Henry tampak sangat tergoncang, walau dia berusaha tegar, nampak dari raut wajahnya kecemasan.
“Henry, tenangkan dirimu, malam ini jangan dengar suara mereka, biarlah mereka merencanakan yang jahat.
Suatu saat pasti terbongkar.
Lagipula di sini keamanan tingkat tinggi.
Kita justru aman.” hiburku.
“Ya Moi, dan lupakan juga niat kita untuk melarikan diri, kita bisa mati konyol disini atau di tengah lautan.
Yang membuatku sangat terguncang kemampuan Alfa sangat hebat dan beberapa orang yang mungkin ada disini sudah bisa bertelepati.
Kemampuanku sudah menjadi biasa di antara mereka.
Ini gila Moi.”
Aku tidak menjawabnya, memang sangat mengherankan Henry yang ahli telepati mempunyai banyak rival dengan kemampuan telepati disini, bahkan Alfa mengunggulinya.
Sementara angan-angan kami semakin jauh, keinginan melarikan diri adalah hal yang konyol saat ini.
Aku berpamitan dengan Henry, pikiranku terbebani ucapan Henry tentang konspirasi jahat yang ada di pulau ini.
Orang yang disebut sebagai Alfa, nampaknya sangat kuat kemampuan metafisikanya.
Entah apa yang akan dilakukannya, dan siapa teman-temannya menjadi misteri.
Aku berharap entah bagaimana caranya bisa segera pergi dari pulau ini, secepatnya.
***
Sore itu, setelah beristirahat, aku mengunjungi Ron.
Ron sedang asyik dengan gadgetnya di tempat tidurnya.
“Yuhuu Ron, bantu kak Moi yuk.” ajakku.
“Bantu apa kak Moi.” jawab Ron masih asik dengan gadgetnya.
“Ayo Ron, bantu kak Moi main air di kolam.”
sahutku sambil menggandeng tangannya.
Ronald menurutiku, gadgetnya diletakkan dan mengikuti aku keluar.
“Kita jemput kak Angel ya, Ron.”
Karena kamarnya bersebelahan,
maka kami segera masuk ke kamar Angel.
“Angel, selamat sore,” sapaku.
Seperti biasa Angel duduk di pojok kamarnya, di lantai.
Aku berpikir apakah karena badan Angel yang hangat butuh lantai yang dingin untuk mendinginkan tubuhnya?
Angel mengenakan syalku di lehernya dan boneka Gonzo dipeluknya erat.
“Angel, kok duduk di lantai lagi, dingin loh.
Nanti kamu masuk angin.”
Angel tak beranjak, pandangan matanya agak menunduk dan terarah ke tembok,
hanya bulu matanya yang lentik dan tebal seperti boneka nampak bergerak naik turun.
“Moi dan Ron ingin mengajak Angel keluar,
ayo kita main keluar,
di kolam renang depan kamar, yuk.”
rayuku sambil membantunya berdiri,
sementara Ron sudah menyelinap keluar.
“Kolam renang ya Moi.” ucapnya datar,
namun wajah Angel kulihat berubah,
matanya yang berbinar, menunjukkan Angel senang.
“Ganti dastermu dengan kaos dan celana pendek saja.
Supaya kita bebas di air.”
Aku membantu mengeluarkan kaos dan celana dari lemari,
tak lupa kubawakan perlengkapan ganti seperti daster, handuk dan sabun mandinya.
Sementara aku memasukkan pakaian Angel ke plastik.
Angel mengganti pakaiannya dengan gerak perlahan, memang aku harus sabar dengan geraknya yang lambat.
Beberapa waktu kemudian Angel menggenggam tanganku erat, telapak tangannya terasa hangat di genggamanku,
kami berjalan menuju ke kolam renang yang berjarak 10 meter dari depan kamarnya.
Di ujungnya ada tempat kamar mandi terpisah pria dan wanita masing-masing satu kamar mandi.
“Sebentar ya Angel, tunggu disini.”
Aku melangkah ke kamar mandi wanita,
menaruh tasku yang berisi pakaian dan tas plastik Angel di hanger kamar mandi.
Kolam renang ini berhadapan dengan kamar Risty,
Ron dan Angel sendiri,
aku menyusul balik ke arah Angel berdiri mematung dan menunduk melihat air kolam.
“Aah, kolam renang akhirnya aku masuk kedalammu,” bisik Angel sambil turun ke dalam air perlahan.
Aku tertawa, “Kita sore ini main di sini ya, Angel.
Airnya hangat kan? “
Kulihat Ron sudah loncat
dan suara air berdebur dan muncrat kemana-mana saat ia terjun kedalamnya.
“Aku suka main air sebenarnya,
walau letak kolam di depan kamarku,
tetapi tidak ada yang mengajakku ke sini,
selain kamu Moi.”
kata Angel sambil matanya tertuju ke air yang menggenangi setinggi dadanya.
“Angel pegang tanganku,
kita sama-sama tahan napas lalu jongkok lalu berdiri lagi. Ok?”
Angel tersenyum, “Siap.”
Kami berdua sama-sama jongkok, dan berdiri dengan cepat.
Seluruh tubuh kami basah.
“Sekarang aku pijat ya. Tubuh Angel agak kaku,
biar lemas sedikit.”
aku menggeser tubuh Angel untuk membelakangi ku,
lalu mulai kupijat pundaknya, lengannya kugoyang-goyangkan dengan kedua tanganku untuk memperlancar sirkulasi darah.
Air kolam yang hangat terkena panas matahari membantuku melakukan terapi memijat otot Angel.
Angel diam,
wajahnya menunduk.
Aku meneruskan pijatanku ke punggungnya,
tubuhnya dari pundak, lengan dan punggung terasa kaku seperti kayu.
Aku ingin mengurangi penderitaan Angel.
Pemudi ini sangat berat beban di jiwanya.
Aku mengerti kesakitan batin Angel,
Angel yang banyak di bully di masa lalu, kehilangan mamanya yang menyayanginya.
Papanya yang kasar dan tidak bertanggungjawab ikut membuatnya lebih terpuruk.
Angel punya perasaan sangat halus bahkan saat masuk ke masa lalu empatinya yang tinggi membuatnya terlibat menjadi diri seseorang yang ditelusurinya.
Angel mempunyai empati psikis yang sangat tinggi bahkan bisa masuk ke dalam dirinya.
Ah semoga terapiku berhasil dan Angel mendapat sedikit kebahagiaan.
Ron dengan kaos dan celana pendeknya yang basah kuyup beraksi lagi, ia naik lagi ke atas kolam, lalu terjun ke kolam renang dengan cara melompat setinggi mungkin.
Deburan air membasahi wajahku dan Angel.
Ekspresi Ron begitu ceria.
Sepasang kakinya mencipak-cipak air dengan kuat, terlihat energinya sangat besar.
Aku senang Ron bisa menyalurkan energinya dengan baik di kolam ini.
“Ayo kak Moi, kak Angel menyelam bersama,
kita kuat-kuatan tahan napas” ucap Ron gembira.
Anak itu berdiri berjinjit agar bisa bernapas di kolam yang dangkal.
Tanpa ragu Ron menahan napasnya, lalu menekuk lututnya.
Lalu menjejak kembali ke atas.
Rambut Ron basah semua.
“Kak Moi, apakah kita punya bola? Tentu asik ya kalo bisa main bola, tangkap lempar disini.”
“Waduh Kakak nggak punya bola, asyik juga main lempar tangkap bola ya Ron,
nanti kakak mau titip dengan Tuan Jonah.”
Dua jam kemudian.
Aku, Angel serta Ron telah selesai mengganti pakaian basah kami.
Aku melihat wajah Ron, dia nampak sangat bahagia, senyumnya selalu merekah, dengan handuk di atas kepalanya yang masih basah.Aku harap energi dan tekanan mental Ron yang besar bisa terbuang dengan kegiatan di kolam renang sore ini.
Ron seharusnya tidak boleh ada di tempat ini,
aku mengharapkan kami semua bisa segera meninggalkan pulau ini.
Hanya…bagaimana caranya?
Sebuah ketukan langkah ringan yang khas di belakangku, membuatku menoleh.
“Hei, Mrs. Rose,” sapaku.
“Wah, asiknya yang habis main di kolam,” Mrs. Rose tersenyum.
Ron tertawa.
Angel mengeringkan rambutnya dengan handuk, tatapan matanya tetap menunduk.
“Haha… iya, Mrs. Rose.
Tadi seru main air di kolam renang sama Angel juga Ronald.”
“Lalu, rencana mau observasi siapa lagi, Moi?”
“Hari ini cukup. Besok aku mau ke Risty ,Vicko dan Leman, Mrs. Rose.”
“Ok, pilihan berat.
Soalnya Tuan Jonah akan ikut mengawalmu bertemu dengan Vicko, Moi.”
Kami sampai di depan kamar Angel.
“Angel balik ke kamar dulu.” kata Angel sambil membuka pintu kamarnya.
“Ok, Angel.
Selamat beristirahat ya.
Kapan-kapan kita main-main di kolam renang lagi.” kataku sambil menepuk pundaknya.
Ok, Angel, sampai besok lagi,” Mrs. Rose melambai.
Angel tidak menjawab, terlihat dagunya sedikit mengangguk lalu dia masuk dan menutup pintu kamarnya.
Setelah itu Ron juga masuk ke kamarnya.
Saat mereka masuk ke kamar, terasa menyakitkan di hatiku bahwa mereka tidak seharusnya disini, di tempat yang menyeramkan ini.
Aku berjalan lambat beriringan dengan Mrs. Rose ke arah depan, menuju kamar kami,
“Seharusnya mereka tidak di tempat ini Mrs. Rose, bukankah tempat ini justru memperburuk kejiwaan mereka.”
Mrs. Rose tidak menjawab, dia berpaling sambil mengangguk pada dua prajurit yang berjaga.
“Kegiatan dengan Curly dan Ron barusan bagaimana Moi?” tanya Mrs. Rose mengalihkan pembicaraan.
“Ya biar mereka refresh
Mrs. Rose,
tubuh Angel kaku semua, terlalu banyak meringkuk di kamar membuatnya jadi seperti itu.
Otot Angel sudah lemas sehabis kuterapi.
Sekarang tangan Moi yang pegal, tetapi Moi senang melihat Angel menjadi bersemangat.Capek ku terbayar dengan kebahagiaan Angel.” kataku sambil meregang-regangkan tanganku.
“Ron juga bahagia, Mrs. Rose, energinya yang besar tersalurkan di kolam renang.”
Malam itu aku tidak mau mengganggu Henry dengan kontak telepati karena ia butuh istirahat setelah kemarin malam dia diserang oleh Alfa.
Aku melewatkan malam dengan membuka laptopku dan mempelajari isi flashdisk.
***
Esok sesudah sarapan pagi aku dan Mrs. Rose mengunjungi Risty.
“Selamat pagi Risty,
pagi suster Reina,” sapaku.
Risty sedang berbaring matanya terpejam, ada papan untuk menulis tergeletak di dadanya yang tipis.
Risty membuka mata
dan berusaha tersenyum.
“Pagi Moi, Mrs. Rose,” sahutnya lirih.
Gadis ini nampak makin lemah dari kondisi terakhir saat aku menjenguknya. Namun sepasang matanya tetap memancarkan semangat.
“Hallo Risty, aku datang lagi,” ujar Mrs. Rose.
“Hari ini kamu kelihatan lebih segar,” ucapku berusaha menumbuhkan semangat Risty.
“Ya, syukurlah.
Kondisi Risty ini lumayan baik,” sahut suster Reina.
“Ah, Moira akhirnya kita bertemu lagi, aku senang sekali bertemu denganmu, hai pemilik masa depan.” sapa Risty.
“Aku?
Aku pemilik masa depan? Bisa saja kamu ini.
Lagi sibuk apa nih?” tanyaku menatap sebuah buku gambar beralaskan papan dan ballpoint di tangan Risty.
“Aku bikin buku, Moi.”
“Waw, keren.Dulu aku juga suka nulis.Bukan buku sih, tapi tulisan pendek artikel psikologi untuk koran lokal,” sahutku antusias.
“Dimuatkah?” tanya Risty dan Mrs. Rose bersamaan.
Aku tertawa dan mengangguk,
“Aku kirim 4 artikel, dan semuanya dimuat.”
Mrs. Rose menepuk pundakku
“Hebaaat!Pernah nulis cerpen, Moi?”
Aku menggeleng,
“Aku tidak bisa berimajinasi tinggi, apalagi yang romance-romance.”
“Kalau thriller bagaimana?” tanya Risty.
Aku tersenyum,
“Aku tidak berani menulis yang begituan.
Aku bisa ketakutan sendiri nanti, hehe….”
“Risty bukunya tentang apa?” tanya Mrs. Rose.
“Ini masuknya apa ya…
Ini buku banyak gambarnya, mirip komik,
ini kisah tentang masa depan, Mrs. Rose.
Gambaran masa depan umat manusia.”
Mrs. Rose berdecak, “Gambaran masa depan umat manusia?
Wahh, ini fiksi atau non fiksi nih, Risty?”
Suster Reina menyetel ranjang Risty dengan remote sehingga posisi kepala Risty lebih tinggi dari kakinya.
“Hhhh..sungguh banyak yang ingin kutuangkan sebenarnya.
Saat aku masih cantik,
dan tubuhku berisi,
banyak pemuda yang mengejarku.
Kenangan akan mereka kadang terlintas dalam pikiranku.Tapi itu masa laluku, sekarang aku mengejar masa depan.”
ucap Risty, matanya terlihat melirik ke atas, seolah mengingat sesuatu.
“I feel you, Risty.
Masa muda adalah masa yang paling indah,“
ucap Mrs. Rose.
“Saat itu ada seorang temanku,
kami saling menyukai.
Dan saat aku sakit-sakitan seperti ini, oleh keluarganya, aku dianggap seorang gadis tanpa masa depan.
Beberapa bulan yang lalu kudengar dia sudah punya pacar lagi.
Jadi hubungan kami selesai.”
“Risty,
engkau sendiri adalah masa depan,
siapa yang tidak mau denganmu,
sebentar lagi kamu pasti pulih, sehat, cantik, anak Jendral yang hebat.”
ujarku menyemangatinya.
“Sebentar lagi aku akan menjalani operasi otak.
Itu bukan operasi yang ringan.
Ini operasi pertama kali di dunia yang di rahasiakan karena ini hak pasien.
Aku tidak mau mendahului, apakah aku bisa melaluinya dengan selamat atau tidak, sehat atau tidak,
cacat atau sempurna.
Aku terlalu takut untuk berada di sana, di masa depan.”
Suasana terasa hening sesaat.
Kata-kata Risty seolah mengungkapkan kebingungan batinnya.
“Kalaupun probabilitas yang terjadi di masa depan adalah terburuk, paling tidak ada yang bisa mengenangku,
bila aku tiada nanti lewat buku ini,” ucap Risty memecah kesunyian.
“Sss…jangan bicara begitu dong, Risty. Kamu harus semangat.Kamu pasti bisa melalui operasi ini,” hibur Mrs. Rose.
“Jadi bukumu ini berdasarkan kemampuanmu menjelajah waktukah, Risty?” tanyaku.
Risty tersenyum, “Waktuku untuk menjelajah waktu tidak banyak, Moi.
Dan tentunya aku tidak berani menulis apa adanya di buku ini. Seseorang yang tahu masa depan tidak boleh mengungkapkan apa adanya.”
“Mengapa tidak boleh terus terang? Bukannya hal itu malah bagus, orang jadi penasaran tentang hal apa yang akan terjadi ke depannya. Bukumu bisa best seller nanti karena sangat akurat kebenarannya.
Kau bisa menjadi Nostradamus milenial.” ucapku.
“Hal itu sudah ada ketetapannya tidak tertulis, Moi.Kalau aku melanggar hukum itu, nyawaku adalah taruhannya.
Dalam dimensi waktu aku tidak boleh mengatakan apa adanya. Di sana ada jembatan waktu Moi. Semakin aku apa adanya bercerita tentang masa depan, jembatan waktu itu memendek. Kalau semakin pendek jembatan itu, akulah yang kehabisan waktu di dunia ini.”
Aku baru mengerti mengapa Risty selalu menjawab kasus-kasus yang diajukan padanya dengan simbol-simbol gambar bila diminta untuk melihat kejadian masa depan.
“Tapi saat ragaku kehabisan waktu, jiwaku ada di keabadian, Moi.
Tidak ada awal dan akhir.Tidak ada batasan untuk waktu.Suatu dimensi yang indah untuk saat ini masih kunikmati dunia ini.”
Aku tercekat, insan berbakat disini sangat kompleks, kadang pikiranku butuh waktu untuk mencerna apa yang mereka ucapkan.
Bagiku Risty mirip filsuf, kata-katanya bagaikan filsafat.
“Dan kau Moi,
kau adalah bagian dari masa depan, masa depan ada di tanganmu.
Masa depan sedang dipertaruhkan, dan kamu ada didalam pertaruhan masa depan.
Aku pesan kepadamu Moi, probabilitas dari probabilitas atau peluang untuk mendapatkan peluang
di saat kamu menyusuri lorong waktumu,
bila pilihanmu benar…
lorong waktumu panjang,
bila pilihanmu salah…
lorong waktumu pendek.
.Aku berharap pilihanmu benar.”
Aku terdiam belum bisa berbicara, perlu waktu lagi untuk mencerna kalimat Risty, akhirnya kuberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan,
“Bagaimana supaya aku dapat memilih yang benar, atau pilihanku benar Risty ?”
“Mengapa manusia berbeda dengan mahluk lain Moi? Mengapa umat manusia masih ada?”Risty balik bertanya.
“Karena manusia memiliki keluhuran budi, yang didapat dari hati nurani.Keluhuran budi menciptakan etika, hukum dan berbagai produk hukum lainnya.
Hati nurani yang murni saat membuat keputusan yang berdampak kedamaian bagi sesama, ikutilah itu.
Bila keputusan itu bakal berdampak kerusakan, kemarahan, jangan diikuti.
Jangan tidak memilih atau diam, bergeraklah dan pilih pilihan yang paling minimal resikonya.Milikilah hati nurani yang murni, Moi.”
lanjut Risty panjang lebar.
Aku kembali tertegun,
Risty ini pandai berfilsafatpengalamannya menjelajah waktu ke masa depan membuatnya sangat dewasa.
Aku teringat saat berbicara dengan Vicko, aku mendapati Vicko orang yang genius yang selalu melangkah berpikir jauh tetapi irit bicara.
Namun dengan Risty ini terlalu banyak ilmu baru yang kudapat tetapi memusingkan diriku.
“Sayang sekali, andai kamu mau menuliskannya menjadi novel, pasti spektakuler,” ucapku.
“Oh ya, Risty, aku tahu kamu putri dari Jendral Manton yang membiayai seluruh operasional Chimera ini.
Mengapa Risty tidak meminta kepada papa untuk mempercepat penanganan sakit Risty, untuk segera dioperasi supaya sembuh dan tidak sakit lagi?”
“Hhh…semua ada waktunya, Moi. Waktunya belum tepat.Dan aku tidak boleh melalui jembatan waktu yang berujung pada nasibku, seperti yang sudah aku katakan tadi.Dokter yang mengoperasi mungkin belum siap.Tubuhku belum pada performa yang baik, semua ada momentumnya.
Aku baru mencari momentumnya.
Bila pilihanku salah dalam memilih waktu, itu bisa mempercepat memendeknya jembatan waktuku bahkan bisa meruntuhkan jembatan waktuku.Bisa jadi jembatan tersebut sangat sulit dilewati.
Bila dipaksakan justru hal-hal yang buruk bisa segera menghampiriku, dan orang-orang yang harusnya kutemui di masa depan terdampak. Peluang yang kudapat bisa jadi cacat permanen bahkan kematian mengakhiri perjalananku.”
Risty hari ini mampu mengucapkan kalimat-kalimat panjang. Aku turut senang bisa berbincang lama.
Aku menggenggam tangannya yang kurus. “Mengenai buku itu Risty, bagaimana bentuknya bila Risty tidak boleh berkisah apa adanya, bicara tentang masa depan?”
“Bukunya isinya simbol-simbol gambarkah?” tebak Mrs. Rose.
Risty tersenyum, “Iya aku menggambarnya beberapa dalam bentuk komik,
ada juga simbol disitu.”
“Judul bukunya apa, Risty?” tanyaku.
“Future Paranoid.” jawabnya cepat.
“Waahh, judulnya sungguh bagus sekali,” ucapku kagum.
“Sudah selesai belum bukunya?” tanya Mrs. Rose.
“Hampir selesai, Mrs. Rose. Semoga sebelum aku pergi dari sini sudah selesai,
saat selesai aku ingin memberikan copiannya pada pejuang dan pahlawan masa depan yaitu Moira,
Moira Gepardi.”
Aku terharu, seorang anak Jendral pucuk tertinggi dari pulau Chimera menghargaiku, bahkan nama lengkapku dia hapal.
“Semangat Risty, kamu pasti bisa. Kalau ada sesuatu yang perlu aku bantu, aku mau bantu kok. Misalnya untuk mencari ilustrator sampul, editor naskah dan lain-lainnya.”
Risty menatapku.Tatapannya berbeda dengan tatapannya yang biasa.“Trims, Moi, untuk supportmu. Aku memang butuh bantuanmu, juga bantuan Mrs. Rose.
Tapi bukan seputar buku, apakah boleh?”
“Tentu boleh,“ sahut Mrs. Rose segera.
Aku menganggukkan kepalaku. “Mau dibantu apa, Risty?”
Gadis itu memejamkan kedua matanya.“Sekarang belum bisa aku katakan.Tapi nanti pada waktunya, aku pasti akan meminta bantuan kalian berdua, juga teman-teman yang lainnya.”
“Apapun itu, aku siap membantumu.Aku pasti akan hadir dan membantumu sebisa mungkin, Risty,” ucapku meyakinkannya.
“Semoga sebelum aku dioperasi, semua alurnya sudah jadi. Dan nanti Moira juga Mrs. Rose akan aku beri bukunya kalau sudah dicetak. Bukuku masuk ke genre science fiction jadi termasuk fiksi.”
“Boleh lihat bukumu, Risty?” tanyaku.
Risty mengangguk.
Aku mengambil buku di tangan Risty dan membuka-bukanya, walaupun aku tidak mengerti apa maksud dari gambar-gambarnya tetapi sepintas kulihat sangat futuristik, disitu ada gambar robot dan hubungannya dengan manusia, sketsanya sangat polos mirip sketsa anak berumur 6-8 tahun, tetapi disitu ada lompatan gambar yang asosiasinya membingungkanku.
“Wiiih keren. Gambarnya sebanyak ini dan sangat bagus. Aku menulis pakai laptop saja kadang malas banget Risty.Hebat, semangatmu sungguh menginspirasiku, Risty.”
Mrs. Rose ikut melihat-lihat buku Risty.Gambar yang unik ada disana, bercampur dengan simbol-simbol.
Aku belum pernah melihat karya seganjil itu, gambar-gambar yang sulit aku cerna maknanya secara sepintas.
“Risty bolehkah aku meminta padamu ?” pintaku kepadanya.
Risty melirikku, “Minta apa Moi, semoga kopian buku ini kuserahkan padamu dalam beberapa hari lagi.
Kau juga bisa bertanya kepadaku soal papamu, asal kau bawakan sesuatu barang yang berhubungan dengannya.”
Aku terbelalak, aku rasa Risty sangat tahu keinginanku bertanya tentang bagaimana kondisi papaku, lagipula beberapa hari lagi Tuan Jonah datang membawa titipan ku.
“Bukan itu saja Risty, aku sangat menghargai bantuanmu, dan satu hal lagi yang kupinta, mintalah pada ayahmu Jendral Manton supaya insan disini dibebaskan, mereka butuh pendampingan dari psikolog dan psikiater di masyarakat.”
Risty terdiam, matanya seolah menerawang, lalu dia menjawab dengan perlahan, “Papa Manton dulu memelihara burung banyak sekali.Burungnya dalam satu kandang besar berukuran seperti kamarku ini, suara burung tersebut saat berkicau seolah lagu sedih bagiku.Karena aku kasihan pada mereka maka kuputuskan untuk membuka sangkarnya supaya mereka mendapat kebebasan.
Tahukah apa yang terjadi?
Beberapa hari kemudian bangkai mereka aku temukan di sekitar rumahku, dekat pepohonan rimbun depan rumah, di teras, ada juga yang seolah ingin kembali ke kandangnya.
Jadi mereka tidak mampu hidup di alam bebas, Moi.
Seperti yang kubilang semua ada momentumnya Moi, tidak sampai satu purnama setelah hari perayaan si manis, niscaya kebebasan sejati diperoleh.”
Aku kebingungan arah pembicaraan dan arti dari omongan Risty tersebut.
Tiba-tiba kulihat mata Risty membelalak keatas.
Tubuh Risty merosot dari bantalnya.Ballpointnya lepas dari tangannya.Tangannya kulihat bergerak-gerak kecil.
Suster Reina menyeruak ke ranjang Risty.
“Risty kelelahan berbincang-bincang dengan kalian,” ucap suster Reina, sambil menekan tombol darurat di dinding.
“Aduh…maaf….maaf….,” kataku menyesal.
“Maaf, Ms. Moira dan
Mrs. Rose, suhu tubuh Risty naik lagi. Demam mulai menyerang.Aku sudah memanggil dokter Stephan untuk datang. Maaf, Risty sekarang harus istirahat.” ujar suster Reina sambil memasang masker oksigen.
Mrs. Rose memegang nadi Risty dan melihat panel-panel di layar monitor.
Wajahnya tidak memancarkan kecemasan, karena mengetahui kondisi Risty masih bagus.
Risty terlihat membuka matanya lagi lehernya yang terkulai mulai terangkat, matanya melirik kami.
“Ooh, ya.Maafkan kami ya Risty, maaf Suster Reina,” ujarku dengan rasa bersalah.
“Okay, Risty cantik, aku pergi dulu ya.Besok-besok aku datang lagi.Semoga bukunya segera jadi ya. Selamat beristirahat,” ucap Mrs. Rose.
“Istirahat dulu Risty, nanti bisa sakit lagi,” Suster Reina mengingatkan.
Tangan Risty melambai pada kami yang beringsut keluar, sementara dokter Stephan datang dan melihat kondisinya.
Aku melangkah keluar dari kamar Risty.
Aku berpikir tentang Risty, gadis itu terkadang nampak lemah serta rapuh. Sekaligus terkadang nampak tenang, cerdas serta ahli berfilsafat,
sulit menggambarkan perasaanku tentang Risty ini.
Gadis itu rasanya tahu lebih banyak segala hal di Chimera ini, hanya saja ia tak bisa mengatakannya padaku, karena sebuah alasan yang aku tahu, yakni hal itu bisa mengurangi umurnya.
“Moi, untuk kunjungan ke Vicko besok,
aku mau mengingatkan kamu.
Vicko itu orang yang berbahaya.
Menurutku,
sikap kamu yang memilih hanya berdua saja dengan Vicko itu kurang tepat,”
ujar Mrs. Rose.
“Mrs. Rose kan tahu,
untuk hubungan psikolog dan klien harus ada privacynya.”
“Iyaa, Moi.
Tapi Vicko itu bukan klien biasa.
Dia ahli bela diri, dan jangan lupa…dia adalah jagoan duel dalam enam belas kali duelnya.
Artinya, dia sudah terbiasa membunuh orang.
Kami mengkuatirkanmu.”
Aku memaksakan seulas senyum di wajahku, sambil berpikir bahwa strategiku ialah menjalin kepercayaan dengan Vicko,
mencoba untuk mengorek data dari Vicko sebanyak mungkin, karena aku tidak tahu dan bimbang siapa yang layak dipercaya,
selain Henry.
“Trims. Mrs. Rose.
Aku akan lebih berhati-hati.” jawabku.
Aku kembali ke kamarku sambil mendapat sedikit semangat bahwa akses untuk bertanya tentang kondisi papaku di masa lalu dengan Angel, atau kondisi masa depan papaku dengan Risty sudah di depan mata, tinggal beberapa hari lagi saat Tuan Jonah membawa saputangan papa.