanyaku tertarik.

Pak Anton mengambil napas panjang, 
pandangannya lurus ke depan sebelum melanjutkan perkataannya.

“Hal ini kubuka untuk kalian, karena kalian memang ditugaskan mendata kegiatan disini. 
Vicko kan dulunya tentara, amat pandai bahkan dikuliahkan lagi oleh negara. 
Ahli bertahan hidup di hutan.Dia mengetahui dan ahli menggunakan media biologi untuk membuat obat.Bahkan meracun lawan, 
juga membuat antidote penawarnya dari alam atau media biologis, 
seperti jamur dan sporanya, bakteri serta virus.”

“Sampel yang kuambil bisa di dinding, di tembok, 
di sudut lantai, 
karena itu mencerminkan apa yang sedang dikerjakan Vicko. 
Itu sampel biologis.

Jujur, ini kubuka khusus untuk kalian, 
karena kalian memang ditugaskan mendata kegiatan disini.” 
kembali pak Anton menegaskan betapa pekerjaannya bersifat rahasia dalam berhubungan dengan Vicko, 
lalu beliau mengatakan,

“Beberapa waktu yang lalu, Vicko bahkan mencoba lari dengan membuat lapuk teralis besi, 
dengan cara mengkultur senyawa biologi yang tumbuh di selnya. Sebenarnya ia cerdas, 
briliant sekali Moi, 
aku harus mewaspadai setiap organisme yang ada di selnya.
Secara berkala selnya harus disterilkan dan sample biologis yang aku tidak kenal, aku kirim ke ibukota.”

Pak Anton menarik napas dalam-dalam.
“Kita tidak tahu apa itu. 
Bisa jadi ia sedang membuat racun biologis yang bisa membahayakan kehidupan kita di pulau ini, 
sementara dia sudah resisten atau kebal karena mengembangkan antidotenya, penawarnya.
Dia dinyatakan psikopat, 
ini yang membahayakan. 
Kita tidak tahu apakah jamur atau spora tertentu, bakteri, bahkan virus yang kita hadapi, jadi ya aku harus waspada terus.”

“Caranya?” tanyaku lagi.

“Paling tidak itu tadi, 
tiga hari ia dikeluarkan dari selnya lalu seluruh isi selnya disterilisasi.”

“Benar-benar jenius ya, 
Vicko ini,” gumamku.

“Jenius, namun sayangnya salah jalan,” tukas Pak Anton.

“Okay, kita sarapan dulu. Terima kasih Pak Anton,” Mrs. Rose berpamitan.

Aku dan Mrs.Rose menuju ke ruang makan.
Sesaat kemudian aku dan Mrs. Rose bersantap, 
sambil sarapan, 
pikiranku menjelajah kemana-mana.
Vicko dengan segala kejeniusan serta kekuatan fisiknya saja tak mampu keluar dari sini. 
Apalagi aku? 
Aku tak memiliki kemampuan apapun, 
pikirku muram.

“Pagi Moi, bagaimana kondisimu hari ini?”Terdengar suara Henry menyelinap di kepalaku.

Aku memusatkan pikiran, berkomunikasi dengan Henry melalui telepati memang harus fokus dan menghabiskan energi.
“Hi Henry, 
yang barusan kupikirkan ialah, bagaimana bisa kabur dari sini secepatnya.”

“Moi, kamu tidak terpenjara, pikirkan kesempatan atau momentum yang tepat untuk kabur. 
Kalau aku punya kesempatan itu, 
kabur dari sini. 
Pastilah aku akan mengajakmu.
Aku bersumpah.”Ujar Henry dalam kepalaku.

“Sebenarnya momentum yang bagus untuk kabur adalah kalau ada acara duel lagi, Hen.
Ngg…bukan aku mengharapkan akan ada korban lagi, 
tapi itulah momentum dimana para penjaga pulau yang berjumlah 20 orang, sebagian besar akan sibuk menyambut tamu dan fokus untuk mengawal Vicko. 
Tuan Jonah akan menjamu tamu-tamu dan mendampingi host. 
Dan Dragono pasti disisinya. Mungkin kita bisa kabur saat penjagaan lemah,
tetapi kita perlu strategi.”

“Dibalik penampilanmu yang biasa-biasa saja, 
ternyata otakmu boleh juga, Moi.”

“Apa?”

“Sst…jangan teriak!” Henry memperingatkanku.

Aku menoleh ke Mrs. Rose , nampak keningnya mengeryit saat melihatku.

Mrs. Rose sedang mengernyit menatapku. “Apanya yang apa, Moi?”

“Ah…itu Mrs. Rose, 
apa…apa kita bisa mencoba keliling pulau dengan speed boat? 
Hehe… 
mungkin rasanya asik Mrs. Rose.
Masalah-masalah yang kita hadapi beraaat.”

Mrs. Rose tersenyum, “Kapan-kapan deh. 
Waktumu masih lama disini.
Lagipula kita jam satu siang ini akan bertemu Leman. 
Leman, kamu ingat kan? 
Dia seperti Vicko, 
ahli bertarung dan bukan pria lembut seperti Henry. 
Kamu kemarin berhasil menghadapi Rado, 
semoga dengan Leman dan terakhir Vicko, 
kita juga bisa menghadapinya ya.”

“Ya.Mrs. Rose, 
semoga mental kita kuat ya.”

Mrs. Rose menggandeng tanganku beranjak dari ruang makan, 
dan kami berjalan menyusuri lorong dan pintu-pintu berpindai. 
Sejauh ini pindai tanganku bisa membuka pintu-pintu ruangan dalam gedung, sementara dua prajurit yang berjaga selalu menatap kami saat kami lewat, 
mereka berdiri dan bersikap hormat pada kami.

Kami telah sampai di ruang pemeriksaan. 
Mrs. Rose dan aku duduk berhadapan. 
Rasanya janggal sekali kami duduk berdua dalam posisi seperti ini.

“Kita disini Mrs. Rose, memang aku yang akan di interogasi? Hihi..” 
Aku tertawa.

“Supaya tenang Moi. 
Disini juga kedap suara. 
Aku sudah menyiapkan pemberat barbel 2 kg, 
dan beberapa benda lain.”

“Buat apa Mrs. Rose?” tanyaku tak mengerti.

“Perhatikan, Moi.” 
Mrs. Rose meletakkan sebuah batu baterai kecil di meja dan memandangnya dengan fokus.

Pandangan mata Mrs. Rose tajam ke arah batu baterai tersebut, 
kulihat bola matanya seperti punya energi di sana.
Astaga, aku melihat batu baterai itu perlahan melayang, makin tinggi, 
naik keatas, 
lalu turun perlahan ke meja seolah-olah seperti ada penggeraknya.

“Ini si..sihir?” 
kalimat spontan terucap dari bibirku yang gemetaran karena takjub.
Aku tak pernah membayangkan wanita cantik ini punya kemampuan sehebat itu.

“Wah, alumnus cumlaude psikologi kok percaya sihir, hahaha….”

“Menakjubkan. 
Mrs. Rose keren.” 
Aku masih terheran-heran dengan fenomena yang barusan kulihat.

“Thank you, Moi. 
Ngg…Judul skripsimu apa ya? Abnormal Psikologi apa?”

“Judulnya Hypnotherapy Sebagai Therapy Penunjang Kesembuhan Penderita Abnormal Psychology.”

“Saat itu kamu magang dimana?”

“Aku melakukan penelitian skripsi itu di klinik umum yang satu komplek dengan Akademi Okupasi. 
Para mahasiswa di sana sekalian praktek dengan bimbingan seniornya.
Di tempat itu setiap siang hari ada klinik okupasi.
Mengikuti cara mereka merawat anak-anak yang berkebutuhan khusus, 
lalu kutambahi terapi 
dengan hipnoterapi.”

“Kamu menggunakan hipnotis. 
Kamu seorang ahli hipnotis. Berarti sangat jelas bahwa kamu punya 
subconcious mind yang tinggi. 
Apa bedanya dengan menggerakkan benda 
atau obyek? 
Oke, aku ajari ya. 
Tidak perlu pakai batu baterai. 
Pakai ballpoint yang lebih ringan dulu aja, ya.” 
Mrs. Rose meletakkan sebuah ballpoint di meja 
di hadapanku.

“Nah, sekarang coba mulai, Moi. 
Kamu ingat kan saat kamu berhasil menghipnotis anak didikmu di klinik umum Akademi Okupasi ?”

“Hmm..ya..ya…aku coba.”

“Sekarang pandang ballpoin ini. 
Bayangkan saat kamu bisa masuk ke pribadi mereka.Kamu juga bisa membawa mereka masuk pada tujuanmu. 
Demikian juga ballpoint ini.Kamu bisa menggerakkannya. 
Kamu bisa bayangkan ballpoint ini bergerak ke arah dirimu
iyaa
ayooo.. 
gerakkan.. Fokus…gerak..
bergerak ke arahmu..
gerak…” 
Mrs. Rose membimbing dan mengarahkan pikiranku.

Aku mengikuti petunjuknya dan memfokuskan pikiran serta pandanganku kepada balpoin itu. 
Kupusatkan pikiranku pada batang ballpoint itu, 
otakku kuisi dengan penuh keyakinan, 
bahwa aku ingin ballpoint itu bergerak.
Seiring lintasan memori saat aku berhasil menghipnotis beberapa teman, membuatku menjadi percaya bahwa balpoin itu mau mengikuti apa kehendakku.

Tiba-tiba ballpoin itu bergerak sedikit ke kanan.Aku bersorak. 
“Yaa bergerak!
Ballpoinnya bergerak. 
Haha Mrs. Rose, 
aku berhasil.
Aku berhasil.”

Mrs. Rose tertawa. 
“Ya Moi, kamu bisa kan? Tidak sulit kan?”

“Berhasil..wow..
berhasil! 
Terima kasih, Mrs. Rose.” aku masih berteriak kegirangan, 
seolah tidak percaya aku punya kemampuan baru lagi, menggerakkan benda dengan kekuatan pikiran.

“Kemampuanku juga masih terbatas, Moi. 
Kira-kira baru 2-3 kg yang bisa aku gerakkin.”

“Dicoba yuk Mrs. Rose.” ujarku, aku juga berpikir antara iseng, ingin tahu 
dan timbul hasrat memotivasi Mrs. Rose.

Aku pergi keluar, 
ke arah ruang olahraga, 
ada dua prajurit sedang berolahraga di tempat itu juga.
Para prajurit itu bermandi keringat, nampak dari kaos yang basah dan tubuh yang mengkilat.

Aku mencari lempengan angkat besi seberat 5 kg, setelah ketemu, aku mulai mengangkatnya.
“Moi pinjam dulu ya pak, untuk keperluan penelitian dengan Mrs. Rose.” 
Aku meminta izin pada dua prajurit yang melihatku.

“Perlu saya bantu Miss” jawab salah satu prajurit.
“Oh tidak usah, terimakasih.”
jawabku sambil menggotong lempengan besi seberat 5kg ke ruang pemeriksaan.

Aku masuk dan meletakkan lempengan besi tersebut di atas meja, 
di hadapan Mrs. Rose. 
Kulihat wajah Mrs. Rose nampak melongo saat melihat besi itu.
“Jiayooo, Anda bisaa!”

“Gilee Moi, ini 5kg…
artinya dua kali lipat kemampuanku.” 
kata Mrs. Rose sambil melototi besi yang ku bawa.

“Ayolah Mrs. Rose 
buatlah pencapaian 
yang terbaik hari ini, 
Moi saja bisa sesudah diajari master psikokinesis yang cantik.” puji diriku.

Mrs. Rose berdiri mematung kemudian tertawa, 
lalu wajahnya berubah serius mulai berkonsentrasi.

“Buat pencapaian 
lebih tinggi, 
pasti bisa,
pasti bisa.” supportku.

“Kemampuan meningkat, obyek ini ringan. 
Ringan bagaikan bulu. 
Bisa, pasti bisa gerak..
ringan seperti batu baterai tadi, 
ringan melayang, 
bisa terbang..
terbang….”

Lempengan besi bulat itu bergerak sedikit ke atas. Kemudian,…

“Jiaaaa….!!” 
Tiba-tiba Mrs. Rose menjerit, matanya berubah menjadi tajam penuh konsentrasi.

Besi itu mendadak melayang naik setinggi kepala kami, terlempar di depan kami, 
lalu kemudian jatuh ke bawah membentur lantai dan pecah.
Suara dentuman lumayan keras terdengar saat besi tersebut menabrak tembok.

Kami saling berpandangan.

Aku bertepuk tangan.“Terbang beneran. 
Jauh banget, keren bangeet Mrs. Rose.”

“Wah pecah, 
padahal barang inventaris gym,“ Mrs. Rose membungkuk. 
“Potong gajimu ya, Moi.”

“Lho, katanya kepingin pecah rekor, 
sekarang pecah beneran kan? 
Rekor pecah, 
kok malah aku yang di suruh tanggung jawab? 
Tadi Mrs. Rose kurang kendali sih, 
kan lumayan seperti UFO melayang-layang, 
tidak terlempar, 
lalu akhirnya jadi pecah deh.”

“Mustinya tadi di videoin trus upload di Youtube ya. 
Biar banyak yang ngelike, haha…” 
Mrs. Rose tertawa lepas.

“Lain kali pakai boneka Spongebob saja, 
dijamin tidak mungkin pecah, deh.” gurauku.

Kemudian kami membereskan pecahan besi di lantai bersama.
Dua orang prajurit yang ada di ruang olahraga datang, mereka kelihatan terkejut mendengar suara yang keras dari ruang pemeriksaan.
“Ada apa Mrs. Rose?” 
tanya mereka dengan wajah terlongong-longong.

“Oh, maaf prajurit, 
ini besinya jatuh dan patah, minggu depan aku ganti, 
biar dikirim dari ibukota.” sahut Mrs. Rose sambil menunjuk lempengan besi tersebut.
Prajurit mengambil pecahan besi dan membawanya keluar.

“Oke, beres. 
Lantai sudah bersih, 
kita bisa minta ke Leman sekarang. 
Aku hubungi Dragono dulu.” kata Mrs. Rose.

Mrs. Rose kemudian menekan dua nomor pada pesawat interkom di dinding, memberitahu bahwa kami akan observasi ke obyek Leman.

Obyek?Di dalam hatiku aku mengeluh, 
Leman atau siapapun disini hanya dianggap sebagai obyek, 
bukan manusia.

“Yuk, kita ke Leman sekarang. 
Kita akan ketemu Dragono dan Codi disana.” 
Ujar Mrs. Rose.

Kami melangkah dengan riang bersisian, 
menuju penjara yang terletak di bangunan paling belakang.
Setelah melewati penjagaan tengah dan penjagaan belakang kami melewati sel Henry.

Kulihat Henry bergegas bangkit dari duduknya dan menjulurkan tangannya keluar sel.
Tangannya menggapai-gapai seolah ingin menyentuh badanku.

”Hei, sweet heart..
mampir dong, mampir,” 
panggilnya merajuk.

“Hai Henry, 
kami buru-buru, maaf ya,” sahut Mrs. Rose.

Pandangan Henry beradu pandang denganku. 
Aku tersenyum sopan dan menganggukkan kepalaku padanya. 
Henry tersenyum manis sekali padaku.

Ya Tuhan, 
mengapa cowok seganteng itu ada di tempat yang mengerikan seperti ini.
Oh Henry yang malang.

“Tega banget sih, 
kok aku cuma dilalui?” suara telepati Henry kembali masuk kepalaku.

“Sekarang kami mau ke tempat Leman. 
Kabarnya dia setipe Vicko ya? 
Aku sebenernya gemetaran sekali nih.” 
aku membalas telepatinya.

“Menurutku kamu sebagai psikolog keren kok.Wajahmu cantik tapi pemberani.
Menurutku Leman tidak ganas, 
hanya sering hilang ingatan, pesanku tetap berhati-hati dengan Leman.”

“Iya, Hen. Trims.”

“Sukses ya untuk Lemannya.”

“Sip, thanks my friend,” sahutku bertelepati dengan Henry.

Aku dan Mrs. Rose berjalan ke arah sel dimana Leman dikurung, 
di depan sel Leman nampak si raksasa gundul Dragono beserta seorang prajurit di sampingnya, 
keduanya bersenjatakan tongkat tonfa berwarna hitam.
Menyeramkan.

Chapter 9 Rado, Sang Elektrokinesis

Aku dan Mrs. Rose berjalan menunduk meninggalkan kamar Risty, 

kami berjalan ke arah ruang makan, untuk makan siang.

Terbayang di pikiranku sesudah makan siang kami akan menjumpai Rado. Obyek observasi kami yang ketiga hari ini. 

Kami berdua sama-sama tak bernafsu untuk membuka percakapan, 

sesudah kejadian di kamar Risty dan Angel.

Dragono berdiri di depan ruang makan, beberapa langkah di depan kami seolah ia sedang

menunggu kedatangan kami. 

“Mrs. Rose, 

seperti sebelumnya, 

dan ini peraturannya.

Tuan Jonah tidak memperbolehkan Anda 

beserta bocah ini, 

bertemu dengan Rado tanpa pengawalan. 

Kalian bisa bertemu di ruang pemeriksaan satu jam lagi, sementara Rado akan kami siapkan.”

“Oke, Dragono, 

siapkan sebaik mungkin, trims,” ujar Mrs. Rose datar.

Satu jam lagi aku dan Mrs. Rose baru bisa bertemu dengan Rado. 

Jadi kami berdua duduk di ruang makan, 

menghabiskan santap makan sambil menunggu waktunya tiba.

“Moi, apa kamu menyesal telah menerima pekerjaan dari kami?”Mrs. Rose membuka percakapan.

“Mmm…tidak juga sih. 

Disini aku dapat pengalaman yang benar-benar wow,

yang…emm…

orang lain mungkin tak kan pernah mengalaminya. Sekaligus…yah, 

aku juga ketakutan disini. Ada tamu-tamu yang aneh, sementara Tuan Jonah, 

pak Iskandar… adalah sosok yang menakutkanku.”

“Tapi, sekaligus juga ada Henry….ya kan Moi?” 

aku tersenyum mendengar gurauan Mrs. Rose. 

“Iya, Henry. 

Si ganteng yang jago bertelepati, 

tetapi ingat lho Mrs. Rose, aku selaku sarjana psikologi tidak boleh terlibat hubungan yang tidak professional dengan klienku.”

“Hahaha,lupakan saja ikrar akademismu, 

kadang kesempatan tidak datang dua kali, 

hatimu terlanjur beku nanti. 

Seperti bekunya gerbang Chimera. 

Penuhi hatimu dengan cinta Moi, dia bisa memberikan warna dan kehangatan di tempat yang beku ini.” 

tutur Mrs. Rose seperti berfilsafat.

“Oiya Moi, 

apakah kamu sudah bisa bertelepati pikiran dengannya?”

Aku sudah hendak membuka mulutku menjawab jujur, namun kemudian pandanganku bertumpu pada dinding dan nampak teralis baja yang kuat di ruang makan tersebut. 

Cara bertanya dan mencari informasi Mrs. Rose, membuat aku ragu. 

Apakah aku harus separanoid ini dengan mencurigai… Mrs. Rose?

“Henry tidak pernah bicara lagi denganku sejak kunjungan kita di sel, 

Mrs. Rose. 

Lalu…apakah Mrs. Rose bisa bertelepati dengannya?” aku menjawab sembari bertanya.

“Tidak Moi. 

Henry tidak pernah main telepati-telepatian denganku. Kupikir karena kamu manis, Henry akan mencoba bertelepati denganmu dan menggodamu.” jawab Mrs. Rose sambil menatap ke bola mataku.

Aku memejamkan mataku. Saat ini aku hanya percaya pada Henry, 

teruntuk Mrs. Rose, 

aku belum bisa mempercayai dia sepenuh hatiku, 

karena tak pernah mendengar Mrs. Rose mengeluh tentang tempat ini. 

Sebaliknya yang aku lihat, wanita disebelahku ini selalu tertawa, bergurau, berinteraksi secara positif dengan Dragono, 

Tuan Jonah, dan Mrs. Rose sangat disegani para prajurit di sini. 

Walau tidak menguntungkan bagiku untuk mencurigainya, namun mempercayainya sepenuh hatiku, 

sebaiknya tidak kulakukan, aku harus diplomatis kepadanya. 

Bersikap seolah-olah mempercayainya sembari mengorek keterangan, pengetahuan darinya.

“Berhati-hatilah dengan Rado ini Moi, 

dia sanggup menjadikanmu barbekyu dengan kekuatan elektrokinesisnya, 

jaga jarak kepadanya.

Di kalangan prajurit menjuluki dirinya sebagai ular derik, selain berbahaya, saat Rado bicara, 

besar tekanannya pada huruf s, 

jadi mirip desisan bila dia mengucapkan huruf s.” 

jelas Mrs. Rose membuat diriku was-was dan keheranan.

Aku terdiam, siang hari ini terasa amat melelahkan bagiku, bertemu, mengamati  Risty dan Angel Curly serta kejadian yang terjadi pagi tadi, membuat guncangan dalam batinku. 

Belum lagi info mengenai Rado yang dijuluki ular derik oleh para prajurit, 

bahkan sebelum aku bertemu dengan Rado, sudah membuatku agak kuatir.

Aku menyandarkan diriku di tembok, kubiarkan mataku terpejam, terbang ke alam mimpi sejenak dan baru terbangun kala Mrs. Rose mengguncang tubuhku beberapa saat kemudian.Waktunya untuk mengobservasi Rado. 

***

Aku dan Mrs. Rose berjalan ke arah ruang pemeriksaan, letaknya di area depan, 

dekat dengan , sebelah ruang fitness.

Terlihat sekilas di ruang fitness yang pintunya terbuka, beberapa prajurit bertelanjang dada sedang berolahraga disana.

Saat masuk ke ruang pemeriksaan, ternyata terdiri dua ruang, ruang pemeriksaan utama yang ada meja dan kursi untuk menginterogasi, 

dengan lampu besar berkap di atasnya, 

dari situ aku memahami fungsi lampu besar yang menyorot wajah yang diinterogasi dapat terbaca dengan mudah mikro ekspresinya.

Satu ruangan lagi adalah ruangan pengamat terletak di samping ruang pemeriksaan, 

ada kaca hitam yang berbatasan langsung dengan ruang pemeriksaan, 

kaca tersebut berguna untuk melihat ruang pemeriksaan.

Ruang pengamat hanya mempunyai sedikit penerangan karena lampunya temaram, 

tetapi di situ ada banyak audio, mik yang nampaknya terhubung dengan ruang pemeriksaan.

Saat kami sampai di situ, kami di bawa ke ruang pengamat, 

di mana Tuan Jonah berserta Dragono telah menunggu kami.

“Kamu harus dipasangi mikrophone, bocah. 

Kami tidak mau menanggung resiko kamu mati disini. 

Jadi menurut sajalah kau,” ujar Dragono tegas.

Aku patuh kala mikrophone itu dipasang di tubuhku_tepatnya di rambut bagian belakang kepalaku.

“Ingat bocah jangan mencoba bersalaman dengan Rado, 

dia bisa menyetrum dirimu dengan kemampuan elektrokinesisnya, 

kau bisa cacat bahkan tewas bila bersentuhan dengan dia, dan jaga jarak, 

paham kau?” tegas Dragono kepadaku.

Aku terkesiap, sesadis itukah Rado? 

Bukankah aku baru dikenalnya?

Tetapi untuk keamananku tidak ada kalimat lain selain mematuhi perintah Dragono.

“Ya pak Dragono, saya berjanji bersikap hati-hati dengan Rado.”

“Ingat, jangan sampai ada kontak fisik!”Tegas Dragono sambil merapikan mikrophone yang telah tersemat di rambutku.

Dari ruang pengamat ini aku bisa melihat dengan jelas Rado yang sedang duduk 

di apit dua prajurit di ruang pemeriksaan lewat kaca pemisah. 

Saat aku dan Mrs. Rose berjalan ke arah ruang pemeriksaan aku menyadari kaca tersebut dari dalam ruang pengamat, 

tak bisa dilihat dalamnya, dari ruang pemeriksaan, namun sebaliknya siapa yang ada di ruang pengamat bisa melihat dengan jelas ke ruang pemeriksaan. 

Dibalik kaca tebal itulah Tuan Jonah dan Dragono berdiri mengawasi pertemuan kami.

Aku melangkah mendekati Rado duduk, 

aku dan Mrs. Rose duduk sejajar sementara Rado duduk di depan kami dan ada meja kayu besar di depanku, 

yang memberi jarak.

“Siang Rado, kuperkenalkan, ini Moira. 

Dia fresh graduate psikologi,” ucap Mrs. Rose membuka percakapan.

“Hai Rado, aku Moira.” 

Aku tersenyum padanya. 

“Aku ingin berteman denganmu Rado. 

Semoga Rado mendapat manfaat dengan mau berteman sama aku.”

Rado menatapku sinis, tangannya nampak terikat di belakang tempat duduknya, kaos singletnya kumal, sehingga tulang bahunya terlihat menonjol,

sementara dua prajurit berdiri dengan sikap siaga, tongkat tonfa ada di tangan prajurit tersebut.

“Di dunia ini tidak ada yang namanya teman, 

apalagi sahabat.

Kau tidak pernah tahu rasanya sakit hati, 

saat pengkhianatan muncul.” Rado menjawab sambutan percakapanku.

Ternyata benar, 

suara Rado berbicara mirip ular yang mendesis, penekanan katanya kuat, terutama saat dia mengucapkan huruf ‘s’ , sementara kedua matanya melihatku tajam.

Aku mencondongkan tubuhku ke arah Rado, “Mengapa? 

Kamu tidak punya teman?Cobalah untuk berteman denganku.

Aku berusaha untuk menjadi sahabatmu yang baik, 

tanpa adanya kepentingan timbal balik, 

aku tulus Rado.”

Mendadak Rado tertawa lepas terbahak-bahak. “Hahaha…

dalam hidupku kata 

dan pengalaman berteman membuatku hidupku makin sulit dan susah. 

Hahaha

Ee..siapa namamu tadi?”

“Moi, Moira.” jawabku.

“Dan kamu datang ke sini mencoba menawarkan pertemanan denganku? Huh… kau tak tahu apa yang telah terjadi pada diriku di tempat ini.

Kau tidak tahu peristiwa menyakitkan apa yang telah kulewati, 

tapi tiba-tiba kau muncul menawariku pertemanan? 

Maaf saja, aku tidak butuh itu.” ujar Rado sambil kepalanya melengos.

“Rado, bila masa lalumu tidak mengenakkan dan kelam, 

apa yang harus kau lakukan ialah berdamai dengan diri sendiri dan melakukan pengampunan.” kataku mencoba menggapai hati Rado.

Aku melihat sosok fisik Rado yang unik, 

rambut di atas kepalanya botak, 

sementara rambutnya sedikit gimbal tumbuh di bagian samping, 

mata Rado berbentuk oval memanjang tanpa ada alis dan bulu mata.

Aku amati bibirnya cepat mengatup saat bicara, namun dibalik bibirnya,

aku sudah bisa mengamati bahwa giginya kecil-kecil renggang kehitaman, mungkin dengan cara berbicara mendesis, membuat giginya tidak sering terlihat.

Di lengan kanannya ada gambar tato bunga mawar.

Wajah Rado terlihat sangat jelas bagiku, 

karena tertimpa lampu sorot besar yang ada di atasnya, aku menyadari dia kesulitan melihat wajahku karena lampu di atasku dimatikan, aku menyadari secara psikologis cara berkomunikasi seperti ini, mengintimidasi dia.

Aku lalu berdiri dan memandang kaca pemisah di ruang pengamat. 

“Pak Dragono mohon lampu sorot di atas Rado di matikan, dan mohon lampu penerangan ruang ini yang di nyalakan.” 

Tak berapa lama suasana penerangan yang kukehendaki terjadi. 

Kulihat raut wajah Rado berubah, 

dari nampak tegang ke tenang, 

posisi badannya mundur bersandar, 

Rado mengerjap-ngerjapkan mata sesaat kemudian ia memandangku dengan bola mata membesar.

“Hmm… nampaknya kau juga punya otoritas di sini Moi. 

Dan kau ternyata cukup cantik.” ujar Rado, di bibirnya tersungging senyuman.

“Terimakasih Rado, 

kau bisa mempercayaiku,jangan segan untuk meminta tolong kepadaku, 

ungkapkan saja perasaanmu kepadaku. 

Aku pasti berusaha menolongmu.” kataku sambil tersenyum kepadanya.

Rado tertawa, 

“Ucapanmu manis sekali, Moi. 

Eh, apa kamu tidak pernah tahu dan merasakan kesakitan saat berteman yang dibalas dengan khianat?”

“Menyakitkan memang, 

tapi semua adalah proses kehidupan Rado, 

kadang kesakitan membuat kita belajar, 

kadang terluka itu baik bagi kita, 

supaya lebih dewasa, 

jangan biarkan kesakitan berlama-lama di pikiranmu.” tak terasa aku berani mengungkapkan pendapatku kepada Rado.

Mrs. Rose yang duduk di sebelahku memberikan jempol tangannya ke pahaku, tanda Mrs. Rose suka akan kalimatku, 

otomatis isyarat itu tidak diketahui Rado karena di bawah meja.

“Moi, Moi,

ketahuilah kau hanya dimanfaatkan saja di sini, seperti aku dan semua penghuni penjara terkutuk ini. 

Sedemikian mudahnya kau bicara, 

tetapi aku menikmati kesakitan ku, 

itu membuatku punya motivasi untuk hidup, sampai bisa kubalaskan sakit hatiku.” desis Rado tidak mau kalah argumen denganku.

Tiba-tiba mata Rado melirik ke kanan dan kiri, 

di belakangnya dua prajurit berjaga yaitu Rupert dan Cody, namun dua prajurit tersebut nampak biasa saja, karena Rado dalam kondisi terikat.qq

 “Sudahlah, kau tak usah mencoba menasihati ku, hidupku sudah tidak enak, apa yang kau inginkan dariku? 

Supaya aku dihajar prajurit?Aku tak butuh simpatimu.” nada suara Rado tiba-tiba meninggi.

Aku jadi teringat, hari pertama aku ada di pulau, memang terdengar suara jeritan kesakitan, 

suara Rado yang sedang didisiplinkan oleh Dragono beserta prajurit, nampak sekali bahwa Rado dendam atas perlakuan tersebut.

“Rado, ketahuilah Moi disini ditugaskan untuk mendatamu, dan semua datamu akan di evaluasi oleh tim di ibukota, 

jadi bersikap baiklah kepadanya, 

siapa tahu menjadi pertimbangan untuk pengurangan hukumanmu.” Jelas Mrs. Rose mencoba menengahi.

“Mrs. Rose, 

pengurangan hukuman yang mana, 

status hukum ku disini saja tidak jelas.” bantah Rado sambil matanya memandang tajam Mrs. Rose.

“Okay, paling tidak para prajurit tidak akan mendisiplinkan kamu lagi.” jawab Mrs. Rose tenang.

“Mrs. Rose ketahuilah para prajurit di sini semuanya yang harus didisiplinkan, bukan aku.” tukas Rado.

“Oke Rado, Moira mohon isi kuesioner ini, demi memperlancar pekerjaan Moi ya. 

Pak Rupert mohon ikatan Rado dilepaskan dulu.” kataku mencoba mengakhiri perdebatan yang tidak mengenakkan, 

sembari kusodorkan berkas tes kearah Rado.

Rado melirik ke samping saat Prajurit Rupert dengan gerak cepat melepas ikatan Rado dengan cutter bergagang plastik. 

Terlihat para prajurit menjaga jarak dengan Rado, mungkin takut ada aliran listrik di tubuh Rado kah ?

Prajurit Cody menempelkan tongkat tonfa ke kepala Rado sambil berkata, 

“Kalau kepalamu cukup keras untuk menerima gebukan tongkat ini, 

silahkan berulah Rado.”

Lirikan mata Rado berubah, matanya mulai melihat berkas di depannya, 

perlahan tangannya menggapai dan mulai mengerjakan tes.

“Maafkan aku Rado, 

kerjakan tes ini dengan spontan, 

tidak ada benar atau salah, yang santai saja ya.” kataku mencoba mencairkan ketegangan.

“Hhh… Kaubelum merasakan sakit tulangmu saat tonfa mengenai badanmu Moi, 

semalam kau tidak bakalan bisa tidur.” jawab Rado seolah berbisik.

Aku mengangguk, 

lidahku terasa kelu, 

aku merasa tidak berdaya, dominasi kekuatan fisik para prajurit pria memang sangat kuat di pulau ini, 

apalagi Tuan Jonah sebagai pemimpin yang otoriter dan kejam di sini.

“Rupert dan Cody tolong jangan gunakan kekerasan, saat Rado kooperatif, 

kalian bisa kena peringatan dari atasan Tuan Jonah, berkas tes yang diisi Rado segera dikirim dalam satu dua hari ini.” Mrs. Rose angkat bicara, 

membuat dua prajurit itu saling berpandangan, 

lalu mundur selangkah, tetapi tetap dalam posisi siaga.

Rado mulai serius mengerjakan tes yang kuberikan, 

dalam waktu sekitar dua jam dia mengangsurkan berkas itu kepadaku.

“Terimakasih Rado, 

atas kesediaannya serta kerjasamanya siang ini. ” kataku.

“Hahha…

aku jadi kepingin tertawa. Tadi kamu bilang dengan nada lembut merayu, 

bahwa kita berteman. 

Bahwa diantara hubungan pertemanan kita, 

kamu tidak mengharap imbal balik. 

Hahaha, 

tiba-tiba aku diminta mengisi beginian.

Jadi pertemananmu tidak tulus kan, Moira? 

Kamu manis padaku, 

karena kamu berharap pekerjaanmu lancar, 

dan daftar isianmu penuh terisi, kan?

Kau dapat upahmu, 

kau suruh-suruh aku repot mengerjakan tes.

Hhh… aku harap jangan sering merepotkanku Moi, kecuali kau mau memberikanku hadiah.”

respon Rado panjang lebar.

Aku terhenyak, 

ternyata Rado juga impulsif, dari jawabannya tersirat. 

Satu-dua kalimat terucap, kondisi psikologisnya cepat berubah,  

awalnya dia membuka dengan tertawa-tawa, 

tetapi di ujung percakapan, nafasnya panjang dibuang, menandakan dirinya kesal.

Aku berusaha tetap tenang “Hadiah apa yang kau harapkan Rado, 

aku orang baru di sini, 

yang bisa kutawarkan ialah persahabatan yang tulus, Rado boleh mengutarakan isi hati padaku.”

“Nonsense! 

Omong kosong!  

Dunia ini selalu penuh syarat.  Dalam semua hal akan selalu ada imbal baliknya.  

Seperti kamu ada disini, 

aku yakin karena bayaran upahmu dari Chimera besar. Kalau kamu tidak digaji, 

tidak dikasih uang sama Tuan Jonah!!

Mana sudi kamu berteman denganku. 

Puih!” 

Rado meludah ke lantai.

Aku melirihkan suaraku, 

“Rado, 

aku bukan orangnya Tuan Jonah, 

beliau tidak menggajiku, 

aku digaji dari pemerintah, sekarang ini masa trainingku.

Dan nantinya kita tidak tahu kelanjutannya tentang keberadaan penghuni pulau ini, saat pergantian pemerintahan. 

Apapun bisa terjadi di pulau ini, 

karena tidak adanya kepastian hukum di sini. 

Aku ditugaskan untuk mendata semua penghuni pulau khususnya orang-orang yang berbakat.Bahkan pekerjaankupun juga di evaluasi. 

Kami butuh kerjasamamu. Kami yakin data yang baik, kerjasama yang baik akan mengubah nasibmu.  Statusmu, keringanan hukuman bisa dan akan diperjuangkan, 

tapi…kami harap kamu mau bekerjasama sama aku.

Lagipula, serius, Rado ingin hadiah apa?”

“Saat ini aku ingin memiliki syal orange yang kamu pakai itu. 

Rasanya tentu hangat bila di leherku, ada syal itu. 

Apa kamu keberatan Moi?” ujar Rado sambil tersenyum tipis, matanya memandang syal yang ada di leherku.

Aduh, 

aku berpikir syal orangeku yang satunya telah aku berikan untuk Angel. 

Kalau yang ini aku berikan juga…

aku sudah tidak punya syal lagi.

“Syal ini Mamaku yang merajutnya untukku. 

Hanya tinggal satu syal ini yang aku punya.”

“Mamamu bisa merajut lagi untukmu lain waktu. 

Dan toh, gajimu besar. 

Kamu bisa membeli syal lain di luar. 

Kamu orang bebas, beda dengan aku.” 

Srrt, aku menarik syal dari leherku, 

tiba-tiba prajurit Rupert mendatangiku sambil berkata, 

“Nona Moira ingin memberikan syal ini kepada dia? 

Sini, biar kuberikan.” Kuberikan syal itu pada prajurit Rupert, 

lalu melalui ujung tongkat tonfa, syal itu di sodorkan ke Rado.

Rado menyambut syal itu, lalu mengalungkan ke lehernya. 

Kulihat Rado tertawa gembira saat mengibaskan ujung syal itu ke hidungnya.

“Wangi…hahaha…bau cewek..

khas cewek..hahaha..wangi, wangi.”

Aku tersenyum melihatnya, “Aku berharap kita berteman baik selamanya Rado”

“Pertemananku tulus, Moira. Suatu saat aku akan membalas apa yang pernah aku minta darimu. 

Terimakasih untuk syal orangenya, haha…

Ah ya, antara aku dan kamu sebenarnya tidak ada hal yang bersifat pribadi, 

tetapi ketahuilah, Moira,  kamu ada di tempat dan di waktu yang salah.”

Apa artinya, Rado?” tanyaku segera.

“Waktu yang akan bicara, temanku Moira. 

Waktu yang akan selalu bicara, Moira”

“Oke, sudah cukup. 

Cody dan Rupert ikat lagi dia, dan bawa keluar ular derik itu.”

tiba-tiba suara Dragono berkumandang di ruangan pemeriksaan, 

oh rupanya Dragono menggunakan mikropon di ruangan pengamat.

Rado mengangkat tangan kanannya, menjentikan jempol kanan, 

klik..

tiba-tiba lampu ruangan pemeriksaan mati. 

Suara Rado mendesis.“Suatu hari aku akan berurusan dengan dua orang yang ada di balik kaca itu.”

Dua orang dibalik kaca? 

Itu Tuan Jonah dan Dragono.

Dua orang petinggi prajurit yang sedang berdiri itu, nampak terlihat dari balik kaca ruang pengamat, karena sekarang lampu di ruang pengamat lebih terang dibanding ruang pemeriksaan yang mati lampu.

Klik! 

terdengar jentikan jempol Rado…

lampu ruang pemeriksaan, tiba-tiba menyala lagi.  

“Hmmm kau pamer kehebatan ya,” suara Tuan Jonah melalui mik. 

“Dragono kau bantu kawal dia untuk kembali ke selnya.”

Dragono masuk ke ruang pemeriksaan, 

sorot matanya tajam menatap Rado yang duduk tersenyum-senyum.

Mrs. Rose dan aku saling bertukar pandang. 

Aku takjub, kemampuan elektrokinesis Rado itu ternyata benar-benar hebat. 

Prajurit Rupert menyuruh tangan Rado ke belakang dan mengikatnya dengan kabel plastik yang ditarik, sementara prajurit Cody mengangkat tongkat tonfanya di sandarkan ke bahunya, 

tanda berjaga-jaga, lalu berkata,

“Hei ular derik, ayo kembali ke kamarmu.”

“Nikmatilah dunia ini yang hanya sementara…,” 

Rado bersiul dan bernyanyi. 

Wajahnya seolah mengejek saat mulutnya monyong bersiul ke arah kaca pengamat, 

dimana Tuan Jonah berada.

Tinggal aku dan Mrs. Rose di ruang pemeriksaan.

“Hmm…

orang yang berkemampuan lebih dengan masalah psikologi yang dalam. Kata-katanya mengandung ancaman. 

Untuk memastikannya aku nilai dulu hasil testnya, Mrs. Rose.

Aku balik dulu ke kamar.Mau merekap hasil test-test ini.”

“Ya, Moi. 

Kita ketemu saat jam makan malam. 

Aku jemput ya.Besok kita mulai lagi observasi.”

“Ya, Mrs. Rose. 

Sampai nanti. 

Trims.”Aku keluar ruangan mendahului Mrs. Rose. 

Aku mencopot dan mengembalikan mikrophone kepada Tuan Jonah yang masih duduk di ruang pengamat.

“Terimakasih Tuan Jonah bersedia mengawal Moira.” kataku sambil mencoba tersenyum.

Tuan Jonah menerima mikrophone tersebut, wajahnya tetap datar selama kuajak bicara.

Hmm…benar-benar dingin.

Aku keluar dan berjalan menuju kamarku, 

aku merasa energiku benar-benar habis hari ini. 

Saat berjalan, 

aku membayangkan mandi dengan air hangat, lalu tidur sampai jam makan malam rasanya tentu nikmat sekali.

***

Berbeda dengan rencanaku semula, setelah mandi dengan air hangat, 

aku tetap tak bisa tidur. 

Mataku menatap langit-langit kamar. 

Pikiranku berputar-putar.Akhirnya aku bangkit dan meraih berkas-berkasku.  Selain Vicko yang puluhan kali di adu oleh Tuan Jonah sebagai petarung, 

ternyata Radopun terlihat membenci Tuan Jonah, kemungkinan perlakuan keras para prajurit membuat Rado membencinya.

“Hmm….hasil test MMPI-2 yang dilakukan di masa lalu, nyaris sama dengan kondisi yang sekarang, 

kecuali yang dinyatakan satu orang ini. 

Yang satu ini awal test, kondisi kejiwaan normal. Test kedua saat sudah aktif, agak menyimpang testnya, sebelum berurusan dengan hukum.

Test terakhir positif dinyatakan menyimpang.” aku bergumam sendiri, 

saat aku menemukan sebuah fakta yang penting tentang seseorang yang berbahaya di Chimera.

“Moira…lagi sibuk ya?” 

Henry menyapaku lewat telepatinya.

“Yups, kamu bisa mengerti kan apa yang lagi aku kerjakan lewat pikiranku sekarang, Hen.” Sahutku.

“Kapan kamu akan mengunjungiku lagi?”

“Aku belum tahu. 

Besok jadwalku untuk mengobservasi Mrs. Rose, Leman serta Vicko.”

Aku meregangkan kedua kananku yang pegal karena dari tadi kedua sikuku bertumpu di atas meja, berkonsentrasi melihat berkas-berkas test.

“Moi..”

“Ya, Hen?”

“Terima kasih karena mau mempercayaiku. 

Dengan adanya kamu disini, membuat aku lebih kuat untuk bertahan.”

“Sama-sama. 

Sehabis makan malam nanti, aku mau ke kamar Angel.Aku janji akan tidur disana malam ini.”

“Angel? Ooh si Curly ya, benar, kasihan anak itu.”

“Angel sama sekali bukan anak-anak. 

Usianya hampir sama dengan kita.”

“Sama bagaimana? 

Hei, aku hampir 30 tahun.Kamu pasti jauh dibawahku.”

“Iya, Hen. 

Aku baru 17 tahun.” 

Tawa Henry meledak. 

“17 tahun lewat yak…lewatnya banyak..”

“Angel mengalami empati psikis saat dia menjelajah masa lalu seseorang, 

apa yang dialami orang itu, serasa dia alami juga.

Yang mengerikan kejadian kemarin saat Tuan Jonah memaksa Angel masuk ke masa lalu orang yang sedang mengalami kematian, 

tubuh Angel sampai terbanting-banting di tanah.”

“Wah, kasihan benar si Angel ya Moi.”

“Sudah ya Hen, 

energiku sudah habis, bertelepati denganmu membuat badanku gemetaran, 

aku makan dulu ya, 

sampai ketemu besok.”

“Ok, sweet heart, 

sampai jumpa, 

muuaach.” suara Henry terdengar menggemaskan di pikiranku.

Aku membereskan berkas pekerjaanku, 

dan keluar kamar menuju kamar Mrs. Rose untuk mengajak dia makan malam.

Malam itu aku mendatangi kamar  Angel, 

aku mengetuk pintu kamarnya.

Aku membuka pintunya yang selalu tidak terkunci, 

seperti biasa Angel sedang duduk di lantai, 

wajahnya nampak termenung.

“Hi Angel, 

bagaimana kabarmu, 

Moi ingin menemanimu istirahat malam ini.”

Aku membimbing Angel naik ke tempat tidur, 

sesungging senyum tipis nampak di wajahnya, nampaknya Angel bergembira dengan kedatanganku.

Malam itu aku juga sudah kelelahan, 

melihat kasur seperti ingin cepat melebur dengannya. 

Dekat dengan Angel, pikiranku bergejolak ingin menanyakan pertanyaan khusus untuk Angel, 

tentang keberadaan ayahku di masa lalu, 

namun melihat resiko yang bakal dihadapi Angel aku urungkan.

Biarlah aku dan Angel bersahabat dengan tulus dulu, 

apalagi melihat senyumannya, 

aku tak mau melukai persahabatan yang baru ku bangun ini.

Malam itu kamipun terlelap bersama.

GLOSSARY

Tes MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) adalah tes psikometri yang digunakan untuk mengukur kondisi kejiwaan orang dewasa di dunia . 

Tujuan dari tes ini adalah memberikan gambaran tentang dimensi-dimensi kepribadian dan psikopatologi yang penting dalam klinik psikiatrik secara akurat. 

MMPI merupakan hasil kolaborasi yang dikembangkan pada tahun 1930 dari seorang psikolog dan psikiater bernama Starke R Hathaway PhD dan Dr JC McKinley di Universitas Minnesota. 

Untuk pertama kali MMPI direvisi pada tahun 1989 menjadi MMPI-2.

Chapter 8 Risty dan Curly, Para Penjelajah Waktu

Pagi itu aku sudah menunggu Mrs. Rose di depan kamar, 

duduk di tangga pintu kamarku, 

kala wanita yang menarik itu menjemputku seperti biasa.

“Pagi, Moi,“ sapanya.

“Pagi, Mrs. Rose.”

Aku mencoba tersenyum, terasa beban berat sangat menghantuiku, 

aku bahkan berpikir bahwa Mrs. Rose menyimpan banyak hal, 

dan kepercayaanku terombang-ambing kepadanya.

Namun, 

apabila aku tidak mempercayainya, 

kepada siapakah aku harus percaya?

Mendata Risty, 

seorang pre-cognition, pelihat masa depan, seakurat apakah yang di lihatnya di masa depan?

Kemudian, 

mendata Angel alias Curly seorang clairvoyant, 

pelihat masa lalu.

Aku pikir mereka ini penjelajah waktu.

Sangat menarik dan menantang rasa ingin tahuku.

“Nah, aku suka senyummu, cantik.

Pasti semalam mimpinya indah ya?” gurau Mrs. Rose membuyarkan pikiranku.

“Oh…

semalam aku malah tidak mimpi apa-apa. 

Semalam aku sempat merenung. 

Segala yang terjadi di tempat ini di luar kendali kita. 

Yang bisa kita lakukan, adalah melakukan hal terbaik tugas-tugas kita. 

Harapanku ialah enam bulan lagi, 

aku bisa pulang ke rumah, berkumpul kembali dengan keluargaku.

Benar begitu, Mrs. Rose?”

Klik!  

Mrs. Rose menjentikkan jarinya. 

“Benar sekali. 

Ayo, kita sarapan dulu.”  

Mrs. Rose berjalan sambil menggandengku.

Mrs. Rose tidak mengetahui, bahwa  di satu sisi, semangatku timbul saat menjalani hari ini, karena semalam aku mendapat sekutu baru, yaitu Henry.

Bayangan untuk kabur segera dari tempat mengerikan ini, 

sungguh membuat semangatku bangkit. 

Aku tahu, 

aku tak akan sanggup kalau aku harus menyaksikan jatuhnya korban seperti Degardo lagi.

Nyawa insan manusia seperti tidak berharga. 

Aku juga sudah begitu muak bertatapan dengan wajah berdarah dingin Tuan Jonah beserta tindak tanduknya yang serakah, 

menghalalkan segala cara demi keuntungan diri sendiri.

“Hari ini kita kunjungi pertama kali ialah Risty, dilanjutkan ke Angel lalu Rado ya Moi.”

“Semoga tidak berat-berat masalah psikologis mereka.” kataku tercekat.

“Waah…justru makin berat, hahaha..”Mrs. Rose tertawa. 

Saat aku mengamati Mrs. Rose, di tempat ini, 

dia begitu sering tertawa lepas.

Tak ada rasa ngerikah dalam dirinya?

Tak ada rasa takutkah dalam pikirannya?

Tak ada keinginan untuk kaburkah dari tempat ini?  Apakah dia begitu yakin akan keamanan pulau ini, 

juga sangat percaya diri akan kemampuan telekinesisnya.

Lagipula tak ada…ah, 

tak adakah keluarga yang menantinyakah andai  pulang  dari Chimera suatu saat nanti?

Kami berpapasan dengan Dragono di pintu ruang makan. 

Mrs. Rose mempersilakan aku mengambil makanan duluan, sementara ia bercakap-cakap dengan Dragono.

Pria gundul tinggi besar itu, wajahnya nampak cerah dan bersuara lembut kala bercakap-cakap dengan Mrs. Rose.

Kesan keras dan garangnya hanya nampak saat mengawal Vicko beberapa hari yang lalu.

Aku berpikir, 

“Manisnya cinta. 

Jendral perang kenamaan jaman Samkok, 

Jendral Cho Cho kalah perang dikarenakan wanita. Nabi Salomo yang terkenal akan kebijakannya jatuh juga karena wanita. 

Begitu juga Dragono yang perkasa.”

“Good Morning, my friend,” sebuah suara menyelusup, membuyarkan lamunanku.

Henry! 

Aku terkejut, 

lalu mencoba memfokuskan pikiranku, 

mengirim kalimat demi kalimat ke Henry,  

sementara tanganku bergerak mengulurkan piringku ke tentara yang bertugas. 

“Sepagi ini sudah menyapaku. 

Kamu sudah sarapan, Hen?“

“Aku tidak punya nafsu makan. 

Menunya membosankan, walau setiap hari diantarkan tepat waktu oleh prajurit, yang kupikirkan ialah pergi dari tempat mengerikan ini Moi”

“Kamu mau makan enak?Kamu bisa mengajukan diri duel menggantikan Vicko, Hen.

Kalau kamu menang, dapat deh makanan enak.”

“Hah? Apa? 

Kamu jahat banget, Moi. 

Aku kira kamu temanku.Tega-teganya kamu nyuruh aku maju bertarung duel seperti itu? 

Huh, aku marah. 

Aku nggak mau berteman lagi denganmu.” 

Suara Henry terdengar ketus di pikiranku.

“Aih, begitu aja kok marah.Aku bercanda, Hen.”

Henry tidak merespon.

“Tok…tok…yuhuu, Henry… Henry..Henry..”

Akhirnya aku mendengar Henry berbicara.“Ya, Moi?”

“Makanlah sarapan pagimu.Berada di tempat seperti ini, penting lho untuk menjaga stamina tubuh kita. 

Cobalah makan makanan yang ada disini, 

nggak usah pilih-pilih.”

“Aku biasanya juga nggak pilih-pilih makanan kok.Cuma pagi ini aku sedang tidak ada nafsu makan. 

Tadi aku bangun tidur, 

ingat kamu. 

Mau makan, ingat kamu juga… mau ngapa-ngapain  ingatnya kamu terus, Moi.”

Henry ini, gombal banget.Aku tidak bisa menahan tawaku, aku tertawa lepas. Tawaku berhenti, 

saat menyadari sesuatu hal. 

Hal yang membuat seisi ruangan kantin, 

sejenak hening.

Seluruh mata orang-orang di ruang makan itu, 

ternyata tertuju padaku yang tertawa-tawa keras seorang diri.

Henry sialan!

Aku lupa kalau aku sedang bercakap-dengan dengan menggunakan telepati pikiran, 

bukan dengan mulutku. 

Pria yang mengaku sebagai ‘teman’ itu membuatku bertingkah konyol dan menanggung malu di depan orang banyak begini. 

Aku berdehem, mengumpulkan rasa percaya diriku yang buyar, 

kemudian mengangkat nampan makanku yang belum selesai kulakan, 

dan meletakkannya di meja sudut, tempat piring-piring kotor lainnya menumpuk. 

Dan aku bergegas keluar ruang makan.

Dikepalaku terdengar Henry memanggil-manggil namaku.

***

Saat ini aku dan Mrs. Rose sudah berdiri di depan kamar dimana Ariesty di rawat, kamar Ariesty atau Risty terletak di ruangan tengah, sederet dengan kamar Ronald, 

kamar Risty paling ujung arah depan. 

Saat kami masuk, 

ternyata dokter Stephan sedang melakukan cek rutinnya atas gadis itu. 

Risty nampak terbaring di tempat tidurnya, 

aku berjalan pelan-pelan ke arah dia berbaring.

“Bagaimana kabar Risty dokter Stephan?” Tanya Mrs. Rose.

“Risty dalam kondisi yang kurang baik dibanding saat ia baru datang pertama kali.Tekanan darah diatas normal, denyut jantung lebih cepat.

Suhu tubuhnya saat ini demam, 

hampir 39 celcius. Pembesaran kepala juga meningkat.  

Maksimal dalam 3 bulan ini ia harus segera di operasi, kalau tidak,  

bisa terjadi pendarahan dalam kepalanya, 

dan ia akan mati.”

“Kasihan Risty, 

semoga ia cepat stabil dan bisa segera, 

bolehkah kita berbincang-bincang di sini, terganggukah dia?”.

Dokter Stephan, 

“Tidak apa nak, 

boleh ajak bincang-bincang ringan, 

yang bisa membuatnya senang.” 

Risty kurus sekali, 

tulangnya terlihat menonjol sana-sini, 

tulang pipinya menonjol, tulang lehernya juga nampak ruas-ruas nya.

Rambutnya nampak sangat sedikit di atas kepalanya yang membesar, 

rambutnya tipis dan jarang-jarang, kemungkinan karena sering demam tinggi membuat kerontokan rambutnya . 

Suster Reina yang ramping dengan sepasang matanya yang tangkas, 

ada di samping ranjang Risty, dekat kakinya Risty,

sedang mengganti botol infus Risty.

Risty tersenyum dan mengulurkan tangannya dengan perlahan, 

“Aku tahu, suatu hari aku pasti akan berjumpa denganmu, Moira.”

Hah, aku terkejut, 

suatu hari pasti akan berjumpa denganku? 

Apakah Risty sudah melihatku di masa depan, sehingga dia mengatakan hal itu kepadaku?

Aku menyambut tangan Risty. 

Tangan gadis itu begitu kurus, nyaris tinggal tulang, dan terasa sangat ringan saat menggenggam tanganku, 

telapak tangannya yang demam terasa meninggalkan bekas hangat di telapak tanganku.

Brbbr…

Bunyi helikopter datang mendekat Chimera.

Suster Reina menarik napas, “Apa akan ada yang diadu lagi, Mrs. Rose?”

“Aku tidak tahu.”

“Itu tamuku, juga tamu Curly dari kepolisian.” 

tukas Risty membuat Mrs. Rose dan aku saling berpandangan. 

Apakah Risty menggunakan kemampuannya untuk melihat masa depan, sehingga mengetahui bahwa yang datang ialah tamu untuknya dari kepolisian? Hmm kemampuan melihat masa depannya sebelum peristiwa itu terjadi, 

memang tak diragukan lagi keakuratannya.

Mrs. Rose melongok keluar kamar, 

dia memberikan kode kepadaku untuk mengikuti langkahnya keluar dari kamar Risty, 

dari lorong pintu penjagaan depan, 

nampak sekumpulan orang datang, 

dan bunyi beberapa pasang sepatu mendekati ruang tengah dimana kamar Risty berada.

Itu Tuan Jonah dengan diiringi beberapa prajurit dan dua perwira polisi berseragam, 

salah seorangnya sosok yang tidak asing, 

pak Iskandar.

Perwira yang membawa Degardo tempo hari.

Mrs. Rose menyambut mereka, 

“Apakah Tuan Jonah dan tamu-tamu kita ini mau berjumpa Risty?”

“Aku mau ke Angel dulu, 

baru ke Risty,” 

sahut Tuan Jonah disusul pak Iskandar, 

melewati Mrs.Rose 

dan diriku yang sedang berdiri di depan pintu kamar Risty 

“Ayo, Moi. 

Kita juga ke Angel dulu. 

Aku  tinggal dulu ya Risty, nanti kita tengok lagi,” 

ujar Mrs. Rose segera mengikuti rombongan tamu tersebut, 

ternyata kamar Angel terletak di sebelah kamar Risty, 

tepat di tengah diapit kamar Risty dan kamar Ronaldo.

“Angel harus diperlakukan dengan sabar,” terdengar suara Dokter Stephan dari  kamar tengah tersebut

Aku melongok ke dalam kamar tersebut. 

Kulihat Angel alias Curly yang berambut ikal duduk di lantai, 

tubuhnya nampak kecil dikerumuni pria-pria berbadan besar dari tentara dan polisi.

“Curly, kok di duduk di lantai? Ayo, bangun, 

duduknya di tempat tidur dong,” 

ujar Mrs. Rose setelah menerobos para pria itu, 

lalu duduk bersimpuh mendekati Angel.

Angel alias Curly 

tidak bergeming, 

pandangan matanya nampak kosong menatap tembok di depannya, 

Mrs. Rose mendongakkan dagunya Angel dengan lembut untuk mengajaknya berbicara.

“Curly, kami butuh bantuanmu.” 

kata Mrs. Rose sambil menatap wajah Angel alias Curly.

“Aku takut Mrs. Rose. 

Tugas apalagi yang akan diberikan kepadaku?” terdengar suara Angel dengan lirih.

Saat itu aku beringsut maju supaya bisa memandang wajah Angel dengan jelas, Angel berkulit kecoklatan agak hitam, 

bibirnya nampak tebal, dengan rambut yang keriting kecil seperti lekat di kepalanya, pipinya chubby nampak mengkilat ditimpa sinar lampu. 

Matanya besar hitam dengan bulu mata yang lentik 

serta alis mata yang tebal.

Angel nampak duduk di lantai sambil mendekap boneka di dadanya, 

boneka yang mirip seekor kera berwarna coklat tua, bertangan dan berkaki panjang nampak berjuntai dari sela-sela dekapannya.

Pak Iskandar menyunggingkan senyum, maju ke depan, menyerahkan sebuah bungkusan besar, terbungkus kertas kado serta pita yang indah kepada Angel, 

“Ini kubawakan kado untukmu, Curly.”

Angel mengubah posisinya dari duduknya di lantai, daster yang dipakainya di rapikannya menutupi pahanya, 

lalu dari posisi duduknya, tangannya menggapai, menerima kado dan meletakkannya di pangkuannya. 

“Pak Iskandar, kasus apa lagi yang harus kubantu?”  

mata Angel mengerjap, 

bulu matanya yang lentik turun perlahan mengikuti kerjapannya, 

nampak keraguan di sana.

“Ini apa yang terjadi, dan siapa pelakunya?” 

Rekan Iskandar memberikan secarik kain, 

mungkin robekan pakaian dari seseorang kepada Angel.

“Pembunuhan lagi?” tanya Angel mendesah. 

Ia mendekatkan robekan itu dadanya. 

Matanya mulai bergerak-gerak, 

semakin lama gerakan bola matanya semakin cepat ke kanan ke kiri.

“Ge..etarannya kuat, sekali. Astaga dia mulai dianiaya..ya, 

di pukuli oleh dua orang. 

Kakinya diikat, 

dia..duduk di kursi. 

Dua orang laki-laki itu memukul, 

memakai pentungan aaarg..

mereka memukul tepat di kepalanya.” 

Gerakan tubuh Angel alias Curly menjadi ikut tak terkendali, 

boneka coklat dan kado yang barusan dipeluknya nampak terlempar jauh sampai memantul di dinding tembok. 

Aku terperangah melihat tubuh Angel menggelinjang di lantai, kedua bola mata Angel sampai membelalak tinggal warna putihnya saja, kelihatannya membalik ke atas.

suara gelepar tubuh Angel di lantai mirip orang dipukuli, bluk, blek, 

nampak Angel sudah tidak bisa mengendalikan dirinya, tangannya terlontar kesana kemari, 

sementara kakinya kaku menjejak-jejak.

“Mrs. Rose, dia …

dia bisa mati. 

Kita harus berbuat sesuatu,” seruku dengan ngeri melihat keadaan Angel yang seperti kejang-kejang di lantai.

“Tidak bisa bocah. 

Tunggu sebentar lagi dia tenang.” 

desis Dragono dingin sambil melirikku.

“Dia terjatuh dari kursi.Aduh…lelaki satu mengambil tali dari sakunya dan membelitnya dari belakang. Ah…adduh..aarrgg…hhhh…

tali membelit sangat kuat..ah..ah…

aduh, napasku sulit, aduhh..” Angel menggeliat-geliat diatas lantai sambil memegangi lehernya sendiri.Saat itu Angel bertutur dan seolah-olah memperagakan kejadian yang diceritakannya.

“Mrs. Rose, Angel mencekik dirinya sendiri,” 

aku mulai menangis, ketakutan merambati pikiranku.

Tuan Jonah memberi tanda dengan tangannya, 

Polisi yang di sebelah pak Iskandar mengeluarkan album foto sambil mendatangi Curly, 

suara sepatunya berdetak di lantai, menambah suasana menjadi mencekam.

“Arrghh…arghh…” 

Angel masih menggeliat-geliat di lantai.

“Tenang Curly, aku ada disini, tenang Curly…tenangkan dirimu…,” hibur Mrs. Rose sambil mencoba menahan kepala Angel alias Curly, 

supaya tidak terantuk lantai.

Mataku menatap Tuan Jonah dengan penuh kebencian, 

di saat Angel sedang mengalami kondisi kesakitan di lantai. 

Tuan Jonah justru dengan santainya memanfaatkan kondisi Angel yang sedang lemah. 

Aku berpikir Tuan Jonah ini bukan manusia. 

Aku tahu dia memandang Angel, sama seperti dia memandang Degardo.

Ia tak peduli apa yang terjadi pada orang lain, asalkan tujuan serta kepuasan dirinya tercapai.

Anhel berhasil mengatur napasnya. 

Dadanya nampak naik turun, masih terengah-engah, 

sementara dari lengan sampai pergelangan tangannya nampak berkilat, menandakan keringat yang mengucur.

Dragono ikut membungkuk di sisi Angel. 

”Curly, ini album foto tersangka kepolisian, 

tolong tunjukkan dua orang yang kamu lihat tadi.”

Masih terengah-engah, 

Angel mencermati foto demi foto yang ditunjukkan Dragono. 

Tangannya bergerak, 

“Ini orang yang menjerat pakai tali dan ini orang yang memegangi kaki.”

“Jadi, salah satu anggotaku ada yang terlibat. 

Pantas dia lari dari rumah dinasnya,” ucap pak Iskandar dengan kesal. 

“Kita sekarang cari tahu dimana dia.”

“Kita ke tempat Risty sekarang,” suara Tuan Jonah terdengar memerintah.

“Terima kasih, Nak. 

Aku pergi dulu ya,” Dragono bangkit berdiri dan mengikuti rombongan Tuan Jonah ke arah kamar Risty.

Aku membantu Angel untuk bangkit berdiri. 

Di dalam kamar tinggal kami bertiga, 

aku, Mrs.Rose dan Angel, sementara rombongan sudah beranjak pergi ke kamar sebelah, kamar Risty.

“Terima kasih, siapa namamu?” tanya Angel dengan napas sedikit terengah. 

Mata Angel yang besar dengan bulu mata yang tebal memandangku.

“Aku, Moira.”

“Nama yang bagus, 

dan kamu sungguh beruntung, 

kamu punya Mama yang sangat menyayangimu.”

“Lho, kok tahu? 

Tahu darimana?”

“Syal orange yang kamu pakai. 

Itu buatan tangan Mamamu.”

“Oh iya, benar. 

Ini syal lama, tapi aku senang memakainya.”

Saat Angel menatapku, 

ia tersenyum tipis

“Habis ngeliat wajahku..kok senyum-senyum…kenapa, Angel ?”

“Kamu sungguh wanita yang beruntung. 

Selain Mamamu ada juga seorang pria ganteng yang menyayangimu.”

“Seorang pria? 

Maksudmu Papaku? 

Sayangnya papaku hilang 2 tahun yang lalu. 

Papaku tentara juga. 

Ia seorang kapten marinir…

entah papaku masih hidup atau..”

“Bukan papamu.  

Aku tidak tahu siapa namanya… 

dia orangnya lucu, usil dan ia menghadiahimu lipstik pink yang sekarang kamu pakai…

aku jadi sedikit iri dengan kehidupanmu. 

Aku …

tidak ada seorangpun yang yang menyayangiku.”

Oh, pria yang menyayangiku itu maksudnya Adrian. 

“Ah Angel.” 

Aku memeluk tubuh gadis itu yang bersimbah keringat. Terasa tubuh Angel yang sedikit berlemak, 

tidak seperti Risty yang kurus kering.

“Lain waktu, 

bawalah sesuatu yang pernah dipakai papamu. 

Aku mungkin bisa membantumu mencari tahu, papamu masih hidup atau..” kata Angel perlahan sambil wajahnya menunduk.

“Ya, Angel. 

Terima kasih banyak. 

Lalu kado-kado yang banyak ini, kenapa tidak kamu buka.Mau aku bantu buka?”

Angel alias Curly menggeleng, 

“Moi, Moi tahukan, 

aku bisa menembus masa lalu.

Aku tahu sejarah kado-kado itu. 

Kado-kado itu tidak tulus.Beda dengan boneka Gonzoku ini.” 

Angel meraih  boneka monyet yang ikut terlempar tadi, berwarna coklat kecil bertangan serta berkaki panjang dan memeluknya kembali dengan erat.

Aku perhatikan boneka Gonzo itu sangat sederhana, terbuat dari benang wool yang di rajut, 

bahkan beberapa rajutannya sudah terlepas.

“Memangnya siapa yang memberimu Gonzo kepadamu, Angel?”

“Dia… ibu Angel yang memberiku Gonzo ini. 

Beliau yang merajutnya sendiri gonzoku ini.

Tapi beliau sudah almarhum. Lalu ayah menikah lagi, 

dan ini satu-satunya peninggalan ibuku. 

Saat aku kangen ibu, Gonzoku kudekap. Kebahagiaanku, 

masa lalu akan kasih sayang ibu Angel yang tulus, akan muncul, Moi.”

Air mataku tak terasa kembali mengalir, 

“Angel. 

Kamu bisa mempercayai aku.

Kita bisa bersahabat.”

“Ya Moi, dari sentuhan Moi, aku tahu Moi orang yang tulus.

Masa lalu Moi, 

Moi lalui dengan ketulusan. 

Berbeda dengan orang-orang tadi, tidak ada yang tulus.” 

“Setiap kembali ke masa lalu, penderitaan orang itu aku tanggung. 

Itu rasanya menyakitkan sekali. 

Mengapa di dunia ini di penuhi dengan kebencian?Mengapa tidak ada seorangpun yang mengasihi aku?” 

perkataan Curly seolah menghujam hatiku, 

Curly sosok yang haus kasih sayang.

Aku memeluk dan mengusap-usap punggungnya.

“Angel… 

Besok Moi temani, ya. 

Besok malam kita tidur bersama ya. 

Kalau malam ini aku tidak bisa. 

Soalnya malam ini banyak kerjaan.”

Curly mencoba tersenyum, bola matanya yang besar mengerjap, 

bulu matanya yang lentik seperti bulu mata boneka, aku melihat ada sedikit harapan di sana, 

aku harus sering menghibur dia, janjiku dalam hati.

Aku melepaskan syal orangeku dan memasangkannya di leher Curly.

“Moi…ini?”

“Pakai saja. 

Ini hadiah dariku. 

Aku tulus lho… 

Angel tahu kan kalau Moi tulus memberikannya untukmu? 

Mungkin kamu juga tahu, Moi masih membawa syal orange satu lagi dalam koporku di kamar, 

hanya pola garis-garisnya saja yang sedikit berbeda. 

Besok Moi akan memakai yang satunya. 

Oh, Angel, kamu nampak cantik dengan syal orange ini.”

Aku tidak berbohong. 

Warna terang syal itu membuat wajah Angel turut bersinar. 

Wajah gadis itu seolah bersinar saat tersenyum.

“Terima kasih, Moi. 

Kamu baik sekali.”

“Sampai ketemu lagi ya, Angel,” kataku.

“Kami pamit dulu, Curly.” 

Ujar Mrs. Rose menyambung.

Kami keluar dari kamar Angel. Aku sempat menoleh, dan melihat Angel yang malang mendekap Gonzo serta syal orange pemberianku di dadanya.

***

“Semakin lama, semakin aku yang jadi gila, Mrs. Rose.” kataku senewen.

“Ini tantangan, Moi. 

Tapi menarik kan?” kata Mrs. Rose sambil melirikku.

“Menurutku, 

Angel bisa Moi hipnoterapi supaya dapat meregresi ketakutan dan kepahitan masa lalunya.” aku mengutarakan harapanku.

Aku menggelengkan kepalaku untuk menepis beratnya kepalaku, 

aku memasuki kamar Risty dan melihat apa yang dimaui Tuan Jonah darinya.

Kala kami sampai di kamar Risty gadis itu sedang memeluk sebuah foto di dadanya, dikerumuni Tuan Jonah, Dragono, 

pak Iskandar dan para pria lain.

“Aku ingin tangkap pelakunya dalam kondisi hidup tanpa korban dan tanpa luka,” ujar pak Iskandar pada Risty.

“Grrrrg…grrgg…” suara Risty seperti orang yang menggeram-geram, 

Dengan isyarat Risty meminta ballpoint serta kertas gambar, 

suster Reina dengan cekatan memberikannya.

Tangan kurus Risty bergerak,  menggambar dengan kertas yang dipegangi oleh Suster Reina, 

sementara kepala Risty yang besar di ganjal bantal mendongak ke langit-langit.

“Mengapa pakai alat tulis, Mrs. Rose?” bisikku lirih.

“Memang media dia seperti itu. 

Nanti hasilnya berupa simbol-simbol. 

Lihat, dia menggambar tanpa melihat ke kertasnya.” 

Bisik Mrs. Rose kepadaku.

“Grrgh..grrrgh..” Risty terus menggambar sambil menggeram. 

Kepalanya tersandar di bantal menghadap langit-langit, 

kepalanya terlihat menggeleng-geleng kecil. 

Nampaknya ia juga mengalami kesakitan. 

Aku kembali teringat Angel, gadis itu juga kesakitan saat berjalan melintasi waktu mundur ke masa lalu. 

Baik Angel maupun Risty sama-sama menderita saat diminta mengerahkan kemampuannya. 

Kemungkinan perjalanan melintasi waktu baik ke masa lalu dan ke masa depan membutuhkan energi yang berlebih.

Kondisi Risty sangat lemah dan menyedihkan. 

Kepalanya besar dengan tonjolan urat membiru di kening, rambutnya nyaris botak.

Kupikir Tuan Jonah tak mempedulikan itu. 

Yang ia kejar adalah kasus yang diberikan kepadanya harus segera terbuka, 

titik terang pemecahannya. 

Aku berpikir mungkin di mata Tuan Jonah, Angel, Risty, Vicko, dan kami semua hanyalah orang-orang yang bisa diperas, 

di manfaatkan sampai habis, tak peduli bagaimana taruhan nyawa bahkan sampai tewaspun olehnya, seperti Degardo, 

sementara Tuan Jonah memperoleh banyak uang dari pertaruhan. 

Henry benar, 

aku harus segera meninggalkan tempat neraka ini.

Aku menghela napasku dalam-dalam, berkali-kali, berusaha menentramkan perasaanku.

Tangan Risty berhenti menggambar. 

Sebuah gambar akhirnya diserahkan kepada pak Iskandar, sekilas terlihat gambar yang sederhana, 

ada gambar mirip logo Swastika, roti ulangtahun, gambar matahari, 

dan beberapa gambar lain,  gambar yang mungkin harus diartikan lebih lanjut oleh team kepolisian?

Aku tidak tahu siapa yang bakal menginterpretasikannya.

“Ini artinya apa ya kira-kira? Kau koordinasikan dengan angkatanmu Iskandar. 

Anak buahmu terlibat pembunuhan. 

Memalukan kesatuanmu!” suara Tuan Jonah terdengar keras.

“Ya, aku kondisikan Jonah, 

dia tak akan bisa lari begitu saja” 

sahut pak Iskandar datar, sambil mengusap kumisnya, saat tangan satunya lagi memegang gambar Risty.

Tuan Jonah, pak Iskandar serta rekannya bergegas keluar kamar Risty. 

Meninggalkan Risty yang terkulai lemah di ranjang, energinya nampak terkuras saat perjalanan ke masa depan.

“Dokter..apakah Risty baik-baik saja?” tanyaku.

Suster Reina memijat-mijat tangan Risty, sementara dokter Stephan melihat panel komputer yang menghubungkan dengan kabel yang ada di tubuh Risty, 

“Dia pingsan, 

lari ke masa depan menghabiskan energinya. Keadaannya tidak begitu buruk, tolong kalian bisa berkunjung ke Curly, 

supaya dia juga terhibur.”

“Kami baru saja menemui Curly tadi.” ujar Mrs. Rose menerangkan.

Air mataku menitik menatap kondisi miris Risty. 

Aku jadi teringat suara gadis yang datang dalam mimpiku serta meminta tolong padaku. 

Ia telah mengatakan meminta tolong…bukan untuk dirinya sendiri, 

tapi tolong kami. Kami_artinya lebih dari satu orang.

Berapa banyak orang yang harus aku tolong? 

Dan siapa-siapa saja mereka? 

Dan…bagaimana cara agar aku bisa menolongnya? 

Sanggupkah aku?

Risty masih terkulai, sepasang matanya nampak terpejam. 

Napasnya nampak naik turun dengan teratur dalam dadanya yang tipis. 

Kedua tangannya yang tinggal kulit membalut tulang tergeletak di sisi kanan kiri tubuhnya, 

dengan beberapa kabel serta selang infus terlilit di sana.

Ah, Risty bukalah matamu…beri aku petunjuk lagi yang lebih jelas. 

Petunjuk yang bisa aku pahami. 

Apa yang bisa aku lakukan untukmu serta teman-teman lainnya, Risty?

Setitik air mata menitik dari sudut kanan mata Risty!

Chapter 7 Ron, Anak Indigo

Setelah mengunjungi Henry, aku dan Mrs. Rose berjalan bersama-sama menjauhi sel.
Melewati pos penjagaan tengah, aku tidak sabar lagi untuk membuka percakapan, karena ada hal yang mengganjal di pikiranku berkaitan dengan keluh kesah Henry,
“Mrs. Rose kita harus berbuat sesuatu, raut muka Henry dari awal ceria, tetapi saat menceritakan tentang ada orang yang berhasil mengalahkan kemampuan telepatinya, dan bakal ada pertumpahan darah, roman mukanya berubah, dia nampaknya sangat ketakutan.”
Mrs. Rose menjawab dengan tenang, seolah tidak terjadi apa-apa, “Moi, kau seharusnya mengetahui bahwa Henry mungkin mengalami depresi.Beberapa waktu yang lalu, sudah kuberikan obat antidepresi untuk membuatnya relak dan bisa tidur, tapi dia menolak untuk meminumnya, lagipula siapa orang gila yang sanggup membuat keributan disini?
Penjagaan disini ketat, dengan prajurit yang handal, sanggup untuk meredam keributan.”

Aku kembali terdiam, kata-kata Mrs. Rose seolah menyindirku, mungkin saja Mrs. Rose juga berpikir bahwa aku juga depresi, sehingga sedikit informasi saja, bisa membuatku menjadi paranoid. 
Aku terdiam cukup lama, terjadi konflik di pikiranku, merenungkan perkataan Mrs. Rose dan juga perkataan Henry, sementara kilasan kejadian pertarungan kemarin memang membebani diriku.

Saat hendak masuk ke kamarku, kulihat sesosok pria sedang membersihkan lantai dengan sapu. Oh, rupanya pak No, wajahnya tertunduk nampak larut dalam keasyikan menyapu.


“Permisi pak No, baru bersih-bersih ya.” sapaku.

“Ya, bersih-bersih, ya,” jawab pak No seolah mengulang pertanyaanku, sambil sedikit beringsut menjauhi pintu kamarku.
Aku memutar kunci kamarku, masuk ke dalam kamar, kurasakan pikiranku pening.

Setelah makan siang aku dan Mrs. Rose bergerak ke kamar Ronaldo, bocah 11 tahun dengan kemampuan indigo karena melihat spektrum cahaya aura tubuh manusia.

“Ron, ini termasuk berkebutuhan khusus, Moi.
Di sini dia juga sering berulah, kadang teriak-teriak, kadang berlarian, walau tidak berani ke sel penjagaan belakang.
Beberapa waktu yang lalu juga bikin ulah dengan memencet alarm kebakaran, untung penjaga disini tanggap bahwa itu ulah Ron.” cerita Mrs. Rose.


“Wah, pasti heboh di sini ya Mrs. Rose, tapi sangat aneh, mengapa anak sekecil dia bisa sampai ke pulau ini?” tanyaku ingin tahu.
“Yang jelas, dia sudah jadi anak negara, orangtuanya sudah sukarela menyerahkan dia ke negara, lagipula dia ada di tempat yang aman, dekat pos penjagaan tengah.”

“Menurutku, banyak yang hanya mengalami gangguan perkembangan kepribadian saja Mrs. Rose, mereka tidak layak diperlakukan seperti kriminal di sini.” ungkapku menumpahkan isi pikiranku.
Mrs. Rose tidak menjawab, wajahnya memandang lurus ke depan, seolah tidak mendengar perkataanku.

Kamar Ronaldo terletak sebelum pos penjagaan tengah, di pos penjagaan tengah ada 3 kamar yang serupa dengan kamar Ronaldo, kemungkinan kamar-kamar dengan penghuni yang tidak berbahaya seperti sel penjagaan belakang.

Penjagaan atas kamar Ronaldo tak seketat sel Henry yang terletak di belakang, kamar Ronaldo terletak di ujung paling dekat dengan pos penjagaan tengah.
Ada dua orang prajurit disana, itupun tanpa senjata api, salah seorang prajurit muda mendatangi kami.
Aku membaca plakat namanya dan menyapa, “Hallo, Pak Rupert, ijinkan kami mengunjungi Ronaldo.” Lalu prajurit Rupert membukakan pintu kamar Ronald yang tidak di kunci.
“Oh, ada Dokter Stephan,” ujar Mrs. Rose.
Dokter Stephan sedang memeriksa perut Ronaldo dengan stetoskop.
“Selamat pagi, Dok. Saya Moira.” Aku mengulurkan tanganku padanya.Dokter Stephan menjabat tanganku, kurasakan jemari tangannya yang kecil dan lembek, tidak seperti genggaman tangan para pria pada umumnya.
Dokter Stephan sama persis wajahnya dengan foto saat presentasi Mrs. Rose di kampus. Dokter itu nampak tidak bersemangat, nampak keletihan, terlihat di kantong matanya yang menghitam dibalik lensa tipis kacamata dan wajahnya mengantuk.Dokter itu melepaskan jabatan tanganku dan tersenyum tipis.

“Ron, sudah minum obat?” tanya Mrs. Rose sambil berjalan mendekati Ronaldo yang sedang asyik memainkan gadget.
“Sebelum makan, ia kuberi methylphenidate, Mrs. Rose. Supaya rentang perhatiannya lebar.“ 
Dr. Stephan melanjutkan, “Kontrol rutin harian harus kulakukan, karena dia masih di bawah umur, apalagi aktivitasnya tinggi, selain main gadget, sering menyelinap keluar berjalan-jalan.”
Kulihat Ronaldo tetap asyik dengan gadget yang ada di tangannya, seolah-olah tidak memperdulikan kami.
“Aku pribadi tidak setuju, dia asyik dengan gadget karena hal itu bisa mempengaruhi struktur tulang lehernya,” ungkap Dokter Stephan.

Aku mendekati Ronaldo yang duduk dengan bantal guling mengganjal punggungnya.
“Hallo Ronaldo. Aku Moira. Ron boleh panggil kak Moi.Asyik ya, main gamenya? Game apa itu? Boleh tidak kak Moi ikut main?”
Ronaldo tak menjawab sapaanku.Ia tetap fokus terhadap game android di tangannya. “Wow, seru banget ya mainnya. Kak Moi diajarin, dong…”
Anak itu akhirnya menoleh padaku. Aku beringsut mendekati badannya, kami duduk sejajar di tepi kasurnya, sementara Mrs.Rose duduk di kursi di depanku, saat duduk, aku merasa tinggi Ron di bawahku sedikit, terbukti dari ujung rambutnya yang sejajar dengan mataku.
Tak berapa lama kemudian kami berdua asik main game.

“Geser kanan Kak! Ya, ayo naikkan sedikit! Kiri kiriiii Kak! Yaak.” Ron berteriak-teriak ribut disisiku.
“Game over deh.Padahal nyaris berhasil tadi, ya…Uuuh.”Ron mengeluh.
Aku tersenyum ramah padanya, “Nanti bisa kita coba lagi.”

Aku menatap Ron.Tubuh anak itu agak kurus.Sepasang matanya bulat besar terlihat menyapu ruangan, saat kuajak berbicara.Kulitnya kecoklatan, rambutnya lurus lemas di keningnya.

“Naah sekarang Kakak mau bincang-bincang ya dengan Ronald, boleh ya?”
Anak itu tidak menjawab, matanya mengarah ke lantai, kakinya yang menjuntai di lantai di gerak-gerakan ke atas mengayun ke bawah, terlihat energi tubuhnya yang besar, sampai ranjang yang kududuki turut bergoyang, aku menatap ke depan, 
dr. Stephan sudah tidak nampak lagi di kamar Ron, mungkin saat aku bermain dengan Ron, ia menyelinap pergi.

“Ronald di tempat ini bagaimana? Suka kan? Apa yang disukai? “
“Tempatnya enak, hawanya segar, tapi kadang takut juga,” jawab Ron sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Takut apa Ron?”
“Ron tidak mau jalan-jalan ke belakang.Tempatnya seram.” katanya sambil menunjuk ke arah belakang.

Tempat di belakang?Itu tempat The Arena, arena octagon tempat berduel pria sampai meninggal mengenaskan, juga letak sel Henry, sel Vicko.
Benarkah Ron memiliki kelebihan indigo yang sanggup melihat segala kengerian disana?

“Seram bagaimana Ron?” tanyaku mencoba menggali informasi, dengan nada yang kuusahakan seolah biasa saja, tidak terpengaruh ucapan Ron yang menyiratkan ketakutan.
“Disana beberapa orang melayang-layang, Kak.Berputar-putar.Kemarin aku lihat ada satu lagi orang baru yang melayang.Badannya besar banget, orang itu bilang sakit, sakit.
Aduh pinggangku patah.“Kala menceritakan hal itu, suara Ron menjadi mengecil, pandangan matanya kembali berputar menyapu ruangan.

Pinggangku patah? Sraap, kurasakan darah di wajahku seperti terserap, aku menjadi teringat akan Degardo. Jadi kemampuan indigo anak ini benar adanya.Aku merasa seluruh bulu kudukku berdiri, mungkin wajahku berubah pucat, bibirku sampai tergigit, menahan perasaan takutku.

Sejenak kemudian, aku mengalihkan topik pembicaraan supaya anak ini tidak traumatis.


“Lalu yang disukai yang dimana?”
“Ya sekitar sini saja, paling ke pantai.Ron suka pantai.”
“Mengapa Ron suka pantai?”
“Pantai itu luas Kak Moi, bebas.
Berapapun ombaknya kita minta, laut akan memberikannya.”
“Ron suka menggambar?“
“Sedikit, Kak Moi.”
“Tunjukkan ke Kak Moi yuk. Ini Kak Moi punya ballpoint dan kertas gambar.”

Sesuai dengan arahan kerja yang kudapat, aku menyuruh Ron menggambar.
Ronpun mulai menggambar.Aku memberikan sedikit arahan tentang gambarnya, ada pohonnya, ada rumahnya, ada orangnya, lainnya bebas.

Sekitar setengah jam Ron menggambar, kemudian dia menyerahkan gambar tersebut kepadaku
“Ini rumahnya, banyak jendelanya, tapi tertutup supaya aman. Tidak banyak angin.”Ron mencoba bercerita tentang gambarnya.


Kulihat rumah yang terletak di pinggir kanan, kondisinya rumah yang sepertinya tidak terawat, pintu rumah tertutup rapat, sementara jendelanya banyak tapi tertutup semuanya.

“Ron, ini kok jalannya panjaaang ya,” tanyaku saat melihat ada jalan setapak yang menghubungkan teras rumah, sampai ke gambar orang.
“Ya Kak, jalannya jauh, biar orang-orang yang lewat pada sehat semua, Kak.”

Aku tertawa, walau kulihat di gambar Ron terasa dia butuh kasih sayang. 
Kulihat gambar orang, dari proporsinya kelihatan gambar anak dengan mata besar dan bulat, mulutnya segaris memanjang sampai menembus pipi, dan anak tersebut terletak jauh dari rumah dan pohon.

Aku menahan nafasku saat kulihat gambar pohon yang berada jauh letaknya di sudut kiri, pohon kecil dengan ranting yang seperti tidak berdaun.Pohon yang nampaknya seperti mengalami kekeringan.

“Besok Kak Moi main lagi ya, Ron.” kataku pada Ron, supaya perasaanku tidak terbaca oleh anak ini, karena melihat gambarnya.
“Ya Kak.Terima kasih.Kak Moi orang baik.Cuma perut Kak Moi lagi bermasalahkah?”

Perutku?Dari kemarin mual.Setiap mau makan, teringat darah Gardo yang memanjang di lantai, perutku mual.Tak sanggup menelan makanan. “Hahaha..spektrum warna perut kakak kelihatan ya?” kucoba tetap berpenampilan ceria.
Ron mengangguk.
“Kak Moi tidak apa-apa kok, perut Kakak lagi tidak bisa diisi makanan.Setiap diisi pasti muntah, keluar lagi.”
“Itu namanya stress Kak Moi. Ron juga lihat bahwa kepala Kak Moi berkabut hitam, tanda banyak pikiran.”

Aku terperangah, kadang anak ini pembicaraannya melebihi orang dewasa.
“Ya, Ron adikku.Terima kasih.Sampai ketemu lagi, ya.”Aku membelai rambutnya dan pamit keluar kamar.

***

Malam itu aku benar-benar sibuk, menyusun berkas-berkas, di kamarku. Dari perintah kerja yang diberikan oleh Mrs. Rose , aku melihat setiap insan yang aku uji berbeda testnya.
Hmmm rupanya tim psikolog yang ada di belakang Mrs. Rose sangat berpengalaman menangani kasus gangguan dan abnormal psikologi. Aku menyiapkan berkas, scanner berkas dan memasukkan data ke flashdisk ku, kurangkum laporan singkat tentang Jeff, Henry serta Ronaldo untuk disampaikan semuanya kepada Mrs. Rose, biar nantinya Mrs. Rose menyampaikan kepada tim psikolog yang konon ada di ibukota.

Aku kembali membuka file tentang Jeff, Henry dan Ron, dan membaca semua hal yang berkaitan dengan mereka di masa lalunya.

“Ya Tuhan, sebenarnya mereka ini luar biasa, tapi sayang banyak yang salah arah.” ucapku pada diriku sendiri.
“Moira, sudah tidurkah?” Tanya sebuah suara dalam pikiranku.
“Henry,” aku terkejut, nyaris meloncat karena aku sedang sendirian saat suara itu menyusup pikiranku. 
“Betul, ini aku.” Sahut Henry dalam kepalaku.
“Kamu belum tidur?” tanyaku.
“Ssst…kamu tidak perlu bersuara begitu.Yakin tidak di kamarmu ada penyadapnya?Siapa tahu disini ada yang mencuri dengar? Kamu cukup fokus pada apa yang kau ingin bicarakan, lontarkan itu di pikiranmu kepadaku, dan aku bisa menangkap gelombang pikiranmu, Moi. Tidak perlu bersuara.Kita bisa main rahasia-rahasiaan berdua.Dicoba deh.”

“Test..test.,” Aku mencoba memfokuskan kata-kata itu dalam pikiranku, lalu kubayangkan wajah Henry bersamaan dengan perkataan di pikiranku. 
“Bagus.Benar begitu caranya, Moi.Aku bisa mendengarmu.Iya, aku belum tidur.Belum mengantuk.”
“Kalau penyadap, aku yakin tidak, karena aku tidak melihat kabel di sini, bahkan kamera CCTV pun tidak, yang diketahui dari Mrs. Rose bahwa CCTV yang ada di Chimera, belum ada suaranya. Kemarin aku ketemu Jeff di ruangan mess penjaga seluruh CCTV terlihat dan tidak ada suaranya, jadi hanya memonitor secara visual.”
“Oh syukurlah, berarti amanlah,” tukas Henry.
Tentang Ronald, Hen.” kembali aku berkata dalam pikiran lalu kulontarkan ke Henry.

“Ya?”
“Dia bisa melihat arwah Degardo gentayangan di stadion belakang.”
Degardo yang malang. Ron kecil yang malang juga. Untungnya aku tidak ada bakat indigo, jadi aku aman saja di belakang sini.Sial, mengapa orang seperti aku, ada di sini gara-gara salah berurusan dengan Mr. McPherson.Dan aku ditempatkan di sel belakang yang seram begini, hhh?”“
Aku tersenyum, “Kamu berurusan dengan orang yang salah, Mr. McPherson konglomerat yang punya kuasa, semoga kamu cepat dibebaskan.
Pada dasarnya kau sendiri sebenar tidak menakutkan, Hen.”
“Lalu?”
“Orang-oranglah yang takut dengan kemampuanmu.Kamu tahu kan kalau kamu kuat memanipulasi pikiran orang-orang lain dengan cepat.”
“Dengan kuat dan cepat?Haha siapa bilang?Aku harus fokus untuk melakukannya.Energiku bisa tersedot habis.Selain cepat lapar, kadang juga sampai kepalaku sakit seperti ditusuk ribuan jarum karena berusaha terlalu keras untuk menangkap gelombang pikiran seseorang.Aku pernah tertidur satu hari penuh karena kelelahan, Moi.”
“Kalau..kalau di kepalaku….apa yang bisa kamu temukan disana?” Tanyaku usil serta ingin tahu. Aku sendiri bahkan tidak tahu saat ini memikirkan apa, haha .
“Dikepalamu?Sebentar ada….ada aku disana.Kamu sedang fokus mendengar suaraku.”
Moi, jadilah sahabatku.Maukah?”
“Sahabat?”
“Tapi maksudku benar-benar sahabat, Moi.Sahabat yang saling mempercayai dan mensupport. Jujur Moi, aku tidak yakin bisa keluar dari sini dengan selamat. Persetan dengan Mr. McPherson yang mungkin masih memburuku bila aku terendus muncul di masyarakat.
Yang penting aku lepas dari penjara terkutuk ini.
Saat melihatmu, entah kenapa aku temukan harapan hidup.
Jadilah sahabatku, dan mari kita sama-sama mencoba keluar bareng dari neraka ini.”

Aku terdiam.Keluar dari tempat ini? Walau aku bimbang antara persahabatan ku dengan Mrs. Rose dan penjagaan yang kuat di sini, di sisi lain perlakuan dan ancaman Tuan Jonah, dan pertarungan mematikan, membuatku juga ingin kabur. 
“Caranya bagaimana, Hen?Bagaimana caranya agar kita semua bisa keluar dari penjara ini?”Aku mencoba menjajaki kemungkinan itu.
Tak kudengar lagi suara di pikiranku, rupanya Henry terdiam beberapa saat.
“Henry? Henry?”
Pria itu tak menjawab panggilan melalui pikiranku.Sudah tertidurkan dia?Atau dia mendapat kunjungan ke selnya, selarut ini?
Dan, suara pria itu mendadak masuk lagi ke dalam pikiranku. “Tidak, Moi. Aku belum tidur. Terlihat dari jendela belakang selku , di pantai sana ada sebuah speedboat kecil. Maksimal hanya bisa diisi sedikit orang dewasa.Pikirkan jalan terbaik pergi dari sini, Moi.”

Chapter 6 Henry, Pria Ganteng Ahli Telepati

Kami berjalan menuju 

sel Henry yang terletak 

di belakang.

Dari arah kami berada sekarang, 

yaitu mess penjagaan depan, kami harus melewati dua pos penjagaan prajurit, 

pos penjagaan tengah 

dan pos penjagaan belakang.

Setiap pos penjagaan terletak, 

selalu menghadap 

pintu yang kokoh 

terbuat dari besi, 

pos penjagaan terdapat 

dua prajurit dan ada satu meja berukuran tanggung, serta dua tempat duduk prajurit yang berjaga.

Jantungku terasa berdebar, entah kenapa, 

atau mungkin hendak bertemu dengan pria tertampan di pulau Chimera?

Mungkinkah Henry wajahnya setampan di foto ? 

Atau bahkan lebih ? 

Dan bagaimana kemampuan telepatinya yang istimewa?

seperti apakah kemampuannya itu?

Oh 

pikiranku bercampur aduk saat teringat hal tentang Henry.

Saat melewati pos penjagaan tengah, 

dua prajurit berdiri 

dan menghormat kepada kami.

Aku melihat pada Mrs. Rose, dan berpikir betapa ketatnya penjagaan di sini. 

“Kalau penjagaan tidak optimal, 

Henry bisa memanipulasi pikiran penjaga,” 

ujar Mrs. Rose seolah mengetahui isi pikiranku.

“Bisa-bisa semua pintu dibukakan oleh penjaga ya Mrs. Rose,” sahutku.

“Ya, dan Henrynya kabur deh, haha.”Mrs. Rose tertawa. 

Tibalah kami di pos penjagaan belakang, 

yang paling akhir, 

sebelum kami mencapai sel-sel dimana para tahanan spesial ada di sana, 

aku berjalan di belakang Mrs.Rose,

menutupi tubuhku 

dan wajahku 

dari pandangan mata orang-orang yang ada di sel-sel yang letaknya berhadapan dengan pos penjagaan prajurit, sementara The Arena terletak di sudut kiri dari pos penjaga.

Dua prajurit berdiri 

dan menghormat pada 

Mrs. Rose, 

Mrs.Rose berkata kepada 

dua prajurit tersebut, 

“Kami hendak bertemu dengan Henry,” sambil menunjuk lurus ke depan.

Oh, 

ternyata sel Henry 

letaknya berhadap-hadapan dengan pos penjaga.

Salah satu prajurit berjalan mendahului kami, 

membuka sel tempat Henry berada. 

Untuk mengatasi kecangguanku, 

sambil menata pikiranku dan raut wajahku 

yang belum nyaman, 

aku tetap berjalan di belakang mengikuti 

Mrs. Rose.

Aku melihat ke samping kiriku, 

nampak ring Octagon di tengah The Arena, 

aku bergidik ngeri, 

bayangan kematian ada di sana.

Seorang prajurit membuka sel Henry, 

“Henry, kamu dapat kunjungan.”

“Mrs. Rose, 

ini aku bawakan kursi,” 

ucap prajurit lainnya.

“Terima kasih,” Mrs. Rose menjawab sambil menerima kursi plastik yang dibawakan. 

Mrs. Rose berjalan maju sambil menenteng dua kursi plastik yang diberikan prajurit  itu.

Kondisi sel Henry sekilas nampak sama dengan kamarku, 

sempit.

Kami berjalan beringsut pelan, 

di kiriku terdapat lemari pakaian, 

di samping kananku ranjang, sekilas wajah Henry nampak dari punggung Mrs. Rose.

Sementara Mrs. Rose setengah membungkuk menata kursi plastik di tengah lorong sel Henry, 

aku beradu pandang dengan Henry, 

sosok insan tampan 

terlihat jelas olehku.

Wajahnya yang rupawan berambut tebal lurus, 

disisir ke samping kiri, poninya yang lebat ada di atas alis kirinya. 

Hidungnya yang mancung dengan sorot matanya memandangku, 

alisnya tebal dan bentuknya menyenangkan hati kaum hawa. 

Kulitnya kuning langsat tertimpa oleh cahaya lampu, sementara badannya nampak atletis dengan tonjolan otot  terbalut kaos putih, 

memang tidak seperti otot para prajurit kebanyakan, namun Henry termasuk atletis.

Hidung Henry yang mancung membuatku tahu bahwa tinggiku sekitar hidungnya, 

sosok yang tampan, 

atletis dan menawan, hemmm.

Henry tampil modis dengan celana jeans biru sebatas lutut.  

Pria itu nampak santai, menatapku, 

pandangannya terlihat jauh, Duuh…

menghanyutkanku.

“Henry, 

kenalkan ini gadis yang istimewa. 

Lulusan cumlaude dari psikologi, Moira,” 

ucap Mrs. Rose.

“Oh, hallo Moira. 

Kamu yang kemarin lari-lari di lorong selku sambil menangis kan? 

Sekarang aku bisa menatap kamu langsung. 

Kamu lebih cantik, 

kalo tidak lagi menangis, Moi.” 

Henry berkata 

sambil tersenyum.

Aku menunduk malu.

Henry melihatku menangis. Aduh, 

memalukan sekali. 

Harga diriku jatuh kandas dihadapannya, 

bahkan sebelum aku memulai percakapanku dengannya.

Setelah mengatur perasaanku agar tenang, 

aku menegakkan kepalaku. “Hallo Henry, 

aku Moira. 

Ijinkan Moi mendatamu ya, karena ini menjadi tugasku.”

Henry tidak menjawab perkataanku, 

senyumnya tetap mengembang tipis 

di wajahnya, 

lalu kulihat Henry menaruh telunjuk kirinya ke keningnya.

Aku mendengar suara 

yang tiba-tiba menerobos pikiranku , 

“Hallo cantik, 

terus terang aku senang sekali dikunjungi olehmu. Silahkan lho, 

kamu mau minta apa saja dariku. 

Kalau aku bisa, 

niscaya aku berikan, Moi.

Kamu juga boleh mendata aku sehari-harian, berminggu-minggu, 

atau selama-lamanya juga aku rela. 

Hehehe.” 

Aku terkesiap, 

kulihat bibir Henry 

tetap diam 

tidak mengucapkan apapun, rupanya Henry menggunakan telepati 

untuk berbicara denganku melalui pikiran.

“Haa…

eh, apa-apaan ini?” seruku. 

Aku kembali menatap Henry seolah tak percaya. 

Bibir Henry tetap menyunggingkan senyum, matanya mengerjap, 

ada kerling nakal di sudut matanya, 

duh, 

pria ini memang sedang menggodaku 

lewat kemampuan telepatinya.

“Sudah begitu lama 

aku tidak bertemu gadis secantik dirimu, 

bolehkah aku menjadi pacarmu Moi?”

Aku terpesona dengan suara-suara yang memenuhi kepalaku. 

Tanpa sadar aku menjatuhkan map plastik berisi berkas-berkas , 

dan berkas-berkas nampak berhamburan di lantai.

“Hahaha…

dia grogi 

akan kegantengan 

dan kemampuanku, 

Mrs. Rose.” kali ini Henry benar-benar tertawa, 

suara ketawanya sampai memantul di ruangan selnya.

“Henry, kamu bawaannya usil ya, 

kalau ketemu yang cantik-cantik.” Mrs. Rose menimpali candaan Henry.

Henry membungkuk, membantuku mengumpulkan berkas-berkasku. 

Mrs. Rose tetap duduk sambil melihat kami mengumpulkan berkasku, wajahnya terlihat ceria.

“Moi, selain mendataku.Kamu juga bisa lho berbicara dengan pikiranmu ke aku.Mudah banget kok. 

Nanti aku ajari. 

Jadi kita berdua bisa berbicara rahasia kapanpun, tanpa ada orang lain ataupun cicak di dinding yang mencuri dengar.”

“Oh, itu tadi telepatimu 

ya Henry. Ternyata telepati seperti itu.” aku menjawab sekenanya untuk menutupi grogiku, sambil memungut berkas yang meluncur sampai di kolong ranjang Henry.

Tak lama kemudian aku dan Mrs. Rose duduk 

di kursi plastik sementara Henry  duduk di sisi ranjang untuk berbincang-bincang. Kami berbincang-bincang layaknya akrab dengan seorang teman lama.

Aku memutar pandanganku ke belakang, 

dari arah sel Henry 

nampak jelas ring octagon 

di tengah The Arena, rupanya dari ranjang Henry pun nampak pertarungan yang kemarin terjadi.

“Henry apakah kamu juga menggunakan telepatimu untuk berkomunikasi dengan keluargamu?” tanyaku ingin tahu.

“Tentu saja ya. 

Aku bisa bisa berkomunikasi dengan mereka, 

karena kita sebelumnya sudah pernah berkomunikasi, 

telepati itu layaknya seperti frekuensi radio Moi, 

tinggal masuk di jalur 

yang pas frekuensinya 

maka engkau bisa berkomunikasi.” 

jelas Henry panjang lebar.

Sesaat Henry terdiam, wajahnya seperti seseorang yang mengalami ketakutan, matanya nampak memincing, 

pandangannya seperti mengingat sesuatu yang berat, 

sambil menarik napas dalam, 

Henry meremas-remas buku jari tangannya, 

sesaat kepalanya menunduk seolah berfikir keras, kurasakan ada kegelisahan di sana.

Setelah nampak tenang, Henry mendongak ke arah kami, 

kemudian wajahnya disorongkan maju 

antara aku dan Mrs. Rose. 

Dengan nada lirih

dan hati-hati Henry berkata, “Selain itu, aku juga bisa mengetahui ada orang lain yang bisa melakukan telepati juga di tempat ini. 

Sayangnya aku tidak tahu siapa orangnya. 

Tapi semakin hari, 

kekuatan telepatinya makin meningkat, bisa mengalahkan aku. 

Sampai aku tidak bisa menembusnya, 

menembus percakapan telepatinya.”

Aku dan Mrs. Rose tertegun, antara keheranan dan terlihat ada hal yang misterius dari ucapan Henry, sementara wajah Henry nampak menegang 

saat mengucapkan hal tersebut, 

berbeda sekali saat aku dan Mrs. rose berjumpa di awal, beberapa menit yang lalu.

Henry kembali merendahkan suaranya 

lalu berkata, 

“Dan ada sedikit celah kudengar 

akan ada konspirasi besar dan mematikan 

akan terjadi disini.”

Aku terlonjak.

“Konspirasi mematikan? Pembicaraan telepati siapa dengan siapa ?“

Henry menggeleng, 

terlihat lemah dan pasrah, ” Aku tidak tahu siapa saja mereka itu, 

tapi aku yakin beberapa orang penghuni di sini.”

Henry mendongak, 

matanya memandang tajam kepada Mrs. Rose 

“Mrs. Rose, 

aku harap, 

aku bisa segera keluar dari tempat ini. 

Kekuatan gelap, 

berbahaya, 

dan penuh aroma kematian menakutkanku,” 

ucap Henry memohon.

Mrs. Rose menggenggam tangan kanan Henry, 

“Henry, 

tidak pernah aku lihat kamu ketakutan seperti ini. 

Siapa yang berani bermain-main di sini?”

“Ini diluar jangkauanku, Mrs. Rose, 

aku tidak tahu siapa mereka.” ucap Henry kembali tertunduk lesu.

Aku merasa mendapatkan teman, 

teman yang senasib 

karena merasakan ketakutan. 

Tak berapa lama meluncurlah kalimat-kalimat yang tanpa sempat aku pikirkan terlebih dulu sebelumnya.

“Sebenarnya sama seperti perasaan Henry. Sebenarnya…

Ah, 

aku bukan seseorang 

dengan kemampuan

pre cognition, melihat jauh ke masa depan 

seperti…

seperti salah satu insan berbakat disini, 

tapi sebelum aku diterima bekerja disini, 

aku sudah bermimpi berkali-kali 

bahwa tempat dengan logo segitiga singa, 

naga, serta kambing. 

Saat aku datang ke tempat ini seperti de javu bagiku,

ini mengerikan bagiku, Mrs. Rose.

Aku ingat dalam mimpiku ada wanita yang menangis darah dan mencoba keluar dari gerbang depan Chimera. Akankah ada yang mati lagi disini? 

Oh, Mrs. Rose.” 

Aku menyilangkan tangan 

di depan dadaku berusaha menahan tubuhku yang mendadak menggigil.

Mrs. Rose bangkit berdiri dan memelukku. 

“Tenang Moi, 

ada aku disini kan? 

Kau sudah ditetapkan untuk ada di sini, 

dan tidak lama lagi kau sudah selesai kontrakmu, hanya enam bulan, 

masa depan cerah menantimu Moi.”

Mrs. Rose menatap Henry.“Henry, kamu mendengar itu di saat pagi, siang atau malam?”

“Lalu lintas percakapan mereka tidak mengenal waktu. 

Dan sayangnya mereka bisa mengunci pikiranku saat itu.Hingga aku tidak bisa mengikuti percakapan mereka seluruhnya.Kengerian ini sangat mencekamku Mrs. Rose.”

Henry kembali terdiam, 

dia nampak mengatur nafasnya, 

dari sorot matanya kutangkap ketakutan teramat sangat di sana.

Saat aku melihat 

Henry berkata-kata,

tak terasa seperti terhenti nafasku, 

mengapa kengerian susul-menyusul di tempat ini? 

Sejenak sesudah Henry 

dapat menguasai dirinya, 

dia berkata dengan lemah, “Mereka yang berkomunikasi lewat telepati menginginkan kematian. 

Akan ada banjir darah di tempat ini, 

dan waktunya tidak akan lama lagi. 

Hanya saja aku tidak tahu pasti kapan waktunya.Yang aku tahu, mereka menginginkannya segera.Mereka sangat haus darah.”  Henry memundurkan wajahnya, 

lalu mendongak ke atas sambil tangannya meremas-remas tepian ranjangnya.

“Yang pasti, 

pemimpin tempat ini 

tidak bisa diandalkan,” ucapku geram.

Henry menatapku, 

“Ya. 

Saya rasa kamu benar Moi. Pimpinan tempat ini 

bisa jadi adalah sumber segala kengerian, 

dan ini akan berlanjut.”

“Jangan berprasangka jelek dulu,” sergah Mrs. Rose.

“Kalau bukan dia, 

siapa lagi Mrs. Rose? Pertandingan Vicko itu… Pertandingan a la gladiator yang sadis, 

atas ide siapa, 

kalau bukan ide dia?” 

kataku berapi-api.

“Ssst  pelankan suaramu,” bisik Henry mengingatkan.

“Di tempat ini, 

di atas darah Degardo 

serta 15 orang lain, 

orang itu malah menimbun kekayaan,” ucapku lagi dengan nada lirih, 

walaupun hatiku kesal.

“Kamu perlu obat tidur Henry, 

untuk malam ini?” 

tanya Mrs. Rose.

Henry menggeleng, 

“Aku lebih suka 

dalam kondisi terjaga penuh Mrs. Rose. 

Aku rasa,

mungkin dengan terus terjaga 

aku bisa mendengar sesuatu lagi yang lainnya.  

Yah, aku berharap demikian. Kalau aku tidur, 

aku tidak bisa mendengar apapun…

dan..

andai  benar terjadi sesuatu, setidaknya aku bisa berbuat sesuatu.”

Aku terhenyak, 

tiba-tiba aku teringat kejadian tadi malam, 

“Henry, 

kudengar teriakan dari sini semalam, 

suara seperti orang kesakitan,

apa yang terjadi di sini semalam Henry ?”

Henry memandangku dengan tajam, 

“Oh kau belum tahu kebiasaan para prajurit di sini ya Moi, 

mereka bergantian sering memukuli Vicko, dan juga Rado, 

karena tingkah laku mereka sering membangkang, 

tadi malam jeritan Rado yang kau dengar.”

Mrs. Rose menimpali, “Kadang saja Moi, 

para prajurit memberikan semacam shock therapy untuk para tahanan 

yang membangkang di sini.

Selain juga untuk memunculkan potensi mereka.”

“Tempat ini bagaikan neraka Mrs. Rose.

Mengapa Tuan Jonah 

tidak mau memperlakukan para insan di sini dengan lebih manusiawi? 

Mereka punya hak sebagai manusia untuk di lindungi.” sergahku, 

rasa sakit hatiku kembali merekah. 

Mrs. Rose tidak menjawab, bahkan menyuruhku 

untuk segera memberikan lembar pengujianku

kepada Henry.

Saat itu aku merasa bahwa pendampingku ini, 

yaitu Mrs. Rose terlihat membela Tuan Jonah, 

aku merasa kecewa akan sikapnya.

Setelah aku memintanya mengisi lembar bahan pengujian psikologiku, sekedar untuk memenuhi tanggung jawab pekerjaanku di Chimera, 

kami meninggalkan Henry.

Kami berpamitan pada Henry, 

nampak Henry berusaha tersenyum saat kami pergi, Henry berkata, 

“Jangan kapok mampir ya Moi, kutunggu ya.” 

Ada senyum di wajahnya yang tampan, 

tapi seolah-olah senyum yang dipaksakan.

Mrs Rose memberi isyarat kepada prajurit yang berjaga, lalu prajurit Rupert datang dan mengambil dua kursi plastik dari dalam sel Henry, lalu segera menguncinya dari luar.

Aku berjalan gontai 

di samping Mrs. Rose menyusuri lorong Chimera yang lengang dan keras.

“Aku merasakan depresi menghadapi ini semua, 

Mrs. Rose.” ujarku lemas.

“Kamu tidak bisa mundur, Moira. 

Kita bisa lalui ini bersama, percayalah. 

Setelah makan siang, 

kita ketemu Ronaldo.”  

Ucap Mrs. Rose 

lalu melangkah mendahului masuk ke sebuah ruangan lain.