Chapter 24 Kado untuk Angel

“Ah tidak, gadis ini taat dan kerja sesuai koridornya kok.” jawab Jeff sambil menatap wajahku.

Kemarahanku langsung surut, aku teringat saat aku chat dengan Adrian, berkeluh kesah tentang kondisi pulau Chimera, 

kartu AS ku dipegang Jeff!

“Jadi sebaiknya kau segera bekerja boss, ini sesuai dengan keilmuanmu bukan? Kalau keilmuanku sih tidak ada penelitian absurb seperti itu, silahkan dikerjakan ya.” lanjut Jeff membuatku semakin tidak berkutik.

“Iya kau harusnya ikuti perintah dari pusat, bocah. Ini untuk mengurangi interaksimu dengan penghuni pulau yang berbahaya disini. Saat aku ada di ibukota, Rado berulah juga karena kau!” Tuan Jonah balik memarahiku.

“Itu juga karena Codi lengah, Tuan Jonah. Dendam kesumat Rado muncul.

Jadi saat ada kesempatan, Rado membalasnya tanpa berpikir panjang lagi. Rado menjadi seperti itu karena ia dendam dengan perlakuan para penjaga yang sering memukulinya, dan khususnya Codi yang sering menjadikannya target tendangan taekwondo, Tuan Jonah,” ujarku menjelaskan.

“Kau belum mengenal Rado, bocah! Rado itu semakin hebat saat stressnya terpicu dan kemampuannya akan dahsyat saat dia stress. Kekuatan elektrokinesisnya semakin hebat.” bantah Dragono.

“Sudah, sekarang kau segera kerjakan tugasmu, mulai diamati para serigala itu, karena hanya dalam waktu maksimal 24 jam, tiga yang tewas, dan tinggal satu yang hidup dari empat orang itu.

Buat apa peralatan mik ditambahkan kalau bukan untuk kau melakukan tugasmu bocah? Kurang support apa pusat untukmu?” ujar Tuan Jonah sambil mengusap dagunya.

“Ya Tuan Jonah terimakasih atas supportnya,” aku menjawab dengan terpaksa. Pikirku support macam apa memaksa aku untuk melihat kejadian yang mengerikan.

“Sst kau diam dulu bocah! Dengarkan ini!” bentak Dragono sambil menunjuk ke layar lcd, disitu nampak Travis yang berteriak-teriak.

“Heei siapa disini yang bernama Vicko?”

“Dia ada di sel paling pojok, kalaupun kau berteriak-teriak sampai habis suaramu, juga tidak bakal dijawabnya.” jawab Henry yang berada di sel sesudah Kenrock.

“Kau siapa? Mengapa ada disini?” tanya Travis balik.

“Aku Henry, aku orang yang malang saja berada disini. Anda siapa bro?” tanya Henry sambil bertelekan di selnya.

“Aku Travis Carington, aku dengar besok aku akan diadu dengan yang namanya Vicko, aku ingin tahu apa kehebatannya dia.” kata Travis mantap.

“Wow Travis Carington? Bagaimana mungkin kau sampai disini? Kalau Vicko sih hebat sekali bro, dia mantan instruktur tentara, rajanya bertarung disini. Kalau kau siapa rambut kuncung?” Henry bertanya ke arah sel sebelahnya.

“Aku? Aku Kenrock, ini benar-benar licik, aku tak menyangka ada tempat seperti ini, dan besok aku mau di adu dengan yang bernama Leman.” sahut Kenrock.

“Aku tak peduli siapa lawanku, walaupun setan neraka, asal aku punya pisau komando, kutebas lehernya nanti.” jawab Travis.

“Heeei siapa yang namanya Leman disini ?” Kenrock mulai berteriak lagi.

“Leman selnya nomor dua dari pojok, julukannya fakir, suka kesurupan disini.” jawab Henry.

“Ah bodo amat, siapa lawanku, besok kujamin dia tinggal nama saja. Lalu sel sebelahmu siapa Henry?” Kenrock kembali bertanya.

“Dia Rado, 

sang elektrokinesis, 

kemarin nyaris membuat dua prajurit disini nyaris tewas, satu prajurit kakinya sampai hangus, satu prajurit pingsan sejenak.” jawab Henry.

“Baguslah, semoga semua prajurit disini tewas semua.

Lalu kemampuanmu apa sampai masuk disini, Henry?” Travis menimpali.

“Aku yang dulu mengelabui Mr. McPherson.” jawab Henry sambil menunduk.

“Oh kau Henry Wilkinson? Kau yang bikin McPherson nyaris bangkrut, kepalamu dihargai 500.000 USD oleh dia. Gila kau ini, kalau aku bisa keluar dari sini, kubawa kau, kau masih menyimpan uangnya diluar sana kan?” seru Kenrock sambil memukul teralis besinya.

“Semua penghuni disini gila-gila semua ya.” 

Aku menggigil mendengar percakapan para pria di sel, membayangkan besok mereka, entah yang mana hanya menjadi bujuran mayat yang kaku berlumuran darah, dan hanya satu yang hidup.

“Eh nampaknya ada yang kedinginan disini, bolehlah ke dapur minta teh panas.” terdengar suara Jeff, rupanya dia melihatku gemetaran.

“Tuan … Moi ijin dulu … untuk kembali ke kamar ya, Tuan Jonah.” dengan terbata-bata aku berpamitan.

“Moi itu barang titipanmu ada di pos jaga, ayo kita ambil.” kata Mrs. Rose mencolek siku tanganku dan menggandengku untuk keluar dari pos penjagaan utama tempat bercokolnya Jeff sehari-hari.

Prajurit yang berjaga yaitu Prajurit Doni menyerahkan kardus coklat tanggung kepadaku, 

“Ini titipanmu Miss.”

“Terimakasih pak Doni.” kataku sambil menerima kardus itu.

Aku berjalan ke arah kamarku bersama Mrs. Rose,  kurasakan wajahku memerah dan air mataku berkaca-kaca, terasa hampir jatuh, aku menahannya dengan menggigit bibirku.

Mrs. Rose merangkul pundakku, untunglah jarak antara pos penjaga depan dengan kamarku hanya beberapa puluh langkah.

Saat tiba di kamar, aku duduk di tepi ranjangku, tangisku mulai pecah. 

Mrs. Rose yang ada di depanku, duduk di sampingku dan menepuk-nepuk bahuku.

“Sudah Moi sabar-sabar…” Hiburnya menenangkanku.

“Mrs. Rose lihat pelecehan dan penghinaan Jeff kepadaku, belum lagi tugas dari pusat untuk meneliti perilaku manusia yang besoknya bakalan tewas. Tugas macam apa ini, memanfaatkan Moi untuk hal yang mengerikan, sudah tahu Moi bocah, tetapi disuruh seperti itu.” 

Mrs. Rose menutup pintu kamarku, supaya suara tangisanku tidak terdengar.

“Yang sabar Moi yang sabar…Oh iya Moi, hari ini Curly ultah lho, dan katamu sudah beli kado untuk Curly, aku lihat dong.”

Aku berjongkok dan membongkar dos, mencari kado yang bakal kuberikan kepada Angel.

Ah ketemu, bungkusan plastik hitam dengan stiker ekspedisi terpampang, aku membuka pembungkus luarnya dan menarik sebuah gaun berwarna pink yang cantik bermotif bunga-bunga kecil.

Mrs. Rose berdecak, “Wow, cantik sekali, Moi.”

“Hehe, iya. Siapa dulu yang memilihnya,” aku mulai tersenyum.

“Curly pasti akan suka kadomu ini, Moi.” sahut Mrs. Rose sambil menempelkan gaun itu ke tubuhnya.

Mrs. Rose bergerak-gerak kecil sambil mengamati gaun yang menempel ditubuhnya.

Aku mengangguk. “Angel butuh cinta, butuh dukungan, butuh sentuhan kasih sayang. Akan butuh waktu lama untuk memulihkan mental dirinya. Tapi yah, kita harus mulai sekarang, bukan?  Kado ini semoga bisa menumbuhkan rasa percayanya bahwa dirinya berharga dan layak dicintai.”

Mrs. Rose menatapku cukup lama, kemudian ia berkata, “Aku menghargai kebaikanmu, Moi. Pekerjaan di Chimera yang penuh tekanan seperti ini, tetapi kamu tetap menebar kebaikan, bahkan melakukannya dengan hatimu, tidak sekedar profesionalisme belaka. 

Aku sungguh bangga bisa mengenalmu, Moi.”

Aku tertawa, “Aah, apaan sih, Mrs. Rose. Aku gadis ingusan kok mendapat pujianmu seperti ini.”

Mrs. Rose tersenyum dan melipat gaun pink Angel. “Apakah kita akan memberikan kado ini sekarang, Moi?’

Aku mengangguk, “Moi rasa sebaiknya begitu. Sayang kita tidak punya kertas kado untuk bungkusnya ya.”

Mrs. Rose memasukkan gaun itu kembali ke kotaknya. “Tanpa pembungkus kadopun Curly akan senang, Moi. Ia sudah sering menerima kado-kado dengan kertas pembungkusnya yang indah, namun hal itu tidak menyukakannya, menyentuhnya saja ia tidak mau. Kamu ingat itu kan?”

Aku teringat awal pertemuanku dengan Angel. Ya, gadis yang selalu ketakutan dan terlihat tertekan itu, hanya menumpuk kado-kado beraneka ukuran, beraneka warna pembungkusnya di pojok lantai kamar, tanpa membukanya.

“Yuk, ke kamar Curly,” ajak Mrs. Rose padaku.

Tubuhku sebenarnya ingin berbaring santai di kamar.  Dan aku juga sangat penasaran ingin meneruskan membaca buku Risty. Namun, terbayang wajah Angel yang selalu ketakutan, tertekan, rasa ingin membahagiakannya memompa semangatku kembali. Aku mengangguk, “Oke, Mrs. Rose. Sekarang sudah hampir siang, tidak enak juga kalau  malam-malam kita baru mengucapkan ulang tahun untuknya.”

Aku membenahi dan mencari apakah sapu tangan papa Gepardi ada di dalam paket dos, sesaat aku membongkar aku temukan scarf doreng yang aku ketahui itu atribut militer milik papa.

Aku memasukkan scarf itu ke saku celanaku, siapa tahu bila mental Angel atau kesehatan Risty siap, aku bisa bertanya kepada mereka tentang papa, entah dimasa lalu atau masa mendatang. 

Sungguh aneh, siang itu terasa mencekam seperti kekelaman malam, padahal matahari bersinar terik, terasa mencekam, saat kami berjalan di sepanjang lorong menuju kamar Angel.

“Bulan depan, aku juga ulang tahun, Moi,” ujar Mrs. Rose dengan wajah bercanda.

“Lalu?” tanyaku pura-pura tidak mengerti, bibirku kubuat manyun.

Mrs. Rose menyikutku, “Ahem … ahem … itu kode, Moi. Ah, masa kamu tidak mengerti” Mrs. Rose membalikkan tubuhnya berpura-pura merajuk.

Aku tertawa, “Kalau untukmu  Moi akan kebingungan setengah mati mencari kadonya. Mrs. Rose jelas-jelas jauh lebih modis dari Moi. Mau dikasih apa sudah punya semua, ah iya … ulang tahun Moi 5 bulan lagi, Mrs. Rose,” ujarku.

Mrs. Rose tertawa, “Kalo itu kadonya gampang. Aku ada pita merah polkadot, nanti tinggal aku pitain si Henry, lalu kusodorkan ke kamu ya, adegan selanjutnya bebas mau apa.”

Aku kembali tertawa, “Ya ampun, Henry jadi kadonya?  Astagaa …”  Aku menutup mulut dengan tanganku sambil tertawa terkikik.

“Tuuh, baru membayangkan saja kamu pipimu sudah bersemu merah begitu, bahagia sekali.”

“Bukan bahagia Mrs. Rose, Moi cuma terkejut Mrs. Rose bisa berpikiran seperti itu. Moi dan Henry punya banyak persamaan nasib.  Sebenarnya di hatiku ini saat ini ada seseorang yang mungkin menungguku disana.”

“Aah, aku tahu. Itu orang yang mengirimimu pesan di WA saat kita naik helikopter dulu itu kan?”

Aku mengangguk, “Ah Moi tidak tahu, pria tidak mudah untuk ditebak. Bisa jadi, cinta Moi bertepuk sebelah tangan. Ia sama sekali tidak menyadari keberadaan Moi. Ia menganggapku sama seperti teman-teman wanitanya yang lain. Saat Moi melihat kenyataan itu, hati Moi menolak untuk mengakuinya.”

Mrs. Rose merangkul bahuku, “Lebih ganteng mana pemuda itu atau Henry?”

Aku melepaskan rangkulannya, “Ini bukan masalah ganteng Mrs. Rose!”

Mrs. Rose tertawa, ia mengambil kado Angel dan melangkah mendahuluiku. “Pasti lebih ganteng Henry kan?  Aku berani taruhan deh.”

Aku protes, dan mengejar Mrs. Rose.

Saat itulah dalam kepalaku terdengar suara Henry, “Moi…Moira..”

Henry menelepatiku.  

Aku sungguh terkejut. Bagaimana kalau Mrs. Rose sampai tahu kalau Henry menelepatiku? Ia pasti akan bertanya macam-macam. Aku melambatkan langkahku. Mrs. Rose berjalan beberapa langkah di depanku.

“Moi,” Henry memanggil lagi.

“Ya, Henry,” balasku dengan telepati juga.

“Kamu tahu, di dekat sel … eh, kamarku ada dua penghuni baru?”

“Aku tahu Hen. Tadi ada alat berupa mik dipasang di atas, Aku sudah melihat dan mendengar mereka berdua. Kenrock dan Travis. Bahkan saat kau bercakap-cakap aku mendengar semua.”

“Oh rupanya Tuan Jonah dari ibukota menambah mik, Moi.

Oh, Moi … Di luar aku punya cukup banyak simpanan uang. Aku bisa hidup nyaman di luar sini. Aku ingin bersamamu pergi dari sini, dan kita menikmati dunia bersama.”

“Kita berharap yang terbaik saja ya, Hen. Semoga kita semua bisa keluar dari sini.” 

Saat itulah aku baru menyadari, bahwa ruangan di sekelilingku begitu sunyi. Aku berdiri di depan kamar Angel, dengan tangan kananku berada di keningku. Sepasang mata Mrs. Rose menatapku. 

Sejak kapan, posisi Mrs. Rose seperti itu?

“Eh, Mrs. Rose…ng…kita sudah sampai ya, maaf Moi agak pusing, maklum Moi bulanan.” aku tergagap. Konsentrasiku buyar. Telepatiku dengan Henry terputus segera.

“Jangan kebanyakan melamun, kadonya kamu kasihkan ya ke Curly, aku bagian lagu selamat ulang tahun nya.” bisik Mrs. Rose. Sebelah matanya mengedip padaku.

Mrs. Rose mengetuk pintu dan aku membuka pintunya.

Tangan kiriku memegang kado Angel kusembunyikan di punggungku.

Gadis itu seperti biasa duduk di lantai. Boneka Gonzo terbaring di pangkuannya.

“Lho, kok duduk di lantai lagi?” tegur Mrs. Rose.

“Yuk, duduk di ranjang aja, Angel. Di situ dingin loh,” ujarku lembut seraya meraih lengan Angel. Gadis itu menurut. Ia berdiri, kemudian duduk di ranjang. Wajahnya nampak letih dan kuyu.

Aku mengangkat bungkusan  yang kubawa. “Taraa… Happy Birthday Angel!” ujarku.

“Happy birthday Angel…

Happy birthday Angel…

Mrs. Rose mulai menyanyikan lagu ulang tahun. Aku dan Mrs. Rose bernyanyi bersama seraya bertepuk tangan.

Selesai menyanyi, aku dan Mrs. Rose bergantian memeluk dan mencium pipinya kanan dan kiri. 

Seberkas sinar bekelebat di bola mata Angel yang semula redup, nyaris tanpa cahaya kehidupan. Matanya mulai melebar.

“Owh, ya ampun. Ini hari ulang tahunku? Aku sungguh tidak ingat. Aku tidak pernah diberi ucapan ulang tahun oleh siapapun juga.”

“Semasa dulu sewaktu aku masih tinggal bersama orang tuaku maupun di sekolah, 

tak pernah ada seorangpun yang mengingat hari ulang tahunku. 

Aku bahkan berharap tidak pernah berharap dilahirkan.” Suara Angel perlahan dan tercekat saat mengatakannya.

Mrs. Rose mengulurkan kadonya dan Angel menerimanya tanpa ragu. Kado itu dipeluknya di dadanya. 

“Yuk, dibuka dong kadonya,” ucapku. 

Dua butir air mata keluar dari pelupuk mata Angel. “Seumur hidupku, hanya hinaan, bullyan yang aku terima. Aku dianggap orang gila, juga dikasari orang-orang terdekatku. 

Baru hari ini aku mendapat perhatian, kasih tulus seperti ini. Guruku serta teman-teman sekolah semuanya menjauhiku dan menganggapku anak gila. Temanku hanya Gonzo ini. Aku sungguh tak pernah menyangka ada yang masih mengingat hari lahirku, bahkan memberiku kado segala. Aku bahkan jijik dengan hari ulang tahunku, justru saat aku berulang tahun kesakitanku muncul semua, perlakuan buruk kepadaku… aku teringat semua.

Tetapi pada hari ini sangat berbeda. Terima kasih Moi, Mrs. Rose. Aku sungguh…

ah, sungguh terharu rasanya.”

“Sudahlah Angel, kau ini special, kau cantik, kau baik, kau layak dicintai. Ini hari ulang tahunmu, bergembiralah, lupakan masa lalumu.” kataku sambil memeluknya lagi.

Di dalam benakku, berkelebat hari ulang tahunku. Setiap tahun selalu ada kue berlilin yang aku tiup bersama dengan mama dan adikku William.  Entahlah apakah aku bisa keluar dengan selamat dari Chimera ini dan berkumpul dengan keluargaku lagi. 

Aku melihat Mrs. Rose membantu Angel membuka kardus kado kami.

Angel membuka kadonya dengan antusias. Nampak matanya membulat sempurna saat kado itu terbuka. 

Perlakuan atas kadoku sangat berbeda dengan kado-kado lain yang biasa diterimanya yang masih utuh teronggok di sudut kamarnya. Wajah gadis itu memancarkan kegembiraan saat menarik gaun berbunga-bunga dari kardusnya.

“Moi, ini … cantik … cantik sekali,” suara Angel tercekat karena berbahagia.

“Aku juga suka. Terutama corak bunga-bunganya, seperti musim semi,” ujar Mrs. Rose.

Aku sungguh puas menikmati pemandangan di depanku. Angel berputar-putar dengan gaun itu menempel di depan tubuhnya.

“Tapi…apa aku pantas memakai baju seperti ini?”

 “Pantas dong, mengapa tidak?” jawab Mrs. Rose langsung.

Angel berhenti berputar, “Aku bukan princess. Aku cuma Curly, si rambut keriting jelek. Baju ini tidak pantas  untukku.”

Aku berusaha tertawa dan memberikan sugesti positif untuk Angel. “Aku juga bukan princess. Tapi lihat aku merapikan rambutku dengan baik. Pakaianku juga keren kan?” kataku sambil bergaya dan menari kecil. 

“Kita memang bukan wanita bangsawan, namun apa salahnya kita tampil cantik? Diri kitalah yang bertanggung jawab untuk mempercantik diri kita. 

Kalau bukan kita sendiri yang peduli dengan penampilan ataupun kecantikan kita, siapa lagi kan?” sambungku sambil menggerakkan tanganku menari.

“Aku juga cantik kan Curly? Lihat, sepatu hi heelsku.  Sepanjang hari aku bersepatu begini. Kakiku terkadang kram rasanya, tapi aku merasa lebih cantik dan percaya diri saat memakainya. Jadi aku pakai terus deh,” ujar Mrs. Rose menambahi.

“Ini hari ulang tahunmu. Jangan melihat masa lalu terus. Hari ini hari yang amat spesial, kamu harus tampil cantik. Ayo aku bantu kamu mencobanya,” ujarku.

“Moi, Mrs. Rose, kalian sungguh sahabat yang sangat baik bagiku,” ucap Angel lirih.

Aku dan Mrs. Rose membantu memakaikan gaun itu kepada Angel, terasa badan Angel sudah tidak begitu kaku lagi, mungkin efek aku terapi di kolam renang beberapa hari yang lalu.

Akhirnya baju baru Angel telah di pakai, aku membuka lemari pakaian Angel, di balik lemari kayu itu ada kaca yang besar, selebar dan setinggi pintu lemari kayu tersebut.

Angel terbelalak saat melihat dirinya di kaca, “Mama…” katanya lirih. 

Aku berpikir Angel melihat sosok mamanya yang sudah meninggal terpantul dari kaca.

Angel tersenyum, badannya berputar, tidak disangka dia mulai menyanyi,

“I pray you’ll be our eyes…

and watch us where we go

And help us to be wise in times when we don’t know…”

Aku tercekat saat Angel menyanyi lagu “The Prayer” yang dipopulerkan oleh Celine Dion.

Ternyata suara Angel begitu bening, aku meletakkan tanganku di mulutku, keharuan muncul di hatiku.

Angel meneruskan bernyanyi dengan memegang ujung gaun dan menari berputar-putar.

“Let this be our prayer when we lose our way.

Lead us to a place guide us with your grace.

To a place where we’ll be safe…”

Mataku berkaca-kaca, lirik lagu itu seperti kerinduanku akan tempat yang aman, demikian juga hal itu mungkin yang diinginkan dan dirindukan Angel.

Mrs. Rose berdiri memeluk Angel dan ikut bernyanyi.

“I pray we’ll find your light

And hold it in our hearts

When stars go out each night.” 

Let this be our prayer

When shadows fill our day

Lead us to a place, guide us with your grace

Give us faith so we’ll be safe.

Mrs. Rose menimpali suara Angel mereka menyanyi bersahutan dengan diiringi tarian kecil, salah satu tangan Angel memegang ujung gaunnya.

“Sogniamo un mondo senza più violenza

Un mondo di giustizia e di speranza

Ognuno lo dia la mano al suo vicino

Simbolo di pace, di fraternità

La forza che ci dà

We ask that life be kind

È il desiderio che

And watch us from above

Ognuno trovi amor

We hope each soul will find

Intorno e dentro sé

Another soul to love

Let this be our prayer 

Let this be our prayer

Just like every child

Need to find a place, guide us with your grace

Give us faith so we’ll be safe

È la fede che

Hai acceso in noi,

Sento che ci salverà.”

Air mataku tumpah, tidak bisa kutahan saat melihat Angel mengakhiri nyanyian “The Prayer” dengan Mrs. Rose. Aku berdiri dari ranjang Angel dan bertepuk tangan, Angel membungkukkan badan dan bergaya hormat atas tepuk tanganku dengan tetap memegang ujung gaunnya.

Senyumnya merekah, giginya yang putih nampak berkilauan, Angel tersenyum bahagia.

Aku menyongsong Angel dan memeluknya.

“Aduh Angel siang hari sudah bikin Moi menangis.”

Angel juga merespon pelukanku, kami larut dalam keharuan persahabatan wanita.

“Angel sangat berterimakasih Moi, Angel belum pernah sebahagia ini dalam hidup Angel. Kau teman baik Angel.” bisik Angel di telingaku saat kami berpelukan.

“Angel belajar lagu dari mana? Itu lagu yang sulit. Dan suara Angel bagus sekali.” pujiku sambil menyeka air mataku.

“Mama Angel setahun sebelum meninggal selalu menyanyikan lagu itu saat sedih sambil menari, maka ingatan Angel tadi muncul, saat Angel melihat kaca dengan gaun seindah ini.” Angel bercerita tentang kisah lagu tersebut.