Chapter 21 Emba Kilara dan Jendral Manton

“Aku, aku menyerah.” kata Rado sambil tangan kirinya terangkat keatas sementara tangan kanannya yang terborgol dengan Codi tetap tergantung dekat lantai.

Prajurit menghujani Rado dengan pukulan tonfa dan menyuruhnya tiarap di lantai.

Satu tembakan bius dihujamkan ke punggungnya sebelum Rado benar-benar tidak berkutik.

Tak berapa lama para prajurit menyeret tubuh Rado keluar dari ruang pemeriksaan.        

Aku memungut syal Rado yang tergeletak di lantai.

Mrs. Rose dan dokter Stephan mendekat ke ruang pemeriksaan melihat Codi dan Doni yang masih tergeletak di sana.

Aku dan Mrs. Rose melihat kondisi Doni yang lemas terkulai dan mulai membuka matanya terdengar suaranya merintih-rintih.

“Hhhh sakit dadaku, si Rado memegang dada kiriku, lalu aku langsung shock, hahahaha…” kata Doni sambil memegang dadanya.

Mrs. Rose melihat jam tangan dan memegang pergelangan tangan Doni.

Sementara itu Dokter Stephan memeriksa keadaan Codi, bau bakaran mirip barbekyu memenuhi ruangan pemeriksaan.

Mrs. Rose mengalihkan perhatiannya ke Codi saat dokter Stephan melakukan CPR.

“Moi panggilkan suster Reina, ini kondisi darurat, nafas Codi terhenti.” seru dokter Stephan kepadaku.

Aku berlari ke depan memanggil suster Reina, 

aku tidak berani masuk lagi ke ruangan pemeriksaan, selain baunya tidak enak karena bau daging manusia terbakar, aku juga tidak tahan melihat perjuangan mendekati kematian Codi.

Aku mendekati Jeff yang sedang memeriksa panel mesin sidik jari yang terbakar akibat serangan elektrokinesis dari Rado.

“Wah sirkuit terpadunya terbakar, harus beli baru, tidak bisa diganti ic nya, aku harus titip pada Tuan Jonah.

Jeff langsung melakukan panggilan video kepada Tuan Jonah mengadukan hal yang terjadi di Chimera, prajurit Enricko mendekat.

“Moi, ini Tuan Jonah ingin bicara denganmu.” tiba-tiba Jeff mencolek pundakku.

Aku, Jeff dan Enricko melihat ke tablet Jeff, Jeff menggiring kami ke arah ruang gym supaya tidak terganggu lalu lalang prajurit dan proses upaya medis Codi oleh dokter Stephan.

“Bocah, begitu kacaunya Chimera saat kutinggal beberapa hari saja.” wajah Tuan Jonah nampak memerah di layar.

“Moi dan Mrs. Rose sudah keluar saat itu Tuan Jonah, pintu tertutup dan mesin scan sidik jari nya meledak, jadi pintu terkunci.” jawabku membela diri.

“Jeff coba putar rekaman CCTV dan suaranya.Aku ingin tahu siapa yang bikin suasana kacau seperti ini.Kita lihat saja.”Tuan Jonah memerintah dengan wajahnya yang cemberut.

Jeff menggeser-geser layar Apple dengan jarinya, sejenak kemudian tampil rekaman CCTV nya.

Nampak detik-detik aku dan Mrs. Rose keluar dari ruangan pemeriksaan.

“Boss Codi tahukah kau sesuatu yang tidak biasa?” terdengar suara Rado saat Codi membuka satu tali plastik di tangan kiri Rado dan menggantinya dengan borgol baja yang ditautkan ke tangan kanan Codi.

“Apa?” bentak Codi sambil melotot.

Doni mendekat ke Rado, secepat kilat tangan kanan Rado memegang dada kiri Doni, Doni terpental jauh ke tembok.

Codi bereaksi dengan mengangkat tongkat tonfa dengan tangan kirinya, tetapi Rado cukup dengan menyentakkan tangan kirinya, terlihat Codi terhentak dengan bola mata membelalak. 

Rado menyetrum dengan media borgol di tangan mereka.

Saat Codi terjengkang di lantai, Rado memegang kakinya untuk menyetrumnya lebih lanjut.

“Seperti yang anda lihat Tuan Jonah, Codi yang lengah dengan memasang borgol baja ke tangannya sendiri dan tangan Rado.Ini bukti nyata Moi tidak bersalah.” tukasku.

“Oke bocah, kau bebas saat ini, hanya kau tidak boleh bertemu dengan Leman, Vicko dan Rado sampai aku datang.Kita kekurangan prajurit sekarang.” suara Tuan Jonah seolah menggerutu.

“Tuan Jonah bagaimana kalau aku hajar sampai mati si Rado, sebelum kubuang ke laut?” tanya Enricko.

“Jangan Enricko, justru saat ini jaga dia baik-baik, dia asetku untuk pertarungan nanti.

Saat ini aku sudah dapat  dua petarung, beberapa hari lagi biar dia menjadi cadangan saat pertarungan, untuk bertemu dengan sang juara, pasti penonton puas akan 3 babak pertarungan ini.”

Aku bergidik ngeri, Tuan Jonah benar-benar ingin menghabiskan penghuni pulau ini dengan pertarungan hidup dan mati.

“Bagaimana kondisi Codi saat ini, Enricko ?” tanya tuan Jonah, prajurit Enricko segera menyelinap keluar untuk melihat kondisi Codi.

“Jeff waspadalah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan bocah ini, karena dia kerap berinteraksi dengan penghuni sel belakang, mereka memanfaatkan kelengahan prajurit saat dia meneliti mereka.”

“Tuan ada dimana sekarang? Bagaimana kondisi Dragono?” tanya Jeff.

“Aku ada di gedung Departemen Pertahanan, hendak bertemu dengan Jendral Manton.

Dragono sudah menjalani operasi, dagunya di pasang plat stainless.

Dia orang yang kuat, pemulihannya cepat.Bila urusanku selesai, aku cepat kembali, mungkin besok atau dua hari lagi.” jawab Tuan Jonah.

Enricko datang dan melaporkan kondisi Codi, “Tuan Jonah, Codi berhasil diselamatkan, jantungnya sudah kembali berfungsi, tetapi keadaannya kritis, harus segera ditangani. 

Lutut ke bawah terbakar. 

Dia harus dibawa ke ibukota untuk perawatan lebih lanjut.  Mohon akomodasi helikopter bisa di bawa kesini, untuk evakuasi Codi.”

“Tidak semudah itu Ricko, pengiriman helikopter itu prosedural, perlu koordinasi dari pihak pertahanan, angkatan udara, otoritas penerbangan. 

Pakai speedboat saja, isi dengan bahan bakar yang ada di ruanganku, akses pintu aku buka.

Utus Rose dan suster Reina untuk mendampingi, Rupert yang mengemudikan, nanti aku koordinasikan ambulan untuk menjemput di dermaga.” perintah Tuan Jonah taktis.

Enricko bergegas pergi untuk  koordinasi perintah Tuan Jonah.

“Aku suruh ajudanku disini untuk mengambil barangmu bocah, kuharap sudah siap di rumahmu.Aku tidak mau menunggu-nunggu lagi, begitu tidak siap, kutinggal.”Tuan Jonah nampak kesal.

“Iya, Tuan Jonah mestinya sudah siap, kalau dari titipan Moi ke Mama pasti sudah semua.

Mama orangnya tertib dan disiplin kok, hanya ada satu barang yang lewat expedisi nanti Moi cek sudah sampai belum, tapi sekiranya belum, ya seadanya yang sudah disiapkan Mama.” kataku.

“Jeff boleh minta password WiFi nya ya, untuk cek apakah barang lewat kurir sudah sampai di rumah Mama?” pintaku pada Jeff.

“Boleh, password nya, Gepardi.” tukas Jeff sambil tetap melihat ke Apple nya.

“Apa?” tanyaku keheranan.

“GE-PAR-DI” jawab Jeff dengan mengeja, wajahnya tetap datar melihat ke Apple nya.

“Jeff… kau…ini…” aku tidak sanggup meneruskan kata-kataku, terasa mukaku panas, dan pikiranku bergejolak.

Nama Papa yang kuhormati, seorang prajurit yang hilang dalam misi negara, namanya dibuat password WiFi?Serasa ingin kuterjang wajah dan kugampar kacamatanya Jeff, urusan heboh pikir belakangan, namun kutahan mengingat situasinya panas di Chimera.

“Apa!Ada keberatan password-nya?Kau ini trouble maker disini, tak usah macam-macamlah.” balas Jeff seperti nada mengomel.

Aku menahan gejolak kemarahanku, sambil mengatur nafasku supaya tidak meledak agresifitasku.

“Apakah cukup denganku Tuan Jonah?” tanyaku sambil berharap Tuan Jonah tidak berlama-lama dengan Jeff beserta video calling seperti ini.

“Pergilah bocah, aku juga muak denganmu.” jawabnya seolah membaca pikiranku.

Aku melangkah pergi menuju kamarku, aku sudah tidak peduli terhadap apapun yang terjadi barusan. 

Kematian, marabahaya, pelecehan, kekerasan seolah sangat dekat dan menjadi hal yang biasa disini.

Aku berjalan melewati Pak Johno yang sedang menyapu lantai, 

“Permisi pak No.”

“Ya, permisi, ya.” sahut pak No menunduk sambil tetap menyapu.

Saat berada di kamarku dan mengunci pintunya, aku berpikir, satu-satunya teman yang aku percaya adalah Henry.

Dia sudah menyatakan cintanya kepadaku, walau aku tidak yakin apakah kami dapat berlanjut hubungannya, atau hanya cinta sesaat, karena kami saling membutuhkan kepercayaan.

Ah, buat apa berpikir rumit, lagipula aku belum seorang psikolog yang tidak boleh terajut hubungan personal dengan klien. Ini bukan conflict of interest, tetapi tentang persahabatan dan benih cinta yang muncul dari persamaan nasib.

Kunikmati arti cinta di tempat yang keras dan gersang akan cinta ini.

Aku berpikir Mama pasti juga tidak suka dengan hubungan seperti ini, terngiang nasihat mama, “Moi ingat dalam menjalin percintaan, perhatikan bibitnya, apakah keturunan orang yang baik-baik atau tidak.

Juga bobotnya, setara atau tidak denganmu?  Watak dan karakternya yang baik, perhatikan itu. 

Pilih yang terbaik, Moi.

Jangan sampai cinta mengombang-ambingkan perasaanmu.Suatu saat atas nama cinta kau bisa terhempas begitu dalamnya.”

Mama begitu dalamnya menasihatimu untuk berhati-hati dalam menjalin hubungan.

Sementara status Henry adalah buronan penipuan 

Mr. Mc Pherson yang ditengarai terlibat banyak kasus yang sukar diselidiki.

Mama, maafkan Moi…

Moi butuh seseorang untuk dipercaya saat ini, sebuah bahu yang kuat untuk Moi dapat menumpahkan keluh-kesah dan ketakutan Moi, dan itu hanya Moi dapatkan pada seorang Henry.

Air mataku berlinang membasahi bantalku.Terlibat perasaan cinta seperti petualangan yang baru di hatiku, tetapi aku butuh itu untuk tetap bertahan hidup.

Setelah perasaanku lega, 

aku bertelepati dengan Henry kepadanya, kuceritakan kejadian tentang Doni, Codi,  serta rencana Tuan Jonah yang akan menghabisi Rado di pertarungan final nanti.

“Sudah kuduga Moi, ini bagian dari konspirasi jahat yang dipimpin Alfa, mereka berusaha gerilya untuk membuat penjagaan lemah lalu menjadi tidak terkendali.”

“Aku takut, apakah kamu…kamu juga akan ditarungkan di arena, Henry?” tanyaku gemetaran.

Henry terdiam kemudian menjawab, “Rasanya tidak.Tujuan pertarungan di arena itu adalah untuk mengumpulkan uang bagi Tuan Jonah dan timnya.Kalau aku yang di tarungkan, dimana nilai jualnya?paling sepuluh detik juga sudah selesai, dengan aku terkapar di lantai. Mana serunya?” ucap Henry.

“Oh, Henry, kamu masih bersikap positif walaupun situasinya seperti ini.Lalu, apa yang bisa kita lakukan selanjutnya?”

“Kau analisa ada dua orang musuh kita.Rado dan Jeff.  Aku sungguh tidak memiliki bayangan siapakah Queen, sang otak di balik ini semua. Aku rasa, itu tidak penting , bisa saja Rado yang labil bikin kegoncangan dengan bicara seenaknya.

Kalaupun ada si Queen, orang itu bukan Tuan Jonah.”

“Mengapa bukan Tuan Jonah?” aku menjadi bertambah pusing.

“Orang itu…yeah, Tuan Jonah pola pikirnya mudah di tebak.Ia hanya mencari uang di sini.  Queen ini….ia punya rencana yang lebih jahat dari itu.”

“Apakah mungkin Rado itu King merangkap Queennya?”

“Tidak Moi, pemimpinnya bukan Rado. Rado tidak secerdas itu sehingga bisa mengatur pergerakan seperti ini.Aku rasa ini cuma strategi pengurangan penjaga. Dengan tidak adanya Dragono serta Codi, hal itu akan memperlemah penjara ini. Cobalah nanti malam kau dengarkan percakapan mereka, Moi.”

“Aku takut Henry, hari ini hari yang mengerikan, aku sangat ketakutan dan shock, mungkin kucoba besok.Jaga dirimu baik-baik.”

“Yeah tentu.Kamu juga, jagalah dirimu baik-baik, Moi.”

Setelah itu suara Henry menghilang dari benakku.Hubungan telepati kami terputus. 

Aku tertegun di kamarku.Otakku berputar dan berpikir.Aku berbaring di ranjangku. Bayangan Mama, adikku William melintas di benakku. Betapa aku sungguh merindukan mereka.

Saat aku merebahkan diri untuk meredakan pusing kepala, aku mendapat penglihatan lagi, aku melihat Tuan Jonah sedang masuk lift dan menscan jarinya untuk akses naik lift, dia didampingi seorang prajurit berpakaian krem loreng.

Aku merasa itu gedung departemen pertahanan seperti yang barusan kulihat di Apple Jeff, dan nuansa warna gedungnya dan prajurit yang ada di dalamnya.

Sesaat Tuan Jonah masuk ke suatu ruangan berpintu besar, dengan dibukakan oleh prajurit yang berjaga di luar nya, sementara prajurit yang pertama sudah pergi meninggalkannya.

“Hormat, Jendral,” ucap Tuan Jonah menghormat.

Seseorang yang duduk di kursi hitam dengan sandaran kepala besar

kemudian mempersilakan pria itu duduk.

Aku mencoba membaca plat nama di dadanya.

Terbaca Manton, oh rupanya inilah Jendral Manton.

Jendral Manton berwajah kotak, dengan kerut-kerut di sekitar mata serta keningnya mulai nampak, rambutnya pendek memutih menunjukkan usianya yang tak muda lagi.Namun Tubuhnya tegap, sorot matanya waspada serta berwibawa.

“Duduklah, Jonah.  Aku langsung saja ya.Tujuanku memanggilmu ke ibukota adalah aku tidak bisa lama-lama membiayai proyek ini.Kamu juga sangat mengerti mengenai hal ini.Segeralah tuntaskan penelitian-penelitian di sana dan tutup CP sebelum pemerintahan yang baru diangkat 2 bulan lagi.”

“Sebenarnya kalau soal pendanaan, CP masih bisa dipertahankan, Jendral. 

Kita memiliki cukup dana dari hasil pertarungan Vicko juga Leman yang bisa kita gunakan untuk menjalankan operasi di sana, mungkin sekitar 5 sampai 6 bulan lagi.”

“Kamu gila Jonah, ini bukan hanya masalah dana. 

Saat pers atau pemerintah baru mengendus kegiatan ilegal yang kita lakukan,  mulai dari exploitasi orang-orang berbakat, perjudian ilegal, pertarungan barbar, terungkap semua, tamatlah karirku. 

Juga karirmu, Jonah.”Jendral Manton menatap Tuan Jonah dengan tajam. “Kuberi waktu maksimal 1,5 bulan tempat itu sudah harus bersih, Jonah. Tidak ada kegiatan apapun lagi di sana. Apa kamu memahami perintahku?”

“Aku paham, Jendral. Namun bagaimana tentang orang-orang yang masih di sana, Jendral?” tanya Tuan Jonah. 

“Risty putriku akan segera dioperasi.Dia sudah mengatur jadwalnya. 

Vicko dan Leman segera dihabisi dalam 2 pertarungan mendatang. Sementara anak-anak yang lain uruslah dengan seksama, tanpa banyak keributan, Jonah.  Jangan sampai menimbulkan kehebohan nanti di masyarakat.”

“Selamat pagi,” terdengar suara seorang wanita, memasuki ruangan dari sebuah pintu kecil di samping ruangan.

“Kamu datang, Emba.Kebetulan kita sedang diskusi mengenai menghilangkan jejak kita.apa kamu ada pendapat yang hendak kamu sampaikan kepada kami, Emba?”

Wanita yang dipanggil Emba memakai seragam biru laut, dengan topi militer kotak berwarna biru tua.

Seorang wanita yang cantik dengan gincu merah menyala dibibirnya, berbadan atletis.

“Ah tidak, Jendral.”Emba mendekati kursi Jendral Manton dan memeluk Jendral Manton dari samping. 

“Aku tak memiliki usulan apapun. Eh iya, ini bukan pembicaraan yang privat kan, Jendral? Bukankah ini seperti pertemuan keluarga?”

Tuan Jonah nampak tersenyum tatkala ia beradu pandang dengan Emba.

Emba nampak mengedipkan sebelah matanya pada Jonah.

“Aku akan membereskan masalah itu, Jendral.  Dengan rapi dan halus,“ ujar Tuan Jonah santai.

“Aku tahu, kamu pasti bisa aku andalkan, Jonah,” ujar Jendral Manton.

“Dia bisa diandalkan di semua bidang, sayang.

Dia aktif gimanapun kita tempatkan mau di kedinasan oke, mau di lapangan oke, mau di ranjang juga oke.

Hihihi dan ingat, kita harus selalu bersatu untuk mencapai tujuan bersama,” ujar Emba penuh arti.

“Aku akan mengadakan pertarungan lagi buat Leman, Jonah.Pastikan mereka berdua terbunuh di dua sesi pertarungan itu.Dua hari lagi kubawa petarung-petarung untuk mereka.Kalaupun mereka terbunuh saat itu, bukan masalah.Uang yang terkumpul sudah cukup banyak untuk kita semua.”

“Sementara Dragono masih operasi, semoga dalam dua hari lagi bisa ikut kembali ke 

Chimera,  sebagai koordinator lapangan. Ada pesan apalagi untukku Jendral?”

“Bagaimana keadaan anak magang di sana?bocah sarjana barusan lulus? Kamu harus batasi kewenangannya, ingat dia yang membuat Dragono terluka.Kita ambil sisi kepandaiannya tanpa harus didikte oleh dia.”

“Ya, Jendral.Selanjutnya dia bukan masalah bagiku. 

Dia cuma lalat lewat. 

Aku akan mengurus dia sebaik-baiknya,” Jonah menghormat, “Ok, laporan selesai.Ijin balik, Jendral.”

Jendral Manton mengangguk.

Tuan Jonah berjalan keluar menuju pintu besar, berkata pada dirinya sendiri dan tersenyum “Dibalik kehebatan Jendral yang besar, ada seorang wanita yang berbahaya disisinya.”

Jendral Manton duduk di kursinya seraya meraih berkas laporan yang di bawa Tuan Jonah.

Emba menarik berkas laporan tersebut dari Jendral Manton.

“Emba?” sepasang alis Jendral Manton bertaut, tak suka.

“Aku sedang disini.Mengapa kamu justru menyibukkan diri dengan laporan tak berguna itu?” goda Emba.

Jendral Manton menarik berkas dari tangan Emba.

“Kembalilah ke tugasmu Emba, jangan mengangguku.”

Jendral Manton menatap tajam, “Emba, kita tahu sama tahulah, tidak perlu berlebihan.” 

“Ayolah Jendral, kau bisa seperti ini juga karena menjual diriku, kamu tahulah rumah tangga kita hanya formalitas.” Emba seolah tidak mau kalah namun dengan tetap gayanya yang dingin.

“Ya Emba, 

aku memang membutuhkanmu, sementara kamu juga membutuhkan aku.”

Emba melepas topinya.Rambutnya yang hitam tebal dan halus, terurai ke bahu.

“Kita memainkan peran kita masing-masing, Manton. Ingat kedudukan yang kamu capai saat ini juga berkat campur tanganku, bahkan sekarang  pangkatmu bisa lebih tinggi dibanding aku. Tapi ingat semua kartu AS-mu ada di tanganku. 

Kita bersatu untuk kepentingan bersama, Jendral.Bukan atas dasar cinta.Aku tahu hatimu juga seperti itu.Tinggal menunggu pensiunmu, dan kita bisa mengakhiri topeng yang kita kenakan bertahun-tahun. Sampai jumpa, Darling, aku juga perlu persiapan agar timku dapat  menangani tugas dengan baik nantinya.”

Tanpa menanti jawaban Jendral Manton, Emba membalikkan tubuhnya.Wanita itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruangan Jendral Manton. 

Seorang pria dengan stelan jas casual bersiaga di depan pintu samping ruangan Jendral Manton, 

Badannya sangat besar, rambutnya dibiarkan lebat sebahu, berkumis dan bercambang lebat “Sudah selesai, Nyonya?”

“Ya, Bren.Ayo kita jalan.”

“Semoga lancar urusannya, Nyonya.”

“Tentu lancar, Bren.Suamiku orang baik.”

 “Chimera bisa menghasilkan uang jutaan dollar.Tempat itu bisa kita jual ke pihak asing. Ini hanya perlu menunggu waktu saja atau bila perlu kita jual saja sekalian orang-orangnya  yang istimewa di sana,” ujar Bren setengah berbisik.

“Aduh, dimana nasionalismemu, Brendy?”  Emba tersenyum.

Emba mendorong Brendy ke sebuah dinding.Kedua tangan Bren memeluk pinggang Emba dan mencium bibirnya. 

“Idemu briliant, Nyonya.”

“Jangan di sini, Bren,” Emba mendorong Brendy menjauh. 

“Yang mengherankan, mengapa Risty tidak mau segera di operasi, Nyonya?  Dia seakan-akan  menahan sakitnya demi menunggu sesuatu.” tanya Brendy saat mereka berjalan beriringan di lorong yang sepi.

“Anak gadisku itu bukan gadis biasa.Ia cerdas. Risty pasti punya alasan serta rencananya sendiri yang kita tidak ketahui, Bren.Mungkin dia sudah berselancar mengintip masa depannya dan mengambil waktu yang pas untuk operasinya.” tutur Emba sambil menggelung kembali rambutnya.

“Bukankah itu melawan takdirnya?  Itu  bisa mengurangi umurnya kan, Nyonya?” tanya Brendy sambil melirik Emba.

Emba menaruh jari terlunjuknya di bibir Bren, “Jangan lupa, tak ada seorangpun yang menginginkan dirinya mati muda.Kita tunggu dan lihat saja perkembangannya nanti.Aku percaya Risty sedang merencanakan sesuatu yang baik untuk dirinya.”