Chapter 8 Risty dan Curly, Para Penjelajah Waktu

Pagi itu aku sudah menunggu Mrs. Rose di depan kamar, 

duduk di tangga pintu kamarku, 

kala wanita yang menarik itu menjemputku seperti biasa.

“Pagi, Moi,“ sapanya.

“Pagi, Mrs. Rose.”

Aku mencoba tersenyum, terasa beban berat sangat menghantuiku, 

aku bahkan berpikir bahwa Mrs. Rose menyimpan banyak hal, 

dan kepercayaanku terombang-ambing kepadanya.

Namun, 

apabila aku tidak mempercayainya, 

kepada siapakah aku harus percaya?

Mendata Risty, 

seorang pre-cognition, pelihat masa depan, seakurat apakah yang di lihatnya di masa depan?

Kemudian, 

mendata Angel alias Curly seorang clairvoyant, 

pelihat masa lalu.

Aku pikir mereka ini penjelajah waktu.

Sangat menarik dan menantang rasa ingin tahuku.

“Nah, aku suka senyummu, cantik.

Pasti semalam mimpinya indah ya?” gurau Mrs. Rose membuyarkan pikiranku.

“Oh…

semalam aku malah tidak mimpi apa-apa. 

Semalam aku sempat merenung. 

Segala yang terjadi di tempat ini di luar kendali kita. 

Yang bisa kita lakukan, adalah melakukan hal terbaik tugas-tugas kita. 

Harapanku ialah enam bulan lagi, 

aku bisa pulang ke rumah, berkumpul kembali dengan keluargaku.

Benar begitu, Mrs. Rose?”

Klik!  

Mrs. Rose menjentikkan jarinya. 

“Benar sekali. 

Ayo, kita sarapan dulu.”  

Mrs. Rose berjalan sambil menggandengku.

Mrs. Rose tidak mengetahui, bahwa  di satu sisi, semangatku timbul saat menjalani hari ini, karena semalam aku mendapat sekutu baru, yaitu Henry.

Bayangan untuk kabur segera dari tempat mengerikan ini, 

sungguh membuat semangatku bangkit. 

Aku tahu, 

aku tak akan sanggup kalau aku harus menyaksikan jatuhnya korban seperti Degardo lagi.

Nyawa insan manusia seperti tidak berharga. 

Aku juga sudah begitu muak bertatapan dengan wajah berdarah dingin Tuan Jonah beserta tindak tanduknya yang serakah, 

menghalalkan segala cara demi keuntungan diri sendiri.

“Hari ini kita kunjungi pertama kali ialah Risty, dilanjutkan ke Angel lalu Rado ya Moi.”

“Semoga tidak berat-berat masalah psikologis mereka.” kataku tercekat.

“Waah…justru makin berat, hahaha..”Mrs. Rose tertawa. 

Saat aku mengamati Mrs. Rose, di tempat ini, 

dia begitu sering tertawa lepas.

Tak ada rasa ngerikah dalam dirinya?

Tak ada rasa takutkah dalam pikirannya?

Tak ada keinginan untuk kaburkah dari tempat ini?  Apakah dia begitu yakin akan keamanan pulau ini, 

juga sangat percaya diri akan kemampuan telekinesisnya.

Lagipula tak ada…ah, 

tak adakah keluarga yang menantinyakah andai  pulang  dari Chimera suatu saat nanti?

Kami berpapasan dengan Dragono di pintu ruang makan. 

Mrs. Rose mempersilakan aku mengambil makanan duluan, sementara ia bercakap-cakap dengan Dragono.

Pria gundul tinggi besar itu, wajahnya nampak cerah dan bersuara lembut kala bercakap-cakap dengan Mrs. Rose.

Kesan keras dan garangnya hanya nampak saat mengawal Vicko beberapa hari yang lalu.

Aku berpikir, 

“Manisnya cinta. 

Jendral perang kenamaan jaman Samkok, 

Jendral Cho Cho kalah perang dikarenakan wanita. Nabi Salomo yang terkenal akan kebijakannya jatuh juga karena wanita. 

Begitu juga Dragono yang perkasa.”

“Good Morning, my friend,” sebuah suara menyelusup, membuyarkan lamunanku.

Henry! 

Aku terkejut, 

lalu mencoba memfokuskan pikiranku, 

mengirim kalimat demi kalimat ke Henry,  

sementara tanganku bergerak mengulurkan piringku ke tentara yang bertugas. 

“Sepagi ini sudah menyapaku. 

Kamu sudah sarapan, Hen?“

“Aku tidak punya nafsu makan. 

Menunya membosankan, walau setiap hari diantarkan tepat waktu oleh prajurit, yang kupikirkan ialah pergi dari tempat mengerikan ini Moi”

“Kamu mau makan enak?Kamu bisa mengajukan diri duel menggantikan Vicko, Hen.

Kalau kamu menang, dapat deh makanan enak.”

“Hah? Apa? 

Kamu jahat banget, Moi. 

Aku kira kamu temanku.Tega-teganya kamu nyuruh aku maju bertarung duel seperti itu? 

Huh, aku marah. 

Aku nggak mau berteman lagi denganmu.” 

Suara Henry terdengar ketus di pikiranku.

“Aih, begitu aja kok marah.Aku bercanda, Hen.”

Henry tidak merespon.

“Tok…tok…yuhuu, Henry… Henry..Henry..”

Akhirnya aku mendengar Henry berbicara.“Ya, Moi?”

“Makanlah sarapan pagimu.Berada di tempat seperti ini, penting lho untuk menjaga stamina tubuh kita. 

Cobalah makan makanan yang ada disini, 

nggak usah pilih-pilih.”

“Aku biasanya juga nggak pilih-pilih makanan kok.Cuma pagi ini aku sedang tidak ada nafsu makan. 

Tadi aku bangun tidur, 

ingat kamu. 

Mau makan, ingat kamu juga… mau ngapa-ngapain  ingatnya kamu terus, Moi.”

Henry ini, gombal banget.Aku tidak bisa menahan tawaku, aku tertawa lepas. Tawaku berhenti, 

saat menyadari sesuatu hal. 

Hal yang membuat seisi ruangan kantin, 

sejenak hening.

Seluruh mata orang-orang di ruang makan itu, 

ternyata tertuju padaku yang tertawa-tawa keras seorang diri.

Henry sialan!

Aku lupa kalau aku sedang bercakap-dengan dengan menggunakan telepati pikiran, 

bukan dengan mulutku. 

Pria yang mengaku sebagai ‘teman’ itu membuatku bertingkah konyol dan menanggung malu di depan orang banyak begini. 

Aku berdehem, mengumpulkan rasa percaya diriku yang buyar, 

kemudian mengangkat nampan makanku yang belum selesai kulakan, 

dan meletakkannya di meja sudut, tempat piring-piring kotor lainnya menumpuk. 

Dan aku bergegas keluar ruang makan.

Dikepalaku terdengar Henry memanggil-manggil namaku.

***

Saat ini aku dan Mrs. Rose sudah berdiri di depan kamar dimana Ariesty di rawat, kamar Ariesty atau Risty terletak di ruangan tengah, sederet dengan kamar Ronald, 

kamar Risty paling ujung arah depan. 

Saat kami masuk, 

ternyata dokter Stephan sedang melakukan cek rutinnya atas gadis itu. 

Risty nampak terbaring di tempat tidurnya, 

aku berjalan pelan-pelan ke arah dia berbaring.

“Bagaimana kabar Risty dokter Stephan?” Tanya Mrs. Rose.

“Risty dalam kondisi yang kurang baik dibanding saat ia baru datang pertama kali.Tekanan darah diatas normal, denyut jantung lebih cepat.

Suhu tubuhnya saat ini demam, 

hampir 39 celcius. Pembesaran kepala juga meningkat.  

Maksimal dalam 3 bulan ini ia harus segera di operasi, kalau tidak,  

bisa terjadi pendarahan dalam kepalanya, 

dan ia akan mati.”

“Kasihan Risty, 

semoga ia cepat stabil dan bisa segera, 

bolehkah kita berbincang-bincang di sini, terganggukah dia?”.

Dokter Stephan, 

“Tidak apa nak, 

boleh ajak bincang-bincang ringan, 

yang bisa membuatnya senang.” 

Risty kurus sekali, 

tulangnya terlihat menonjol sana-sini, 

tulang pipinya menonjol, tulang lehernya juga nampak ruas-ruas nya.

Rambutnya nampak sangat sedikit di atas kepalanya yang membesar, 

rambutnya tipis dan jarang-jarang, kemungkinan karena sering demam tinggi membuat kerontokan rambutnya . 

Suster Reina yang ramping dengan sepasang matanya yang tangkas, 

ada di samping ranjang Risty, dekat kakinya Risty,

sedang mengganti botol infus Risty.

Risty tersenyum dan mengulurkan tangannya dengan perlahan, 

“Aku tahu, suatu hari aku pasti akan berjumpa denganmu, Moira.”

Hah, aku terkejut, 

suatu hari pasti akan berjumpa denganku? 

Apakah Risty sudah melihatku di masa depan, sehingga dia mengatakan hal itu kepadaku?

Aku menyambut tangan Risty. 

Tangan gadis itu begitu kurus, nyaris tinggal tulang, dan terasa sangat ringan saat menggenggam tanganku, 

telapak tangannya yang demam terasa meninggalkan bekas hangat di telapak tanganku.

Brbbr…

Bunyi helikopter datang mendekat Chimera.

Suster Reina menarik napas, “Apa akan ada yang diadu lagi, Mrs. Rose?”

“Aku tidak tahu.”

“Itu tamuku, juga tamu Curly dari kepolisian.” 

tukas Risty membuat Mrs. Rose dan aku saling berpandangan. 

Apakah Risty menggunakan kemampuannya untuk melihat masa depan, sehingga mengetahui bahwa yang datang ialah tamu untuknya dari kepolisian? Hmm kemampuan melihat masa depannya sebelum peristiwa itu terjadi, 

memang tak diragukan lagi keakuratannya.

Mrs. Rose melongok keluar kamar, 

dia memberikan kode kepadaku untuk mengikuti langkahnya keluar dari kamar Risty, 

dari lorong pintu penjagaan depan, 

nampak sekumpulan orang datang, 

dan bunyi beberapa pasang sepatu mendekati ruang tengah dimana kamar Risty berada.

Itu Tuan Jonah dengan diiringi beberapa prajurit dan dua perwira polisi berseragam, 

salah seorangnya sosok yang tidak asing, 

pak Iskandar.

Perwira yang membawa Degardo tempo hari.

Mrs. Rose menyambut mereka, 

“Apakah Tuan Jonah dan tamu-tamu kita ini mau berjumpa Risty?”

“Aku mau ke Angel dulu, 

baru ke Risty,” 

sahut Tuan Jonah disusul pak Iskandar, 

melewati Mrs.Rose 

dan diriku yang sedang berdiri di depan pintu kamar Risty 

“Ayo, Moi. 

Kita juga ke Angel dulu. 

Aku  tinggal dulu ya Risty, nanti kita tengok lagi,” 

ujar Mrs. Rose segera mengikuti rombongan tamu tersebut, 

ternyata kamar Angel terletak di sebelah kamar Risty, 

tepat di tengah diapit kamar Risty dan kamar Ronaldo.

“Angel harus diperlakukan dengan sabar,” terdengar suara Dokter Stephan dari  kamar tengah tersebut

Aku melongok ke dalam kamar tersebut. 

Kulihat Angel alias Curly yang berambut ikal duduk di lantai, 

tubuhnya nampak kecil dikerumuni pria-pria berbadan besar dari tentara dan polisi.

“Curly, kok di duduk di lantai? Ayo, bangun, 

duduknya di tempat tidur dong,” 

ujar Mrs. Rose setelah menerobos para pria itu, 

lalu duduk bersimpuh mendekati Angel.

Angel alias Curly 

tidak bergeming, 

pandangan matanya nampak kosong menatap tembok di depannya, 

Mrs. Rose mendongakkan dagunya Angel dengan lembut untuk mengajaknya berbicara.

“Curly, kami butuh bantuanmu.” 

kata Mrs. Rose sambil menatap wajah Angel alias Curly.

“Aku takut Mrs. Rose. 

Tugas apalagi yang akan diberikan kepadaku?” terdengar suara Angel dengan lirih.

Saat itu aku beringsut maju supaya bisa memandang wajah Angel dengan jelas, Angel berkulit kecoklatan agak hitam, 

bibirnya nampak tebal, dengan rambut yang keriting kecil seperti lekat di kepalanya, pipinya chubby nampak mengkilat ditimpa sinar lampu. 

Matanya besar hitam dengan bulu mata yang lentik 

serta alis mata yang tebal.

Angel nampak duduk di lantai sambil mendekap boneka di dadanya, 

boneka yang mirip seekor kera berwarna coklat tua, bertangan dan berkaki panjang nampak berjuntai dari sela-sela dekapannya.

Pak Iskandar menyunggingkan senyum, maju ke depan, menyerahkan sebuah bungkusan besar, terbungkus kertas kado serta pita yang indah kepada Angel, 

“Ini kubawakan kado untukmu, Curly.”

Angel mengubah posisinya dari duduknya di lantai, daster yang dipakainya di rapikannya menutupi pahanya, 

lalu dari posisi duduknya, tangannya menggapai, menerima kado dan meletakkannya di pangkuannya. 

“Pak Iskandar, kasus apa lagi yang harus kubantu?”  

mata Angel mengerjap, 

bulu matanya yang lentik turun perlahan mengikuti kerjapannya, 

nampak keraguan di sana.

“Ini apa yang terjadi, dan siapa pelakunya?” 

Rekan Iskandar memberikan secarik kain, 

mungkin robekan pakaian dari seseorang kepada Angel.

“Pembunuhan lagi?” tanya Angel mendesah. 

Ia mendekatkan robekan itu dadanya. 

Matanya mulai bergerak-gerak, 

semakin lama gerakan bola matanya semakin cepat ke kanan ke kiri.

“Ge..etarannya kuat, sekali. Astaga dia mulai dianiaya..ya, 

di pukuli oleh dua orang. 

Kakinya diikat, 

dia..duduk di kursi. 

Dua orang laki-laki itu memukul, 

memakai pentungan aaarg..

mereka memukul tepat di kepalanya.” 

Gerakan tubuh Angel alias Curly menjadi ikut tak terkendali, 

boneka coklat dan kado yang barusan dipeluknya nampak terlempar jauh sampai memantul di dinding tembok. 

Aku terperangah melihat tubuh Angel menggelinjang di lantai, kedua bola mata Angel sampai membelalak tinggal warna putihnya saja, kelihatannya membalik ke atas.

suara gelepar tubuh Angel di lantai mirip orang dipukuli, bluk, blek, 

nampak Angel sudah tidak bisa mengendalikan dirinya, tangannya terlontar kesana kemari, 

sementara kakinya kaku menjejak-jejak.

“Mrs. Rose, dia …

dia bisa mati. 

Kita harus berbuat sesuatu,” seruku dengan ngeri melihat keadaan Angel yang seperti kejang-kejang di lantai.

“Tidak bisa bocah. 

Tunggu sebentar lagi dia tenang.” 

desis Dragono dingin sambil melirikku.

“Dia terjatuh dari kursi.Aduh…lelaki satu mengambil tali dari sakunya dan membelitnya dari belakang. Ah…adduh..aarrgg…hhhh…

tali membelit sangat kuat..ah..ah…

aduh, napasku sulit, aduhh..” Angel menggeliat-geliat diatas lantai sambil memegangi lehernya sendiri.Saat itu Angel bertutur dan seolah-olah memperagakan kejadian yang diceritakannya.

“Mrs. Rose, Angel mencekik dirinya sendiri,” 

aku mulai menangis, ketakutan merambati pikiranku.

Tuan Jonah memberi tanda dengan tangannya, 

Polisi yang di sebelah pak Iskandar mengeluarkan album foto sambil mendatangi Curly, 

suara sepatunya berdetak di lantai, menambah suasana menjadi mencekam.

“Arrghh…arghh…” 

Angel masih menggeliat-geliat di lantai.

“Tenang Curly, aku ada disini, tenang Curly…tenangkan dirimu…,” hibur Mrs. Rose sambil mencoba menahan kepala Angel alias Curly, 

supaya tidak terantuk lantai.

Mataku menatap Tuan Jonah dengan penuh kebencian, 

di saat Angel sedang mengalami kondisi kesakitan di lantai. 

Tuan Jonah justru dengan santainya memanfaatkan kondisi Angel yang sedang lemah. 

Aku berpikir Tuan Jonah ini bukan manusia. 

Aku tahu dia memandang Angel, sama seperti dia memandang Degardo.

Ia tak peduli apa yang terjadi pada orang lain, asalkan tujuan serta kepuasan dirinya tercapai.

Anhel berhasil mengatur napasnya. 

Dadanya nampak naik turun, masih terengah-engah, 

sementara dari lengan sampai pergelangan tangannya nampak berkilat, menandakan keringat yang mengucur.

Dragono ikut membungkuk di sisi Angel. 

”Curly, ini album foto tersangka kepolisian, 

tolong tunjukkan dua orang yang kamu lihat tadi.”

Masih terengah-engah, 

Angel mencermati foto demi foto yang ditunjukkan Dragono. 

Tangannya bergerak, 

“Ini orang yang menjerat pakai tali dan ini orang yang memegangi kaki.”

“Jadi, salah satu anggotaku ada yang terlibat. 

Pantas dia lari dari rumah dinasnya,” ucap pak Iskandar dengan kesal. 

“Kita sekarang cari tahu dimana dia.”

“Kita ke tempat Risty sekarang,” suara Tuan Jonah terdengar memerintah.

“Terima kasih, Nak. 

Aku pergi dulu ya,” Dragono bangkit berdiri dan mengikuti rombongan Tuan Jonah ke arah kamar Risty.

Aku membantu Angel untuk bangkit berdiri. 

Di dalam kamar tinggal kami bertiga, 

aku, Mrs.Rose dan Angel, sementara rombongan sudah beranjak pergi ke kamar sebelah, kamar Risty.

“Terima kasih, siapa namamu?” tanya Angel dengan napas sedikit terengah. 

Mata Angel yang besar dengan bulu mata yang tebal memandangku.

“Aku, Moira.”

“Nama yang bagus, 

dan kamu sungguh beruntung, 

kamu punya Mama yang sangat menyayangimu.”

“Lho, kok tahu? 

Tahu darimana?”

“Syal orange yang kamu pakai. 

Itu buatan tangan Mamamu.”

“Oh iya, benar. 

Ini syal lama, tapi aku senang memakainya.”

Saat Angel menatapku, 

ia tersenyum tipis

“Habis ngeliat wajahku..kok senyum-senyum…kenapa, Angel ?”

“Kamu sungguh wanita yang beruntung. 

Selain Mamamu ada juga seorang pria ganteng yang menyayangimu.”

“Seorang pria? 

Maksudmu Papaku? 

Sayangnya papaku hilang 2 tahun yang lalu. 

Papaku tentara juga. 

Ia seorang kapten marinir…

entah papaku masih hidup atau..”

“Bukan papamu.  

Aku tidak tahu siapa namanya… 

dia orangnya lucu, usil dan ia menghadiahimu lipstik pink yang sekarang kamu pakai…

aku jadi sedikit iri dengan kehidupanmu. 

Aku …

tidak ada seorangpun yang yang menyayangiku.”

Oh, pria yang menyayangiku itu maksudnya Adrian. 

“Ah Angel.” 

Aku memeluk tubuh gadis itu yang bersimbah keringat. Terasa tubuh Angel yang sedikit berlemak, 

tidak seperti Risty yang kurus kering.

“Lain waktu, 

bawalah sesuatu yang pernah dipakai papamu. 

Aku mungkin bisa membantumu mencari tahu, papamu masih hidup atau..” kata Angel perlahan sambil wajahnya menunduk.

“Ya, Angel. 

Terima kasih banyak. 

Lalu kado-kado yang banyak ini, kenapa tidak kamu buka.Mau aku bantu buka?”

Angel alias Curly menggeleng, 

“Moi, Moi tahukan, 

aku bisa menembus masa lalu.

Aku tahu sejarah kado-kado itu. 

Kado-kado itu tidak tulus.Beda dengan boneka Gonzoku ini.” 

Angel meraih  boneka monyet yang ikut terlempar tadi, berwarna coklat kecil bertangan serta berkaki panjang dan memeluknya kembali dengan erat.

Aku perhatikan boneka Gonzo itu sangat sederhana, terbuat dari benang wool yang di rajut, 

bahkan beberapa rajutannya sudah terlepas.

“Memangnya siapa yang memberimu Gonzo kepadamu, Angel?”

“Dia… ibu Angel yang memberiku Gonzo ini. 

Beliau yang merajutnya sendiri gonzoku ini.

Tapi beliau sudah almarhum. Lalu ayah menikah lagi, 

dan ini satu-satunya peninggalan ibuku. 

Saat aku kangen ibu, Gonzoku kudekap. Kebahagiaanku, 

masa lalu akan kasih sayang ibu Angel yang tulus, akan muncul, Moi.”

Air mataku tak terasa kembali mengalir, 

“Angel. 

Kamu bisa mempercayai aku.

Kita bisa bersahabat.”

“Ya Moi, dari sentuhan Moi, aku tahu Moi orang yang tulus.

Masa lalu Moi, 

Moi lalui dengan ketulusan. 

Berbeda dengan orang-orang tadi, tidak ada yang tulus.” 

“Setiap kembali ke masa lalu, penderitaan orang itu aku tanggung. 

Itu rasanya menyakitkan sekali. 

Mengapa di dunia ini di penuhi dengan kebencian?Mengapa tidak ada seorangpun yang mengasihi aku?” 

perkataan Curly seolah menghujam hatiku, 

Curly sosok yang haus kasih sayang.

Aku memeluk dan mengusap-usap punggungnya.

“Angel… 

Besok Moi temani, ya. 

Besok malam kita tidur bersama ya. 

Kalau malam ini aku tidak bisa. 

Soalnya malam ini banyak kerjaan.”

Curly mencoba tersenyum, bola matanya yang besar mengerjap, 

bulu matanya yang lentik seperti bulu mata boneka, aku melihat ada sedikit harapan di sana, 

aku harus sering menghibur dia, janjiku dalam hati.

Aku melepaskan syal orangeku dan memasangkannya di leher Curly.

“Moi…ini?”

“Pakai saja. 

Ini hadiah dariku. 

Aku tulus lho… 

Angel tahu kan kalau Moi tulus memberikannya untukmu? 

Mungkin kamu juga tahu, Moi masih membawa syal orange satu lagi dalam koporku di kamar, 

hanya pola garis-garisnya saja yang sedikit berbeda. 

Besok Moi akan memakai yang satunya. 

Oh, Angel, kamu nampak cantik dengan syal orange ini.”

Aku tidak berbohong. 

Warna terang syal itu membuat wajah Angel turut bersinar. 

Wajah gadis itu seolah bersinar saat tersenyum.

“Terima kasih, Moi. 

Kamu baik sekali.”

“Sampai ketemu lagi ya, Angel,” kataku.

“Kami pamit dulu, Curly.” 

Ujar Mrs. Rose menyambung.

Kami keluar dari kamar Angel. Aku sempat menoleh, dan melihat Angel yang malang mendekap Gonzo serta syal orange pemberianku di dadanya.

***

“Semakin lama, semakin aku yang jadi gila, Mrs. Rose.” kataku senewen.

“Ini tantangan, Moi. 

Tapi menarik kan?” kata Mrs. Rose sambil melirikku.

“Menurutku, 

Angel bisa Moi hipnoterapi supaya dapat meregresi ketakutan dan kepahitan masa lalunya.” aku mengutarakan harapanku.

Aku menggelengkan kepalaku untuk menepis beratnya kepalaku, 

aku memasuki kamar Risty dan melihat apa yang dimaui Tuan Jonah darinya.

Kala kami sampai di kamar Risty gadis itu sedang memeluk sebuah foto di dadanya, dikerumuni Tuan Jonah, Dragono, 

pak Iskandar dan para pria lain.

“Aku ingin tangkap pelakunya dalam kondisi hidup tanpa korban dan tanpa luka,” ujar pak Iskandar pada Risty.

“Grrrrg…grrgg…” suara Risty seperti orang yang menggeram-geram, 

Dengan isyarat Risty meminta ballpoint serta kertas gambar, 

suster Reina dengan cekatan memberikannya.

Tangan kurus Risty bergerak,  menggambar dengan kertas yang dipegangi oleh Suster Reina, 

sementara kepala Risty yang besar di ganjal bantal mendongak ke langit-langit.

“Mengapa pakai alat tulis, Mrs. Rose?” bisikku lirih.

“Memang media dia seperti itu. 

Nanti hasilnya berupa simbol-simbol. 

Lihat, dia menggambar tanpa melihat ke kertasnya.” 

Bisik Mrs. Rose kepadaku.

“Grrgh..grrrgh..” Risty terus menggambar sambil menggeram. 

Kepalanya tersandar di bantal menghadap langit-langit, 

kepalanya terlihat menggeleng-geleng kecil. 

Nampaknya ia juga mengalami kesakitan. 

Aku kembali teringat Angel, gadis itu juga kesakitan saat berjalan melintasi waktu mundur ke masa lalu. 

Baik Angel maupun Risty sama-sama menderita saat diminta mengerahkan kemampuannya. 

Kemungkinan perjalanan melintasi waktu baik ke masa lalu dan ke masa depan membutuhkan energi yang berlebih.

Kondisi Risty sangat lemah dan menyedihkan. 

Kepalanya besar dengan tonjolan urat membiru di kening, rambutnya nyaris botak.

Kupikir Tuan Jonah tak mempedulikan itu. 

Yang ia kejar adalah kasus yang diberikan kepadanya harus segera terbuka, 

titik terang pemecahannya. 

Aku berpikir mungkin di mata Tuan Jonah, Angel, Risty, Vicko, dan kami semua hanyalah orang-orang yang bisa diperas, 

di manfaatkan sampai habis, tak peduli bagaimana taruhan nyawa bahkan sampai tewaspun olehnya, seperti Degardo, 

sementara Tuan Jonah memperoleh banyak uang dari pertaruhan. 

Henry benar, 

aku harus segera meninggalkan tempat neraka ini.

Aku menghela napasku dalam-dalam, berkali-kali, berusaha menentramkan perasaanku.

Tangan Risty berhenti menggambar. 

Sebuah gambar akhirnya diserahkan kepada pak Iskandar, sekilas terlihat gambar yang sederhana, 

ada gambar mirip logo Swastika, roti ulangtahun, gambar matahari, 

dan beberapa gambar lain,  gambar yang mungkin harus diartikan lebih lanjut oleh team kepolisian?

Aku tidak tahu siapa yang bakal menginterpretasikannya.

“Ini artinya apa ya kira-kira? Kau koordinasikan dengan angkatanmu Iskandar. 

Anak buahmu terlibat pembunuhan. 

Memalukan kesatuanmu!” suara Tuan Jonah terdengar keras.

“Ya, aku kondisikan Jonah, 

dia tak akan bisa lari begitu saja” 

sahut pak Iskandar datar, sambil mengusap kumisnya, saat tangan satunya lagi memegang gambar Risty.

Tuan Jonah, pak Iskandar serta rekannya bergegas keluar kamar Risty. 

Meninggalkan Risty yang terkulai lemah di ranjang, energinya nampak terkuras saat perjalanan ke masa depan.

“Dokter..apakah Risty baik-baik saja?” tanyaku.

Suster Reina memijat-mijat tangan Risty, sementara dokter Stephan melihat panel komputer yang menghubungkan dengan kabel yang ada di tubuh Risty, 

“Dia pingsan, 

lari ke masa depan menghabiskan energinya. Keadaannya tidak begitu buruk, tolong kalian bisa berkunjung ke Curly, 

supaya dia juga terhibur.”

“Kami baru saja menemui Curly tadi.” ujar Mrs. Rose menerangkan.

Air mataku menitik menatap kondisi miris Risty. 

Aku jadi teringat suara gadis yang datang dalam mimpiku serta meminta tolong padaku. 

Ia telah mengatakan meminta tolong…bukan untuk dirinya sendiri, 

tapi tolong kami. Kami_artinya lebih dari satu orang.

Berapa banyak orang yang harus aku tolong? 

Dan siapa-siapa saja mereka? 

Dan…bagaimana cara agar aku bisa menolongnya? 

Sanggupkah aku?

Risty masih terkulai, sepasang matanya nampak terpejam. 

Napasnya nampak naik turun dengan teratur dalam dadanya yang tipis. 

Kedua tangannya yang tinggal kulit membalut tulang tergeletak di sisi kanan kiri tubuhnya, 

dengan beberapa kabel serta selang infus terlilit di sana.

Ah, Risty bukalah matamu…beri aku petunjuk lagi yang lebih jelas. 

Petunjuk yang bisa aku pahami. 

Apa yang bisa aku lakukan untukmu serta teman-teman lainnya, Risty?

Setitik air mata menitik dari sudut kanan mata Risty!